Bagi Timnas Italia, Roberto Mancini Adalah Renaissance yang Nyata

14 Oktober 2019 21:00 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Roberto Mancini pimpin restorasi Timnas Italia. Foto: AFP/Andreas Solaro
zoom-in-whitePerbesar
Roberto Mancini pimpin restorasi Timnas Italia. Foto: AFP/Andreas Solaro
ADVERTISEMENT
13 November 2017 di San Siro. Di situlah era kegelapan Tim Nasional Italia tercipta. Mereka cuma bermain imbang 0-0 dengan Swedia di babak play-off Piala Dunia 2018.
ADVERTISEMENT
Harusnya Gli Azzurri mencetak dua gol tanpa balas. Menjadi kewajiban karena mereka kalah 0-1 di leg pertama dari tim berjuluk Blagult itu.
Nyatanya realitasnya tak berjalan selaras. Italia gagal membalikkan keadaan dan gagal berangkat ke Rusia. Itu sekaligus jadi kegagalan perdana mereka untuk mentas di Piala Dunia dalam 60 tahun ke belakang.
Aib itu berbuntut pemecatan Gian Piero Ventura dipecat dan mundurnya Carlo Tavecchio selaku Presiden Federasi Sepak Bola Italia (FIGC).
Kekecewaan para penggawa Italia. Foto: REUTERS/Max Rossi
Setahun berlalu setelah era kegelapan, Italia meluncurkan jersi spesial. Bukan, bukan karena peralihan dari warna biru ke hijau. Toh, 1954 silam mereka juga pernah mengenakan jersi berwarna serupa dalam laga uji tanding menghadapi Argentina di Stadio Olimpico.
ADVERTISEMENT
Melainkan konsep Renaissance yang mereka usung. Ya, era kebangkitan budaya, artistik, politik dan ekonomi Eropa setelah Abad Pertengahan.
Perlu diingat bahwa Italia memang punya andil besar dalam membangkitkan Renaissance --melalui dinasti Medici yang kala itu berkuasa di Florence. Baru kemudian menyebar ke Venezia, Milan, Bologna, Ferrara, dan Roma. Gagasan Renaissance semakin masif selama abad ke-15 dan meluas dari Italia ke Prancis lalu ke seluruh Eropa barat dan utara.
Gamblangnya, Renaissance adalah gagasan untuk melahirkan kembali budaya, artistik, politik, dan ekonomi yang muncul di abad pertengahan. Masa di mana peperangan menjadi hal yang lumrah --berbuntut kelaparan dan wabah penyakit-- serta ketidaktahuan adalah sesuatu yang wajar. Renaissance adalah gagasan untuk mengobati era kegelapan saat itu.
ADVERTISEMENT
Bukankah Italia juga tengah mengalami masa kegelapan itu saat gagal lolos ke Piala Dunia? Padahal, mereka adalah negara yang penuh dengan tradisi dan empat kali menjadi raja di ajang terakbar di muka bumi itu.
Renaissance yang dilakukan Italia saat ini adalah demi menggerus aib dan menatap masa depan. Pada akhirnya, mereka berhasil menebus kegagalan tahun lalu dengan menyabet tiket ke putaran final Piala Eropa 2020.
Hal itu dipastikan setelah Italia mengandaskan Yunani 2-0 di matchday ketujuh Grup J. 21 poin yang mereka raih sudah tak mungkin terkejar oleh tim peringkat ketiga, Armenia, yang baru mengemas 10 angka.
Lantas, siapa yang jadi aktor dalam Renaissance sepak bola Italia? Tak lain, tak bukan, Roberto Mancini orangnya.
ADVERTISEMENT
Roberto Mancini merayakan gol bersama pemain-pemain Timnas Italia. Foto: AFP/Marco Bertorello
Secara tipikal permainan, Mancini sebenarnya tak jauh berbeda dari para pendahulunya, Ventura dan Antonio Conte. Ia mengutamakan departemen pertahanan sebagai lini terkuat timnya.
Gaya pertahanan Mancini ini terlihat dari catatan kebobolan yang ditorehkan oleh Inter Milan di ajang Serie A pada musim 2007/08 serta Manchester City di ajang Premier League pada musim 2010/11. Pada musim 2007/08, Inter hanya menorehkan total kebobolan 26 gol saja.
Hal sama juga terjadi kala Mancini membesut Manchester City pada musim 2010/11. Walau gagal menjadi juara Premier League, The Citizens kala itu mencatatkan total kebobolan 33 gol. Jumlah ini setara dengan total kebobolan Chelsea, menjadi yang paling sedikit di ajang Premier League ketika itu.
ADVERTISEMENT
Jalan Mancini tak bakal semulus itu. Sebab, masalah Italia bukan ada di sektor pertahanan, melainkan ompongnya lini depan.
Terhitung sejak awal September 2017 hingga kedatangan Mancini, Italia cuma mampu mengukir 4 gol dalam 8 pertandingan atau rata-rata 0,5 per laga.
Kenyataannya benar, usai sukses menaklukkan Saudi Arabia di laga debutnya, kemenangan jadi barang yang benar-benar langka untuk Mancini. Italia keok dari Prancis dan bermain imbang dengan Belanda di laga persahabatan selanjutnya.
Start Jorginho cs. di ajang UEFA Nations League juga sergut. Kalah dari Portugal dan hanya imbang dengan Polandia. Oh, iya, Italia juga kembali bermain seri saat uji tanding dengan Ukraina.
Mancini baru menggamit kemenangan keduanya lima bulan kemudian, kala anak asuhnya mempecundangi Polandia 1-0 di Stadion Slaski.
ADVERTISEMENT
Alhasil, Italia cuma finis di peringkat kedua klasemen akhir UEFA Nations League A dan gagal lolos ke semifinal--terpaut 3 angka dari Portugal yang kemudian jadi juara. Namun, dari situ pula Mancini menemukan formula terbaiknya: Mengembangkan potensi para pemain muda.
Para pemain Italia merayakan gol yang dicetak Marco Verratti ke gawang Bosnia. Foto: REUTERS/Massimo Pinca
Hal itu terpapar saat Italia melakoni laga internasional terakhir di 2018 versus Amerika Serikat (AS). Giorgio Chiellini, Alessandro Florenzi, Lorenzo Insigne, Jorginho, dan Ciro Immobile dipulangkan Mancini. Stefano Sensi dan Nicolò Barella diturunkan sejak awal laga.
Pun demikian dengan nama-nama 'asing' macam Kevin Lasagna, Vincenzo Grifo, dan Matteo Politano. Pemain yang disebut belakangan itu jadi pencetak gol kemenangan Italia dalam laga yang dihelat di Luminus Arena tersebut.
ADVERTISEMENT
Mancini makin menegaskan kebijakannya untuk menampilkan para pemain muda di dua laga awal Kualifikasi Piala Eropa 2020, melawan Finlandia dan Liechtenstein. Alessio Cragno, Gianluca Mancini, Bryan Cristante, Barella, Nicolo Zaniolo, Federico Chiesa, serta Moise Kean adalah para pemuda yang masuk dalam skuat Italia.
Kendati demikian, bukan berarti Mancini mengabaikan para penggawa berpengalaman. Chiellini, Leonardo Bonucci, Salvatore Sirigu, dan Fabio Quagliarella dipercaya untuk mendongkrak mental tim.
Hasilnya tokcer, Finlandia ditekuk 2-0. Sementara Liechtenstein dilibas enam gol tanpa balas. Makin spesial karena Italia sukses menyapu bersih lima pertandingan setelahnya.
Matteo Politano (kostum 20) merayakan gol ke gawang AS bersama Marco Verratti (kostum 6) dan Stefano Sensi (kostum 23). Foto: REUTERS/Francois Walschaerts
Terpenting lagi, lini depan Italia tak lagi ompong. Sudah 20 gol mereka bikin dalam 7 laga, tertinggi di antara kontestan Grup J. Kecairan lini depan jadi kunci permainan Mancini.
ADVERTISEMENT
Italia tak lagi mengandalkan target-man macam Ciro Immobile dan Andrea Belotti seperti di Kualifikasi Piala Dunia lalu. Perlu diingat bahwa total keduanya sudah mengemas 10 gol di babak kualifikasi, nyaris setengah dari seluruh gol Italia.
Bandingkan dengan sekarang, torehan gol Italia relatif merata. Tak hanya didominasi dari lini depan, melainkan juga secondline. Barella, Verratti, dan Jorginho masing-masing mengemas 2 gol--setara dengan Moise Kean, Lorenzo Insigne, dan Fabio Quagliarella.
***
Kehadiran Mancini tak hanya mendongkrak performa Italia, lebih dari itu. Pria berusia 54 tahun tersebut sukses mengembalikan semangat juang, menambal kelemahan di lini depan dan meregenerasi para pemain pasca-era kegelapan Italia. Jadi, apalagi namanya jika bukan Renaissance?
ADVERTISEMENT