Di Jagat Sepak Bola, Tak Ada yang Lebih Sepi daripada Kiper Cadangan

24 Juli 2018 18:44 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Loris Karius tertunduk di atas lapangan. (Foto: Reuters/Phil Noble)
zoom-in-whitePerbesar
Loris Karius tertunduk di atas lapangan. (Foto: Reuters/Phil Noble)
ADVERTISEMENT
Menjadi seorang penjaga gawang adalah keputusan sulit. Ia adalah orang yang sudah dipersiapkan untuk menjadi berbeda. Dengan menjadi seorang penjaga gawang, maka seorang pemain dituntut untuk terpisah dari rekan-rekannya sendiri.
ADVERTISEMENT
Bahkan, kiper sudah dianggap tak ada sejak dalam pikiran. Lihatlah penulisan formasi-formasi taktik. Dalam formasi 4-4-2 misalnya, angka mana yang menunjukkan keberadaan si penjaga gawang? Jika menjadi seorang kiper sudah menjadi sesulit itu, maka tak ada yang dapat mengalahkan kesulitan para kiper pelapis.
Nasib paling menyebalkan sedang berdekat-dekatan dengan Loris Karius. Blunder demi blunder, tak hanya di final Liga Champions, menjadi alasan yang menyingkirkannya. Liverpool tak main-main. Alisson Becker didatangkan dari AS Roma. Mustahil bagi Liverpool untuk tak memainkannya sebagai kiper utama per musim 2018/2019 nanti. Tengok saja jumlah uang yang harus digelontorkan klub untuk mendatangkannya dari Olimpico.
Yang paling mengesalkan, Karius seperti tidak diberikan waktu untuk mempersiapkan diri, menerima kenyataan bahwa sebentar lagi ia bakal tersisih. Dalam wawancaranya bersama ESPN, Karius menjelaskan bahwa pihak klub tidak sedikit pun berbicara tentang kedatangan Alisson.
ADVERTISEMENT
"Waktu itu, saya tidak tahu soal rencana kedatangan Alisson. Saya tidak dapat membicarakan apa yang akan saya lakukan sekarang, saya masih punya waktu untuk berpikir dan memutuskan," tutur Karius.
Kalaupun Karius pada akhirnya tahu, ia mengetahuinya setelah prosesnya selesai. Juergen Klopp pada akhirnya angkat suara. Namun, suaranya adalah suara yang menyebalkan. Katanya, “Maaf Karius, transfer Alisson memang kabar buruk.”
Sebagai kiper, Karius sudah terbiasa dengan kabar buruk. Keputusannya untuk menjadi penjaga gawang pertama kali pun sudah memperhadapkannya dengan kabar buruk dalam waktu singkat. Kabar buruk pertama, ya itu tadi. Ia harus bermain terpisah dari teman-temannya. Bahkan latihan dan pemanasannya juga terpisah.
Saat teman-temannya mengenakan jersi keren, ia harus menerima kenyataan untuk bertanding dengan kostum yang warnanya mencolok mata. Kabar buruk yang lain muncul dalam bentuk keberhasilan lawan-lawannya mengobrak-abrik area pertahanan. Situasi satu lawan satu. Adu penalti. Dan gol.
ADVERTISEMENT
Kiper cadangan pada dasarnya dibutuhkan untuk mempersiapkan kemungkinan buruk dan terburuk. Kemungkinan buruk bisa berarti menyoal usia. Kemungkinan terburuk bisa berarti penurunan performa dan kepindahan tiba-tiba. Intinya, ia hanya bisa bermain saat hal buruk terjadi. Padahal, yang dikerjakan oleh tim setiap harinya tak cuma merebut kemenangan, tapi juga mencegah hal-hal buruk terjadi.
Nama Steve Harper tak tenar seantero jagat sepak bola Inggris. Maklum saja, ia berperan sebagai kiper pelapis Shay Given. Selama bertahun-tahun, ia duduk di bangku cadangan menyaksikan Given beraksi di bawah mistar gawang. Selama 20 musim mengabdi, ia hanya mengantongi catatan bermain 157 kali untuk Newcastle. "Sering kali terasa berat. Saya depresi dan harus sering berbicara kepada keluarga, psikolog, dan dokter."
ADVERTISEMENT
Sepahit-pahitnya pengalaman bersama Newcastle, pada akhirnya Harper kembali ke klub yang membuatnya akrab dengan bangku cadangan itu. Kali ini, jabatannya pun tak jauh-jauh dari kiper. Harper bertugas sebagai pelatih di akademi penjaga gawang. Selama 10 tahun di Newcastle, ia dipinjamkan ke enam klub berbeda. Setelahnya, ia hengkang ke Hull City. Selama dua musim, ia cuma bermain 23 kali. Pada 2016, ia menjadi penggawa Sunderland, tanpa kesempatan bermain satu kali pun.
Entah apa yang diajarkannya kepada anak-anak didiknya itu. Barangkali ia akan memberikan pengajaran bahwa siapa pun punya kemungkinan untuk hidup dari satu bangku cadangan ke bangku cadangan lain.
Mungkin ia akan mengajar murid-muridnya itu bahwa salah satu tugas kiper cadangan adalah menghibur teman-temanmu saat kalah di babak final. Kau tidak akan ikut bermain selama turnamen, tapi kau punya tanggung jawab untuk menepuk-nepuk pundak mereka saat dirundung lara akibat kekalahan di partai puncak.
ADVERTISEMENT
Harper Lee sewaktu membela Newcastle (Foto: ADRIAN DENNIS / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Harper Lee sewaktu membela Newcastle (Foto: ADRIAN DENNIS / AFP)
Bukannya tak mungkin Harper juga akan mengajar bagaimana caranya untuk pura-pura terlarut dalam euforia kemenangan saat rekan-rekanmu berhasil menyegel satu gelar juara. Tak usah khawatir, kau akan tetap kebagian medali kemenangan. Kau akan naik ke podium dan berfoto bersama trofi juara tanpa perlu bersusah-susah, bertungkus-lumus menjatuhkan diri demi mengamankan gawang dari gempuran pemain lawan.
Gelar juara memang selalu menjadi perkara penting bagi para pegiat sepak bola. Namun, bagi para pemain, ada satu hal yang lebih penting ketimbang gelar juara. Ia adalah kesempatan bermain. Diperhitungkan sebagai sosok yang turun lapangan dan membantu tim mengupayakan kemenangan. Tak peduli kiper nomor satu atau nomor tiga sekalipun, tak peduli kiper berharga selangit atau gratis, semuanya datang ke satu klub dengan dasar yang sama: keinginan untuk bermain, diperhitungkan sebagai yang utama.
ADVERTISEMENT
“Saat kamu berstatus sebagai kiper nomor dua, satu-satunya alasan yang membuatmu dapat turun ke lapangan adalah penampilan buruk kiper utama, diusir keluar lapangan, ataupun mendapat cedera. Yang artinya, semuanya adalah hal buruk. Ya, memang menyedihkan, tapi itu menjadi satu-satunya cara agar kau diperhitungkan. Kau harus mengharapkan hal buruk terjadi pada orang lain supaya kau menerima hal baik, kembali ke atas lapangan, di depan gawang.”
Omongan itu diucapkan oleh Richard Lee, mantan kiper Brentford. Bila dihitung-hitung, Lee menghabiskan lima musim di Brentford, terhitung sejak 2010 hingga 2015. Serupa dengan kiper lain, ia berharap untuk menjadi penjaga gawang nomor satu di klub. Terlebih, klub memberikannya jersi bernomor punggung 1.
“Saya pergi ke Brentford dengan harapan bisa menjadi yang nomor satu. Jadi, saat saya diturunkan menjadi yang nomor dua, bahkan tiga, segala ekspektasi itu berubah menjadi amarah dan frustrasi. Saya menyalahkan setiap orang dan segala sesuatu,” jelas Lee dalam wawancaranya kepada The Guardian.
ADVERTISEMENT
Dalam salah satu wawancaranya bersama James Horncastle, Gianluigi Buffon pernah menjelaskan bahwa menjadi kiper adalah perihal masokis dan egosentris. Buffon mengerti dan mengakuinya.
Karius dan Klopp di Liga Champions. (Foto: Paul ELLIS / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Karius dan Klopp di Liga Champions. (Foto: Paul ELLIS / AFP)
Barangkali contoh mudahnya seperti ini: Bayangkan jika kau menjadi satu-satunya orang yang berhadapan dengan pemain yang siap menendang bola ke arah gawang yang kau kawal. Kalian berdua sama-sama sendirian. Satu lawan satu.
Tapi, pemain itu adalah orang yang beberapa saat sebelumnya lolos dari penjagaan teman-temanmu. Ia memang belum mencetak gol, tapi kau berdiri di sana, satu lawan satu berhadapan dengan dia yang 'menang' atas kepungan barisan pertahananan kesebelasanmu. Dan ditambah lagi, kalau kau salah sedikit saja, lawanmu pasti berhasil menambah angka.
Pada setiap pertandingan, final ataupun penyisihan, turnamen maupun persahabatan, klub ataupun tim nasional, seorang penjaga gawang diperhadapkan dengan hal ini. Ia bilang bahwa satu-satunya yang pasti dari menjadi penjaga gawang adalah kebobolan gol. Dan kepastian semacam ini, jelas bukan kepastian yang menyenangkan.
ADVERTISEMENT
Namun, semasokis-masokisnya kiper yang turun ke lapangan, laranya tak lebih besar ketimbang mereka yang digaji hanya untuk duduk di bangku cadangan. Merayakan kemenangan dan gol di ujung lapangan jauh lebih baik ketimbang merayakan gol dan kemenangan dari bangku cadangan, dari pinggir lapangan.
Menanggung kekalahan dan sesenggukan sambil berlutut di atas rumput lapangan rasanya jauh lebih baik daripada masuk ke lapangan dan menenangkan kawan-kawannya. Sebabnya, belum tuntas kesedihannya karena melulu dicadangkan, ia sudah harus membantu meredakan kesedihan kawan-kawannya. Lantas, siapa yang membantu kiper cadangan meredakan kekecewaan, membantunya menuntaskan rindu untuk turun arena yang sebegitu rupa?
Seasing-asingnya penjaga gawang, tak ada yang lebih asing daripada kiper cadangan. Dalam alam pikirnya akan berkecamuk pertanyaan-pertanyaan yang meragukan kemampuan dan kepantasannya untuk diperhitungkan sebagai bagian dari tim utama. Lantas, keterasingan dan kesepian macam inilah yang sedang berdekat-dekatan dengan Karius.
ADVERTISEMENT