Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Apakah Leonardo Bonucci Memang Tidak Bisa Bertahan?
27 Desember 2017 16:17 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:13 WIB
ADVERTISEMENT
Semua, bagi Leonardo Bonucci, berawal dari sosok bernama Alberto Ferrarini.
ADVERTISEMENT
Sepuluh tahun silam, karier Bonucci benar-benar dalam bahaya dan bahaya itu tidak datang dari minimnya potensi si pemain atau cedera parah. Bahaya itu tidak terlihat wujudnya. Ia abstrak dan hanya bisa dilihat serta dirasakan oleh Bonucci sendiri. Bahaya itu ada di dalam kepalanya.
Seharusnya, itu adalah masa di mana Leonardo Bonucci mendapat kesempatan untuk unjuk gigi di klub besar. Namun, celakalah dirinya karena selepas dari Viterbese, dia justru hinggap ke dekapan Internazionale yang sedang tidak memiliki kesabaran untuk membina pemain muda seperti dirinya.
Di Inter, Bonucci memang bertahan selama dua musim, tetapi kesempatan itu tak pernah benar-benar datang. Sehingga, Bonucci pun mengambil sebuah langkah mundur. Dia menerima pinangan Treviso yang bermain di Serie B.
ADVERTISEMENT
Bersama Treviso, dia memang jadi andalan. Akan tetapi, kepercayaan dirinya setelah menganggur dua musim bersama Inter itu belum kunjung pulih. Di titik itulah dia kemudian bertemu dengan Ferrarini.
Alberto Ferrarini sama sekali bukan orang sepak bola. Walau begitu, dia menghabiskan kariernya untuk bekerja dengan banyak pesepak bola, di mana Alberto Gilardino menjadi salah satunya. Ferrarini adalah seorang motivator profesional.
Dalam menjalankan pekerjaannya, Ferrarini punya metode unik. Pada 2014 lalu, dia pernah membeberkan ini di akun Facebook-nya.
"Ketika itu, aku membawa Bonucci ke ruang bawah tanah. Di sana, dengan kondisi gelap gulita, aku mencaci maki habis dirinya. Apabila dia mencoba untuk mendongakkan pandangan ke wajahku, akan kupukul perutnya. Tujuannya? Supaya dia tak lagi mengindahkan segala kritik yang dialamatkan kepadanya. Itulah bagaimana aku membuatnya jadi seorang prajurit," tulis Ferrarini.
ADVERTISEMENT
Sisanya, tentu saja, adalah sejarah. Bonucci seperti terlahir kembali. Dari Treviso, dia kemudian beranjak ke Genoa, kemudian ke Bari, sebelum akhirnya hijrah ke Juventus dan menjadi salah satu bek terbaik di dunia.
Namun, kemudian datanglah Milan. Di tengah kabar retaknya hubungan antara Bonucci dan Massimiliano Allegri, Milan mengetuk pintu. Juventus yang lebih memilih Allegri pun akhirnya melepas Bonucci ke Milan dengan banderol yang ketika itu, pada musim panas 2017, dianggap orang sebagai sebuah perampokan.
Bonucci pun hengkang ke Milan dengan rasa lapar yang baru. Dia didapuk menjadi kapten dan digaransi untuk selalu terllibat di setiap laga yang bakal dilalui Rossoneri. Di pundak Bonucci, Milan membebankan masa depan mereka dan seharusnya, itu menjadi titik tolak baru bagi karier Bonucci.
ADVERTISEMENT
Faktanya, seperti yang sudah terlihat sepanjang paruh musim pertama 2017/18, transfer Bonucci ke Milan itu kini menjadi bahan tertawaan favorit para suporter Juventus. Terlebih, Mattia De Sciglio yang kala itu dijadikan alat tukar karena dianggap sudah mentok oleh Milan, kini justru semakin matang bermain sebagai bek kanan Juventus. Bersama Allegri yang dulu menemukannya, De Sciglio bangkit.
Deja vu itu pun hadir. Di Kota Milan, belasan tahun silam, Bonucci pernah merasakan masa-masa terburuk dalam kariernya dan kini, itu semua terulang kembali, walau dengan skala yang berbeda. Di Milan, alih-alih menjadi motor perubahan, Bonucci justru jadi pesakitan. Kesalahan-kesalahan bodoh yang dulu sempat menjadi identitas keduanya mendadak muncul kembali. Tak heran jika kritik pun kemudian kembali menghujani.
ADVERTISEMENT
Salah satu kritik itu datang dari Fabio Capello. Menurut pelatih gaek yang pernah membesut Milan dan Juventus itu, Bonucci sebenarnya tidak bisa bertahan.
"Ketika bola ada di kakinya, dia adalah bek terbaik Italia. Bahkan, boleh jadi dia adalah salah satu dari tiga terbaik di dunia," ucap Capello kepada Sky Sport Italia.
Permasalahannya, lanjut Capello, adalah bahwa sejatinya, atribut bertahan Bonucci sangatlah buruk. Di Juventus, lanjut eks-pelatih Tim Nasional Inggris ini, Bonucci berada di situasi ideal di mana dia menjadi spare man dalam formasi tiga bek. Sementara, untuk bermain di pakem empat bek, situasinya benar-benar lain.
Apa yang diungkapkan Capello ini sebenarnya sudah kerapkali diucapkan, khususnya sejak Antonio Conte akhirnya menerapkan formasi 3-5-2 di Juventus. Diapit Andrea Barzagli dan Giorgio Chiellini, Bonucci memang tidak melulu harus bertahan. Di situ, tugasnya cuma dua. Pertama, menghalau bola yang lolos dari adangan Barzagli dan Chiellini. Kedua, menginisiasi serangan lewat umpan-umpan panjangnya nan aduhai.
ADVERTISEMENT
Di Milan, situasinya berbeda. Sejak awal, Rossoneri memang berencana untuk menerapkan formasi 4-3-3. Akan tetapi, kedatangan Bonucci membuat Vincenzo Montella harus berkompromi dan hasilnya, Milan pun terpaksa menggunakan pakem 3-5-2.
Dengan formasi tiga bek itu, Milan pun akhirnya tak optimal karena ada banyak pemain yang kemudian harus dikorbankan, seperti Suso. Alhasil, Milan pun justru makin kesulitan dan Montella akhirnya dipecat.
Setelah Montella dipecat, manajemen Milan kemudian menunjuk Gennaro Gattuso dan bersama Rino, Milan kembali menggunakan pakem empat bek. Hasilnya pun sama saja. Milan masih begini-begini saja, kalau tak boleh dibilang semakin menurun.
Di sini, Bonucci memang jadi buah simalakama. Jika tak dimainkan, rasanya tidak pantas karena dia adalah ikon penyegaran Milana, tetapi jika dimainkan, dirinya justru membuat susah orang lain.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, apakah memang benar bahwa Bonucci sebenarnya tidak mampu bertahan dengan baik? Untuk itu, mari coba kita tengok statistiknya.
Di Milan, Bonucci sudah bermain sebanyak 22 kali, di mana 16 di antaranya dia lakoni pada ajang Serie A. Dari sana, dia membukukan satu tekel, 1,6 intersep, empat sapuan, dan 0,3 blok per laga. Percaya tidak percaya, catatan itu justru lebih baik ketimbang apa yang dibuatnya bersama Juventus.
Namun, situasinya tentu berbeda. Di Juventus, tugas bertahan Bonucci memang tidak seberat di Milan. Sebabnya, di Juventus, Bonucci didampingi oleh pemain-pemain yang lebih berpengalaman dan dimainkan dalam sistem yang pas. Dengan kata lain, meningkatnya aksi defensif tak serta merta membuat seorang pemain jadi lebih baik.
ADVERTISEMENT
Adapun, Bonucci yang sekarang ini lebih mirip dengan Bonucci pada masa-masa awalnya di Juventus, alias sebelum Conte datang. Di situ, Bonucci memang harus bermain dalam formasi empat bek dengan rekan-rekan yang tidak terlalu bagus pula. Hasilnya, di situ kekurangan Bonucci, terutama dalam menempatkan posisi, kerapkali terekspos.
Selain buruk dalam menempatkan posisi, Bonucci juga punya dua kekurangan lain, yakni kecepatan dan kekuatan. Sebagai seorang bek tengah, dia memang terlampau elegan. Dia tak seperti Gerard Pique yang meski elegan, juga memiliki kekuatan serta kecepatan memadai seandainya harus mengejar pemain yang lolos.
Namun, ini tak serta merta pula membuat Bonucci jadi pemain yang buruk. Seperti yang dikatakan Capello, Bonucci adalah salah satu ball-playing defender terbaik dunia. Namun, itu semua hanya bisa keluar dengan prasyarat yang tak mudah dipenuhi.
ADVERTISEMENT
Sebagai contoh, di Juventus musim lalu, Bonucci pun bermain dalam skema empat bek. Namun, di sana dia didampingi oleh Chiellini serta Dani Alves dan Alex Sandro. Selain itu, pemain-pemain tengah Juventus macam Sami Khedira, Miralem Pjanic, bahkan Mario Mandzukic pun mampu menjalankan tugas defensif mereka dengan baik. Dengan begitu, Bonucci jadi tak harus kerap-kerap terekspos.
Maka dari itu, satu hal yang perlu dilakukan Milan agar kapten baru mereka ini bisa mengeluarkan kemampuan terbaik adalah dengan mendatangkan pelatih baru. Pelatih baru itu, tentu saja, harus benar-benar punya sistem yang apik untuk melindungi Bonucci, dan apabila ini tidak bisa diwujudkan, maka jalan terbaik adalah melego Bonucci saja sekalian.