Di Balik Perubahan Roma Menjadi 'Pasar Swalayan'

27 Juni 2019 14:17 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
AS Roma sedang berada dalam masalah besar. Foto: AFP/Tiziana Fabi
zoom-in-whitePerbesar
AS Roma sedang berada dalam masalah besar. Foto: AFP/Tiziana Fabi
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Jika jumlah poin adalah acuan satu-satunya dalam menentukan baik-buruk prestasi klub dalam semusim, maka musim 2017/18 adalah yang terbaik dalam sejarah Roma. Pada musim itu mereka memang cuma mampu finis di urutan ketiga, di bawah Juventus dan Napoli, tetapi jumlah poin mereka (77) lebih banyak ketimbang saat meraih Scudetto pada 2000/01 (75).
ADVERTISEMENT
Secara logis, apa yang diraih Roma itu semestinya menjadi fondasi bagi perjalanan klub di musim-musim berikutnya. Demi menjadi juara, mereka seharusnya mempertahankan pemain-pemain kunci yang ada lalu berbelanja untuk menambal kekurangan. Dengan cara seperti itu, Roma bakal bisa berprestasi lebih tinggi lagi pada musim sesudahnya.
Namun, yang terjadi tidaklah demikian. Jelang dimulainya musim 2019/20, dari 25 pemain yang menjadi bagian dari skuat Roma musim 2017/18, yang tersisa hanya lima orang. Mereka adalah Alessandro Florenzi, Juan Jesus, Diego Perotti, Federico Fazio, dan Gerson.
Ini aneh. Benar-benar aneh, malah. Roma tidak memiliki alasan untuk merombak skuat, tetapi hal itulah yang mereka lakukan. Bahkan, sampai sekarang mereka terus melakukan hal itu. Yang teranyar, Roma melepas Kostas Manolas ke Napoli meskipun sebagai gantinya mereka mendapatkan Amadou Diawara.
ADVERTISEMENT
Citra Roma sebagai klub penjual mulai muncul ketika mereka melepas Miralem Pjanic ke Juventus pada 2016. Musim berikutnya, giliran Mohamed Salah, Antonio Ruediger, Leandro Paredes, dan Emerson Palmieri yang dilego. Lalu, pada musim lalu, citra itu semakin kuat saja dengan penjualan Alisson Becker, Radja Nainggolan, dan Kevin Strootman.
Salah kala bermain untuk Roma. Foto: Alessandro Bianchi/Reuters
Jelang musim 2019/20, Roma pun tidak berhenti. Selain melepas Manolas, mereka pun sudah berencana menjual Stephan El Shaarawy dan Edin Dzeko. Tak menutup kemungkinan pula Roma bakal merelakan Nicolo Zaniolo dan Cengiz Uender jika ada tawaran yang cocok. Pada intinya, sejak 2017/18, Roma sama sekali tidak berprogres.
Sejak 2017/18, Roma terus mengulangi segalanya dari awal. Mereka menjual pemain kunci dan menggantikannya dengan sosok-sosok baru. Pada 2018/19 lalu, Roma sudah kena batunya. Tim jadi limbung dan tiket Liga Champions pun lepas dari genggaman. Namun, model bisnis demikian akhirnya tetap diulangi lagi jelang dimulainya musim baru.
ADVERTISEMENT
Tifosi pun kesal bukan kepalang. Mereka menganggap bahwa Presiden Roma, James Pallotta, tidak becus dalam mengurusi klub. Kemarahan para suporter ini kian menjadi manakala Roma mengumumkan kepergian Daniele De Rossi. Para Romanisti itu sudah tidak punya harapan dan sekarang mereka pun kehilangan pahlawan.
Sampai akhirnya, Francesco Totti pun ikut-ikutan pergi. Totti memang sudah tidak lagi berstatus sebagai pemain, melainkan direktur. Namun, justru kepergian Totti inilah yang semakin memperjelas bahwa memang ada masalah besar di Roma, dan masalah itu sepertinya tidak akan selesai dalam waktu dekat.
***
Pallotta datang ke Roma pada 2011 sebagai bagian dari Raptor Group, sebuah konsorsium asal Amerika Serikat yang berbasis di Boston. Ketika itu, Roma memiliki utang sampai 270 juta euro yang berasal dari mismanajemen pemilik sebelumnya, Keluarga Sensi. Situasi itulah yang membuat Pallotta kemudian menyusun rencana jangka panjang.
ADVERTISEMENT
Mantan Presiden AS Roma, Rosella Sensi. Foto: AFP/Christophe Simon
Pembangunan Stadio della Roma adalah rencana yang dimaksud. Bagi Pallotta dan kroni-kroninya, stadion pribadi adalah harga mati bagi perkembangan Roma sebagai sebuah klub. Tanpa stadion milik sendiri, sumber penghasilan Roma tidak akan bertambah dan mereka akan terus terjebak dalam keterbatasan.
Juventus adalah contoh nyata keberhasilan sebuah klub yang mampu memiliki stadion sendiri. Sejak Allianz Stadium diresmikan pada 2011, Bianconeri praktis tak terhentikan di Italia. Tak cuma itu, mereka juga mampu kembali berbicara banyak di Eropa.
Dalam laporannya kepada Raptor Group yang berujung pada pengambilalihan Roma, Joe Tacopina mengeluhkan buruknya fasilitas Olimpico. Salah satu bukti buruknya fasilitas stadion itu adalah tiadanya toko resmi untuk menjual suvenir klub. Pada akhirnya, perbaikan inilah yang jadi target utama Pallotta.
ADVERTISEMENT
Akhirnya, rencana pun mulai disusun secara konkret pada 2014. Dua tahun kemudian, rencana itu diajukan ke pemerintah kota dan dipamerkan ke publik. Lewat video berdurasi 10 menit, Roma menjelaskan bagaimana stadion baru itu akan merevitalisasi klub sekaligus kota.
Sepintas, rencana itu tampak brilian. Yang jadi masalah, rencana itu terlalu brilian. Rencana tersebut terlalu muluk sehingga sampai sekarang lampu hijau belum juga diberikan pemerintah setempat.
Stadio della Roma sebenarnya hanya bagian kecil dari proyek tersebut. Dalam masterplan, disebutkan bahwa stadion itu hanya menghabiskan 10 persen lahan yang akan digunakan. Biaya pembangunan stadion pun cuma 7 persen dari total anggaran. Di situ, yang sebenarnya ingin dibangun oleh Pallotta adalah sebuah kota mandiri.
ADVERTISEMENT
Dalam rencana besar itu, Pallotta berniat membangun sebuah pusat aktivitas baru dengan luas 200 hektar. Nantinya, di sana akan dibangun pula pusat bisnis serta pemukiman yang bisa menampung sampai 4.000 orang. Pusat aktivitas itu diberi nama Tor di Valle dan diklaim bakal menjadi 'paru-paru kedua' Roma.
Jika Pallotta cs. hanya berniat membangun stadion, barangkali prosesnya tidak akan serumit ini. Akan tetapi, yang ingin dia dirikan adalah sebuah kerajaan mini. Itulah mengapa, persetujuan sulit sekali diraih. Adapun, selain harus berurusan dengan pemerintah kota Roma, Pallotta juga mesti berhadapan dengan pemerintah distrik.
Pallotta memandang Tor di Valle sebagai sebuah jalan pintas. Dia tidak hanya ingin membuat Roma jadi unit bisnis yang bisa bertahan, tetapi bisa terus merangkak ke jajaran elite. Juventus memiliki Exor dan Bayern Muenchen memiliki Audi sebagai 'bekingan'. Pallotta ingin agar Tor di Valle bisa menjadi Exor atau Audi bagi I Lupi.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, ya, itu tadi. Proyek ini kelewat brilian, kelewat ambisius. Akhirnya, kepentingan jangka pendek Roma yang menjadi korban.
Di sini, Pallotta sebenarnya sudah mendapatkan pendanaan untuk membangun Tor di Valle. Artinya, penjualan pemain-pemain Roma itu dilakukan bukan untuk membiayai pembangunan stadion. Penjualan-penjualan itu dilakukan semata-mata hanya agar Roma bisa bertahan dan tidak terkena sanksi akibat melanggar Financial Fair Play.
Memang seburuk itulah kondisi keuangan Roma. Hampir satu dekade lamanya Pallotta cs. menjadi pemilik klub tetapi utang warisan keluarga Sensi baru terkikis sebagian. Per Oktober 2018 lalu, utang Roma tercatat masih ada di kisaran 220 juta euro.
Jim Pallotta (tengah), Presiden AS Roma. Foto: Gabriel BOUYS / AFP
Dalam bayangan Pallotta awalnya, utang itu bakal bisa ditutup dalam waktu singkat jika stadion sudah menunjukkan tanda-tanda perkembangan. Akan tetapi, sampai sekarang segalanya masih abu-abu. Biaya operasional Roma sendiri terus meningkat seiring pembentukan kembali tim Primavera dan peluncuran tim putri. Maka dari itu, mereka pun harus mencari sumber dana lain dan akhirnya skuat tim senior putra yang dikorbankan.
ADVERTISEMENT
Pada musim 2018/19 lalu Pallotta sebenarnya sudah berusaha mengakali situasi ini dengan menunjuk Monchi sebagai direktur olahraga. Harapannya adalah agar Monchi bisa mencari pemain berkualitas dengan harga miring. Roma pun akhirnya berani menjual bintang-bintangnya dan menggantinya dengan nama-nama baru. Namun, pada akhirnya, Monchi seperti kehilangan sentuhan di Roma.
Dari semua pemain baru yang direkrut Monchi, hanya tiga orang yang bisa dikategorikan berhasil. Mereka adalah Zaniolo, Antonio Mirante, dan Ivan Marcano. Ironisnya, pemain-pemain yang moncer ini justru dibeli dengan harga paling murah. Zaniolo dibeli dengan harga 4,5 juta euro, sementara Mirante dan Marcano didatangkan secara cuma-cuma.
Dengan demikian, kegagalan di musim 2018/19 sebenarnya bukan sepenuhnya salah Pallotta. Meski begitu, porsi kesalahannya tidak kecil. Seperti yang diceritakan Totti dalam konferensi pers perpisahannya, Pallotta jarang berada di Roma sehingga tidak bisa mengontrol perkembangan klub secara rutin.
ADVERTISEMENT
Inilah yang pada akhirnya membawa Roma ke titik di mana mereka berada saat ini. Mereka memang tak berada di titik nadir, tetapi jelas tidak bisa dibilang berada di atas. Semenjana adalah kata yang pas digunakan untuk menggambarkan Giallorossi saat ini.