Bagaimana Capello Membentuk Ibra Menjadi Mesin Gol

22 November 2018 23:51 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ibra zaman lampau, Juventus 2004. (Foto: PACO SERINELLI / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Ibra zaman lampau, Juventus 2004. (Foto: PACO SERINELLI / AFP)
ADVERTISEMENT
Swedia jelas lebih dekat ke Kutub Utara dan Belanda lebih hangat cuacanya, tapi bagi Zlatan Ibrahimovic, tidak ada yang lebih dingin ketimbang sepak bola Turin.
ADVERTISEMENT
Usai menutup perjalanannya bersama Malmo FF, Ibra hengkang ke Ajax Amsterdam pada 2001. Bermain selama tiga musim, Juventus menjadi perhentian selanjutnya pada 2004.
Juventus adalah anak kandung sepak bola Italia. Tak ada sepak bola yang tak memuja kemenangan. Namun, sepak bola Italia adalah sepak bola yang teramat mengagungkan kemenangan. Tidak peduli seburuk apa pun permainanmu, yang paling penting adalah kemenangan.
Orang-orang Italia sana tidak akan mau bersusah-payah seperti, katakanlah Johan Cruyff, untuk membangun klub dengan tradisi dan budaya sepak bolanya sendiri. Kalau kemenangan bisa direngkuh dengan cara yang paling buruk sekalipun (tidak bermain cantik -red), itu sudah lebih dari cukup.
Dalam bukunya yang berjudul Italian Job, Gianluca Vialli dan Gabrielle Marcotti menjelaskan perbedaan antara suporter Inggris dan Italia. Suporter Inggris adalah orang-orang yang menghidupi jargon 'If you can’t support when we lose, you can’t support us when we win'. Makanya tak heran, kalah atau menang suporter akan terus bersama klub. Bagi mereka menjadi suporter adalah identitas.
ADVERTISEMENT
Suporter Juventus merayakan kemenangan. (Foto: Reuters/Giorgio Perottino)
zoom-in-whitePerbesar
Suporter Juventus merayakan kemenangan. (Foto: Reuters/Giorgio Perottino)
Sedangkan sepak bola Italia tidak mengenal budaya suporter yang demikian. Keduanya menjelaskan bahwa suporter Italia memperlakukan fanatisme sepak bola sebagai iman. Jika ada yang dirasa mengusik iman, mereka akan turun ke lapangan dan menuntut perombakan di sana-sini. Adalah hal yang lazim bila ultras-ultras Italia akan terlebih dulu menyerang para pemain saat kemenangan tak kunjung mampu mereka berikan.
Maka, dengan cara yang teramat Italia itulah Fabio Capello mendidik Ibra. Capello tidak meminta Ibra untuk bermain menawan. Ia tahu bahwa anak didiknya yang satu ini berbeda: punya naluri pembunuh, ditopang oleh ego setinggi langit, dan dilindungi oleh talenta cemerlang.
Lantas, yang dilakukan Capello adalah menghapus semua memori dan pemahaman sepak bola Ibrahimovic, memprogram ulang, dan merangkainya menjadi mesin gol. Sepak bola Turin adalah sepak bola yang lugas, yang menuntut Ibra menjadi pemain berdarah dingin di depan gawang.
ADVERTISEMENT
"Pada awalnya, sepak bola saya tumbuh tanpa tendensi untuk mencetak gol. Permainan saya adalah tentang skill-skill terbaik dan teknik brilian. Pemikiran macam itulah yang membawa saya ke mana pun saya mau," jelas Ibra kepada BBC Sport, dilansir Football Italia.
"Semuanya berubah sejak saya menjejakkan kaki ke Juventus. Sewaktu di Ajax, permainan indah adalah tujuan saya. Tentu tuntutan seperti itu memberikan saya teknan. Namun, semuanya selalu tentang gol begitu saya tiba di Italia, bersama Capello. Segala sesuatunya adalah hal baru bagi saya. Juventus waktu itu seperti, 'Wow, klub besar, pemain-pemain hebat, pelatih genius, sejarah masyhur. Sepak bola Italia. Serie A. Wow," ucap mantan penggawa Timnas Swedia ini.
Ibra datang saat sepak bola Italia masih di atas. Mungkin tidak semenakjubkan era 1990-an, tapi tetap saja masih mentereng. Musim 2002/03, sepak bola Italia sampai di puncak ranah kompetisi Eropa. Final Liga Champions 2002/03 mempertemukan dua wakil Italia, Juventus dan AC Milan.
ADVERTISEMENT
Berlaga di Old Trafford, Milan menutup hari dengan kemenangan 3-2 di babak adu penalti. Ibra pun datang beberapa saat setelah Juventus merayakan raihan scudetto ke-23-nya. Singkat cerita, Juventus adalah tim besar, Serie A adalah liga prestisius--walau jagat sepak bola tahu, dua-tiga tahun setelahnya lapangan hijau Italia memeram luka bernama calciopoli.
Pelatih asal Italia, Fabio Capello. (Foto: Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Pelatih asal Italia, Fabio Capello. (Foto: Wikimedia Commons)
Capello adalah epitome bagi ide dasar bernama pragmatisme. Tak ada yang salah dengan menjadi pragmatis. Toh, tiap klub membutuhkan kejayaan untuk dapat hidup dengan layak. Sekali lagi, hidup dengan layak, bukannya sekadar bertahan hidup.
Lagipula, menjadi pragmatis bukan menghalalkan segala cara. Menjadi pragmatis adalah tentang menjadi cerdik saat diperhadapkan dengan keadaan, mengendalikan diri supaya tetap realistis, dan mencari cara paling memungkinkan untuk mengatasi setiap kondisi.
ADVERTISEMENT
Dengan definisi demikian, maka Capello boleh jadi adalah salah satu sosok pragmatis paling tangguh sepanjang masa. Ukurannya jelas: berapa banyak trofi yang dikumpulkannya sepanjang karier dan bagaimana ia meraihnya. Patokannya adalah berapa banyak kemenangan yang bisa dikumpulkan untuk menutup laga dengan raihan poin penuh. Dan bagi sepak bola, kemenangan ditentukan oleh banyaknya gol.
"Sejak hari pertama, setiap latihan selesai saya akan mendengar Fabio Capello berteriak 'Ibra!' Ya, dari situlah nama Ibra itu muncul. (Luciano) Moggi tidak tahu bagaimana melafalkan nama saya, jadi ia hanya memanggil saya 'Ibra...ee...Ibra!' Setelahnya, semua orang memanggil saya Ibra," kata Ibra.
"Dan Capello menunjuk kepada asistennya, orang tua asli Italia. Ia sudah merekrut orang-orang dari akademi dan tim junior, dan saya berlatih bersama mereka. Mereka memberikan saya umpan-umpan dan saya mencetak gol. Setiap hari seperti itu, selama 30 menit penuh. Kadang saya ingin pulang saja karena terlalu lelah dan tidak mau mencetak gol lagi. Saya sampai muak dan tidak ingin melihat gawang atau kiper lagi."
ADVERTISEMENT
"Sebenarnya saya sudah mencoba-coba untuk pulang sebelum orang lain. Dan setiap kali melakukannya, saya mendengar teriakan 'Ibra!' dan saya tahu apa yang terjadi setelahnya. Saya menembak, hanya menembak. Mulai dari tembakan yang bagus sampai tembakan yang buruk," jelas Ibra.
Didikan tidak akan pernah menjadi perkara menyenangkan untuk dijalani. Namun, tubuh perlu merasakan sabetan rotan untuk menjadi dewasa. Begitu pula dengan talenta Ibra. Tak jarang, menjadi dewasa di atas lapangan bola adalah menghilangkan asa untuk merasakan kesenangan yang mencuat setiap kali kaki menyentuh bola.
Selebrasi gol Zlatan Ibrahimovic. (Foto: Gary A. Vasquez/Reuters)
zoom-in-whitePerbesar
Selebrasi gol Zlatan Ibrahimovic. (Foto: Gary A. Vasquez/Reuters)
Di Italia sana, Ibra didewasakan dengan satu pemahaman bahwa yang paling dibutuhkan oleh klub dan para suporter bukanlah aksi sirkus yang ekstravaganza. Yang mereka butuhkan adalah kemenangan. Maka, mencetak gol menjadi satu-satunya cara untuk menjawab kebutuhan itu.
ADVERTISEMENT
Sejak musim 2004/05 hingga 2005/06, Ibra menorehkan 26 gol untuk Juventus. Bukan jumlah yang spektakuler. Tapi barangkali, angka yang tak istimewa-istimewa amat itu adalah awal dari segala kelakuan ajaibnya di atas lapangan bola di tahun-tahun setelahnya, bahkan hingga sekarang.
"Pada akhirnya, saya menjadi mesin--di depan gawang, mencetak gol. Di Italia, seorang penyerang akan menghadapi situasi paling sulit ketika ia sudah mencapai depan gawang karena pada dasarnya, mereka punya kemampuan taktik yang bagus. Dan di periode-periode itu, yang mengawal saya adalah bek-bek kelas dunia," ucap mantan pemain Barcelona ini.
"Saya ingat bagaimana rasanya berduel melawan bek-bek Milan seperti Paolo Maldini dan Alessandro Nesta. Tidak akan ada kesempatan utuh buatmu. Mungkin, satu-satunya yang kamu miliki hanya kesempatan yang jumlahnya cuma separuh. Sudah harus melawan mereka, di belakangnya masih ada kiper kelas dunia macam Dida. Namun, saya beruntung karena saya memiliki (Gianluigi) Buffon sebagai rekan latihan. Saya juga berlatih bersama bek seperti (Lilian) Thuram dan (Fabio) Cannavaro."
ADVERTISEMENT
"Kamu tidak akan pernah merasa mampu untuk melewati mereka. Setiap kali mencoba melewati keduanya, badan saya langsung sakit-sakit. Lalu, kamu membutuhkan kekuatan untuk mencetak gol, tapi masih ada Buffon yang harus dilewati. Intinya, saya berlatih mencetak gol di lingkungan yang tepat. Dan saya sadar, gol demi gol akan tetap datang sepanjang saya berlatih," jelas Ibra.