Bekerja dalam Diam, lalu Menyentak seperti Sampdoria

4 September 2018 6:52 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Direktur Teknik Sampdoria, Walter Sabatini. (Foto: FILIPPO MONTEFORTE / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Direktur Teknik Sampdoria, Walter Sabatini. (Foto: FILIPPO MONTEFORTE / AFP)
ADVERTISEMENT
Laga Sampdoria melawan Napoli sudah tuntas pada Senin (3/9/2018), tapi cerita tentangnya belum selesai diperdengarkan. Di Stadion Luigi Ferraris, Sampdoria berhasil menggilas Napoli tiga gol tanpa batas. Predikat Carlo Ancelotti sebagai genius taktik menjadi begitu kerdil di hadapan sistem permainan yang diusung oleh Sampdoria yang ada di bawah kepelatihan Marco Giampaolo.
ADVERTISEMENT
Kemenangan Sampdoria di pertandingan itu ditentukan oleh dua gol Gregoire Defrel dan satu gol Fabio Quagliarella. Gol yang menyentak ranah sepak bola Italia itu diawali dengan assist Bartosz Bereszynski dari area kiri lawan. Kematangan mental, teknik, sentuhan keberuntungan membuat Quagliarella sanggup menerima dan mengonversi assist tadi menjadi gol lewat sepakan tumit kanan.
Sampdoria pantas untuk merawat ingatan tentang kemenangan itu. Pasalnya, Napoli yang mereka hadapi itu bukan lawan biasa. Mereka mengakhiri Serie 2017/18 dengan status runner-up. Agresivitas serangan yang dibangun oleh para pemainnya pun hampir selalu berhasil menakuti tim-tim yang menjadi lawan.
Faktanya, anggapan itu tak berlaku di pertandingan melawan Sampdoria. Dengan meyakinkan, Giampaolo mengusung sistem permainan yang mengunci pergerakan Lorenzo Insigne dan rekan-rekannya. Di sepanjang laga, Sampdoria memang kalah agresif. Ini dibuktikan dengan 9 tembakan Sampdoria yang berbanding dengan 18 tembakan Napoli. Namun, di laga ini Sampdoria menampar Napoli dengan satu pelajaran tentang efektivitas permainan.
ADVERTISEMENT
Direktur Teknik Sampdoria, Walter Sabatini, menjadi salah satu orang yang paling berbahagia atas keberhasilan timnya menghajar Napoli. Baginya, apa-apa yang diberikan Sampdoria di malam itu menunjukkan seperti apa Sampdoria yang sebenarnya. Hanya, ia menolak menjadi orang yang naif. Ia pun menyadari bahwa sebelum kemenangan hebat itu, Sampdoria sudah menelan satu kekalahan melawan Udinese.
"Sampdoria yang sebenarnya adalah yang kita lihat kemarin (Senin, 3/9/2018). Tapi, jangan lupakan juga soal Sampdoria yang menelan kekalahan dari Udinese. Kami harus memahami ini secara utuh. Benar, Sampdoria punya kelebihan, tapi tim ini pun memiliki kelemahan yang harus segera diperbaiki," jelas Sabatini, dilansir Football Italia.
"Kekalahan dan kemenangan ini mencelikkan mata kami sendiri seperti apa kami sekarang dan mau jadi seperti apa kami ke depannya. Kami ingin menjadi satu tim yang kuat dan kami akan mewujudkan keinginan itu. Apalagi, tim ini dididik oleh seorang pelatih yang luar biasa yang perkataan dan instruksinya selalu diikuti oleh setiap orang di tim."
ADVERTISEMENT
"Kami ingin menjadi tim yang lebih baik ketimbang musim lalu dan tetap membangun diri sendiri di atas ide-ide kami. Sekarang kami masih ada di fase membangun, sedang berkembang. Tapi saya tahu, potensinya menjanjikan," jelas sosok yang pernah berseragam Perugia ini.
Giampaolo yang menjadi juru taktik Sampdoria itu paham benar seperti apa rasanya dibentuk dalam dunia kepelatihan sepak bola. Namanya tak seharum Antonio Conte ataupun Massimiliano Allegri. Ia bahkan kalah sangar bila dibandingkan dengan Gennaro Gattuso. Bahkan, Giampaolo sempat masuk daftar orang gagal di dunia kepelatihan.
Pada musim 2008/09 namanya pernah digadang-gadangkan sebagai pelatih mudah paling menjanjikan di jagat Serie A. Prestasinya kala itu adalah membawa Siena finis di posisi tertinggi mereka sepanjang sejarah, yakni di posisi ke-14 dengan 44 angka.
ADVERTISEMENT
Namanya pun kemudian dikait-kaitkan dengan Juventus yang kala itu masih tertatih. Sialnya, Juventus kemudian justru menjatuhkan pilihan kepada Ciro Ferrara untuk menggantikan Claudio Ranieri. Apa boleh buat, Giampaolo harus menetap bersama Siena.
Dibebani ekspektasi tinggi, Giampaolo justru gagal memberikan kualitas terbaiknya. Tiga hari sebelum Oktober 2009 berakhir, pemecatan menjadi makanan pahit yang harus dikecap dan ditelannya. Setelahnya, kegagalan demi kegagalan datang mendekat padanya.
Karier kepelatihannya hancur, pemecatan demi pemecatan menjadi kawannya yang paling dekat. Meski menampik, Giampaolo bahkan dikabarkan sempat mengalami depresi karena rentetan kegagalan dalam kurun waktu enam tahun tadi.
Marco Giampaolo di laga vs Napoli. (Foto: REUTERS/Jennifer Lorenzini)
zoom-in-whitePerbesar
Marco Giampaolo di laga vs Napoli. (Foto: REUTERS/Jennifer Lorenzini)
'Kekeraskepalaannya' untuk tetap berkarier sebagai pelatih menyelamatkannya. Ia pun mendapatkan jabatan baru sebagai pelatih Empoli menjelang awal musim 2015/16. Kesempatan ini tak ingin dibuangnya begitu saja.
ADVERTISEMENT
Tak peduli sederas apa pun cibiran publik tentang Empoli, Giampaolo tetap bekerja. Ranah sepak bola tak melihat bagaimana Giampaolo bekerja. Yang mereka tahu, dengan skuat seadanya, Giampaolo berhasil membalikan keadaan. Empoli dibuatnya finis di peringkat 10 pada musim 2015/16.
Sampdoria pun datang menyambut. Giampaolo diangkat menjadi manajer pada 2016. Gebrakan kembali dibuatnya. Bila di musim sebelumnya Sampdoria finis di peringkat 15, pada 2016/17 mereka finis di peringkat 10.
Nama Giampaolo dan anak-anak asuhnya memang jauh dari elu-elu dan publikasi mentereng. Namun, Sampdoria bekerja dalam sunyi, mereka memupuk kemenangan dalam diam. Di waktu yang tepat, mereka menyentak dengan hebat. Laga melawan Napoli itulah yang ternyata menjadi waktu paling tepat bagi Sampdoria.
ADVERTISEMENT
Tangan dingin Giampaolo itu pulalah yang berhasil memimpin anak-anak asuhnya menampilkan permainan mengesankan, termasuk Defrel dan Quagliarella. Sebelum Quagliarella mencetak gol tumit yang ajaib itu, Defrel sudah dua kali mencetak gol.
Bahkan, keunggulan Sampdoria atas Napoli direbut pada menit 11 dan berlanjut di menit 33. Di laga itu, Defrel tampil sebagai penyerang jitu. Dua dari 9 upaya tembakan Sampdoria lahir darinya. Hebatnya, kedua tembakan itu tak hanya mengarah ke gawang, tapi juga berbuah gol. Itu belum ditambah dengan keterlibatannya dalam permainan tim.
"Defrel telah menemukan lingkungan yang tepat untuk membantunya mengerahkan segala kemampuan. Ia mengatasi permasalahan fisik yang dialaminya saat masih berseragam AS Roma. Sekarang, ia bermain dengan antusias dan sikap inilah yang membuatnya sanggup mencetak gol. Selain brace, ia pun juga menunjukkan permainan yang menjanjikan secara keseluruhan," jelas Sabatini.
ADVERTISEMENT
Sampdoria rayakan kemenangan 3-0 atas Napoli. (Foto: MARCO BERTORELLO / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Sampdoria rayakan kemenangan 3-0 atas Napoli. (Foto: MARCO BERTORELLO / AFP)
Sebelum hijrah ke Sampdoria sebagai pemain pinjaman, Defrel sudah berstatus sebagai pemain Sassuolo yang dipinjamkan ke Roma pada 2017/18. Sayangnya, ia gagal menembus skuat utama. Sepanjang musim, ia hanya bermain 20 kali untuk Roma. Namun, pada akhirnya Roma tetap mempermanenkan Defrel pada 2018/19. Hanya, ia mesti dipinjamkan ke Sampdoria dulu demi mendapat menit bermain yang lebih banyak.
Tentang lingkungan yang tepat buat Defrel, kredit patut diberikan kepada bek tengah mereka, Joachim Andersen. Sebabnya, walau bermain sebagai bek, ia juga piawai dalam membangun serangan dari area belakang. Dibandingkan dengan kawan-kawannya di tim malam itu, Andersen menjadi pemain yang paling banyak menorehkan umpan akurat. Dari 50 upaya umpannya, 49 di antaranya tercatat sebagai umpan akurat.
ADVERTISEMENT
Lingkungan yang tepat bagi Defrel itu juga dibuktikan dengan keberadaan Quagliarella. Walau bermain sebagai penyerang, ia tidak menjadi sosok yang kerap menunggu untuk dilayani. Hal ini terbukti dari 18 umpan akuratnya, bahkan satu di antaranya berbuah assist untuk gol Defrel di menit 33. Dan tentu, kualitasnya sebagai penyerang ditunjukkan dari torehan gol luar biasanya tadi.
"Tentang gol Quaglieralla, saya bahkan tidak dapat menjelaskannya. Saya menjadi satu dari entah berapa ribu orang yang terdiam menyaksikan gol itu, menjadi salah satu orang yang paling sibuk untuk mempelajari gol tadi," ucap Sabatini yang juga pernah menjabat sebagai Direktur Sepak Bola AS Roma itu.
Dalam situasi seperti itu, seorang pemain cenderung menggunakan naluri, tapi Quaglieralla berbeda. Ia menggabungkan naluri dan perhitungan akurat untuk mencetak gol. Terlepas dari gol itu, Quaglierra adalah seorang pemimpin di atas lapangan. Ia adalah juara kami dan sosok yang selalu sadar akan tugasnya untuk mendorong kami sampai ke puncak prestasi," pungkas Sabatini.
ADVERTISEMENT
Di musim 2017/18, Sampdoria bukannya tanpa masalah. Manajemen memutuskan untuk menjual sejumlah pemain bintang. Keputusan manajemen untuk mencari untung lewat penjualan dan peminjaman pemain memaksa Sampdoria harus kehilangan tiga pilar musim 2016/17: Luis Muriel, Patrick Schick, dan Milan Skriniar.
Keputusan tersebut pada akhirnya membuat Giampaolo pusing. Ia tak hanya diharuskan untuk memperbaiki beberapa lubang yang ditinggalkan musim sebelumnya, tapi juga mencari opsi untuk menutup posisi yang ditinggalkan oleh beberapa pemain pilar yang hengkang.
Yang tak boleh dilupakan, Giampaolo bukannya sekali dua kali ada dalam masa temaram. Di perjalanan sebelumnya ia membuktikan bahwa tak peduli sesempit apa pun lubang jarum itu, ia tetap bisa lolos dan melanjutkan hidup.
Sampdoria barangkali tak akan menjadi klub yang bergelimang ketenaran. Namun, Sampdoria bisa menjadi klub yang punya ketangguhan mental, bertahan dalam anomali kompetisi, dan setia merawat daya tahan untuk terus bermimpi.
ADVERTISEMENT
Bukan jalan yang mudah, bukan perjuangan yang menarik. Tapi, bukannya mustahil bakal menjadi salah satu kisah paling berarti.