Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
De Rossi dan Manolas Membangun Epos dari Gol Bunuh Diri
11 April 2018 16:13 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:09 WIB
ADVERTISEMENT
Brian Phillips, dalam esainya yang berjudul The Sea of Crises, menyebut Jepang sebagai negara yang merayakan bunuh diri secara historis. Bunuh diri, dalam tradisi dan moral Jepang, merupakan cara paling hormat untuk mempertanggungjawabkan kegagalan yang tak mungkin diperbaiki dan aib yang tak mungkin diobati.
ADVERTISEMENT
Simaklah cerita pascakegagalan Jepang di Perang Dunia II. Ketimbang tertangkap apalagi mati di tangan lawan, mereka lebih memilih untuk mati di tangan sendiri.
Cara tergila yang pernah dilakukan Jepang untuk membicarakan pandangan tradisionalnya tentang bunuh diri muncul dalam novelet Patriotism karya Yukio Mishima. Novelet ini menjadi gila bukan hanya karena menuturkan ritual seppuku secara mendetail, tapi karena sang penulis juga menghidupi apa yang ditulisnya dalam novelet tersebut.
Mishima yang bernama asli Kimitake Hiraoka itu mati bunuh diri. Bunuh dirinya begitu dramatis. 25 November 1970, ia memilih mati dengan menghidupkan kembali ritual seppuku. Caranya serupa dengan yang ia tuliskan dalam Patriotism tadi.
Tak sedikit yang menyebut Mishima tak lebih dari seorang gila, bahkan ada yang menyebutnya fasis sinting. Namun, ketika peristiwa ini terjadi, Mishima adalah sastrawan masyhur dengan karya-karya yang memukau. Di tahun tersebut, ia bahkan sudah disebut-sebut sebagai salah satu kandidat pemenang Nobel Sastra.
ADVERTISEMENT
Kala itu, Mishima berpidato. Ia menegaskan bahwa apa yang dilakukannya ini semata-mata untuk mengembalikan Jepang ke fitrahnya. Baginya, ada yang lebih jauh bernilai daripada kehidupan itu sendiri, yaitu kebanggaan kebangsaan Jepang.
Jepang, di otak Mishima, seharusnya menjadi negara yang tak kalah dengan modernisasi dan menghidupi tradisinya secara khusyuk. Ia sebenarnya merasa frustasi dengan Jepang yang melaju dengan modernismenya yang kepalang pesat.
Saking modernnya, ia menilai, Jepang sampai meninggalkan etika dan moral – seperti patriotisme dan cinta tanah air, ataupun kesetiaan kepada kaisar. Berpangkal dari pemikiran inilah, peristiwa yang rasanya tak mungkin dilupakan oleh orang-orang seantero Jepang itu terjadi.
Lantas, bunuh diri yang (katanya) mengembalikan kebanggaan kebangsaan tak hanya terjadi di zaman Mishima, tapi juga terjadi di Camp Nou, Barcelona.
ADVERTISEMENT
Adalah Daniele De Rossi dan Kostas Manolas yang menjadi pelaku. Yang satu orang Italia, yang satu perantauan Yunani. Pertandingan ini begitu penting, babak perempat final Liga Champions. Memang baru leg pertama, masih ada leg kedua yang menentukan berhasil atau gagalnya tim mencapai semifinal.
Namun, bagi mereka yang berlaga di Liga Champions, hukumnya cuma satu: rebutlah kemenangan sesegera mungkin. Bila kemenangan sudah bisa dikunci di leg pertama, mengapa harus menunggu leg kedua?
Itu pula yang dilakukan oleh Barcelona. Berlaga di hadapan pendukung sendiri, mereka tak punya alasan untuk mengendurkan tekanan sejak peluit awal dibunyikan. 'Serigala Kota Roma' mati kutu. Taring mereka memang belum ompong, tapi mereka cuma bisa berputar-putar mencoba mengintimidasi mangsa, yang sayangnya, tak terintimidasi sama sekali.
ADVERTISEMENT
Petaka itu datang di menit 38. Ketika kawan-kawannya bersusah payah membendung perlawanan Barcelona, De Rossi justru memberikan keunggulan cuma-cuma kepada lawannya lewat gol bunuh diri.
Prosesnya berawal dari permainan satu dua antara Andres Iniesta dan Lionel Messi. Ketika Iniesta mencoba untuk memberikan umpan terobosan, De Rossi yang memotong justru membelokkan bola ke gawangnya tanpa bisa dihalau Alisson Becker.
Entah memang sial benar, entah kekeliruan semata, yang jelas, cerita suram serupa terulang di menit 56, tak sampai 15 menit sejak turun minum berakhir. Kali ini, giliran Manolas yang jadi pelaku.
Antisipasi keliru Manolas saat memotong umpang silang Ivan Rakitic malah membelokkan bola ke gawang sendiri. Apa boleh bikin, di akhir laga Barcelona menang 4-1, dua di antaranya berasal dari gol bunuh diri pemain Roma.
ADVERTISEMENT
De Rossi dan Manolas seharusnya menjadi orang yang bertanggung jawab atas beban berlipat Roma demi lolos ke partai semifinal. Mereka serupa Mishima yang bertanggung jawab atas segala kericuhan dan tensi tinggi yang disulutnya pada 25 November 1970 silam. Seharusnya, keduanya dicela dan dituding, dicecar sebagai pesakitan yang membikin klub terjangkit penyakit.
Namun, lihatlah dengan apa yang terjadi pada AS Roma, De Rossi, dan Manolas. Pemberitaan bertubi-tubi dan puluhan tayangan ulang pada akhirnya menyadarkan kita bahwa Roma pun ada dalam deretan tim yang berjuang merebut trofi 'Si Kuping Besar'. Kompetisi ini bukan hanya rivalitas Real Madrid dan Barcelona, bukan pula tentang ambisi Manchester City untuk menguasai jagat sepak bola Eropa.
ADVERTISEMENT
Tak ada nyawa yang dicabut dari gol bunuh diri tadi. Yang mati akibat gol bunuh diri itu adalah harapan muluk-muluk bahwa Roma dapat melakoni pertandingan leg kedua dengan santai.
Gol bunuh diri di lapangan bola memang perkara aneh. Di satu sisi, ia adalah buah dari kekeliruan yang membikin tim sendiri terpuruk. Kami pernah menulis gol bunuh sebagai perwujudan dari komedi gelap di lapangan bola. Ya, lucu, tapi tak pantas untuk ditertawakan.
Di sisi lain, tanpa gol bunuh diri itu tak akan ada epos dari pahlawan-pahlawan yang namanya kurang semerbak buat digubris. Lihatlah apa yang terjadi pada Timnas Wanita Inggris di Piala Dunia Wanita 2015. Kala itu, mereka bertanding melawan Timnas Jepang di babak semifinal. Siapa pun yang lolos ke partai puncak akan berhadapan dengan Amerika Serikat.
ADVERTISEMENT
Laura Bassett mencetak gol bunuh diri bagi Inggris di menit yang bukan kepalang gawatnya: 92. Di menit-menit krusial itu, salah satu pemain Jepang, Nahomi Kawasumi, berusaha membangun serangan dari sisi kanan lapangan. Ia bermaksud mengirimkan umpan kepada temannya yang ada di dalam kotak penalti.
Bassett lantas bertindak. Ia berupaya menghalau bola dengan kaki kanannya. Alih-alih menyelamatkan gawang, bola tadi melambung terlalu tinggi dan mencium mistar gawang sebelum memantul ke tanah. Kiper mereka, Karen Louise Bardsley, tak kuasa mengantisipasi. Skor 2-1 bagi kemenangan Jepang menjadi penanda bahwa mereka berhak untuk melangkah ke partai puncak.
Bukannya dicela, publik, terutama media, justru menaruh hormat kepada Bassett. Sebabnya? Tanpa gembar-gembor gol bunuh diri yang tak mungkin lagi dibalas itu, publik Inggris sendiri tak akan menyadari, ada sekumpulan perempuan yang sedang berjuang demi merengkuh gelar bagi negaranya.
ADVERTISEMENT
Itu pula yang terjadi pada Roma. Tanpa gol bunuh diri itu, keputusan Eusebio Di Francesco untuk mengubah formasi dasar menjadi 3-5-2 tak akan jauh lebih menarik dibandingkan keputusan Ernesto Valverde untuk memainkan Lionel Messi atau tidak.
Bayangkan bila gol bunuh diri di leg pertama itu tidak ada. Kalaupun De Rossi dan Manolas tetap mencetak gol di leg kedua, gol keduanya akan menjadi gol pembawa kemenangan biasa. De Rossi hanya akan tetap dipandang sebagai pesepak bola tua, Manolas hanya akan dinilai sebagai kebangsaan Yunani yang sedang membangun kehidupannya di Italia.
De Rossi dan Manolas membangun monumen kepahlawanannya dari gol bunuh diri di leg pertama. From zero to hero, kata orang-orang. Dari cecunguk menjadi pahlawan, kata kami. Sedikit tragis bila mengingat bahwa semuanya bermula dari gol bunuh diri. Ya, apa boleh buat, sepak bola memang seperti hidup. Terkadang, seseorang harus masuk keranda dulu untuk diakui dan diingat.
ADVERTISEMENT
Enam menit sejak peluit pertandingan dibunyikan, De Rossi berhasil mengirim umpan matang kepada rekannya, Edin Dzeko . Roma pada kenyataannya tak butuh waktu lama untuk memupuk asa mereka. Begitu diterima, umpan itu langsung dikonversi menjadi gol.
De Rossi tak hanya ingin memberi assist. Mata ganti mata, gol ganti gol. Di menit 56, sepakan dari titik putih berhasil menggetarkan gawang yang dikawal oleh Marc-Andre ter Stegen.
Gol Manolas muncul di pengujung laga, menit 82. Ia menjadi klimaks dari cerita kebangkitan Roma dari keruntuhan.
Manolas tahu apa konsekuensi dari golnya ini. Roma lolos ke babak selanjutnya, mereka berhasil melunasi defisit tiga gol, dan menuntaskan misi yang dipandang tak mungkin. Karena Manolas tahu apa yang jadi konsekuensinya, ia merayakannya dengan meriah, berbeda dengan perayaan pada dua gol sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Cerita tentang kepahlawanan para pesakitan di lapangan bola bukan perkara baru. Sebelumnya, Derbi Manchester pun menceritakan kejadian mirip. Adalah Chris Smalling yang menjadi pesakitan di babak pertama, dan menjadi pahlawan di babak kedua.
Gol yang berhasil diciptakan Vincent Kompany di babak pertama merupakan buah dari kegagalannya berduel dengan Kompany. Tak hanya sekali, Smalling pun gagal menutup pergerakan Ilkay Guendogan sehingga pemain asal Jerman tersebut sukses mencetak gol kedua bagi Manchester City.
Namun, babak kedua lain cerita. Paul Pogba yang menjadi pesakitan di sepanjang musim juga berhasil mendiamkan celaan orang-orang. Ia mencetak dua gol sekaligus, di menit 53 dan 55.
Pada menit ke-69, lewat situasi tendangan bebas, Smalling sukses melesakkan bola ke gawang Ederson Moraes usai memanfaatkan umpan Alexis Sanchez. Skor berubah menjadi 3-2 untuk keunggulan United. Sebuah pertunjukan derbi yang membuktikan bahwa semenyedihkan apa pun seorang pesakitan, ia tetap bisa menjadi pahlawan.
ADVERTISEMENT
Tidak ada yang tahu pasti apakah kenekatan Mishima untuk melakukan seppuku benar-benar bisa mengembalikan kebanggaan kebangsaan Jepang seperti yang ia cita-citakan atau tidak. Yang jelas, nama Mishima tetap besar hingga sekarang sebagai sastrawan.
Nobel Sastra memang belum berpihak padanya, tapi ia menjadi salah satu penulis yang dinilai berhasil menyatu dengan karya fiksi karangannya. Kalaupun ia mati sebagai orang sinting, maka ia mati sebagai orang sinting yang melegenda.
Serupa Mishima, tak ada yang tahu pasti apakah monumen kepahlawanan De Rossi dan Manolas yang berpondasi gol bunuh diri ini bakal berdiri kokoh hingga partai final atau tidak. Yang jelas, keduanya membuktikan, bahwa Kota Roma yang tidak dibangun dalam semalam itu memang tidak bisa diruntuhkan dalam satu atau dua pertandingan.
ADVERTISEMENT
Live Update
Pada 5 November 2024, jutaan warga Amerika Serikat memberikan suara mereka untuk memilih presiden selanjutnya. Tahun ini, capres dari partai Demokrat, Kamala Harris bersaing dengan capres partai Republik Donald Trump untuk memenangkan Gedung Putih.
Updated 5 November 2024, 20:53 WIB
Aktifkan Notifikasi Breaking News Ini