Everton Makin Stabil, Bagaimana Kans Mereka di Premier League 2019/20?

9 Agustus 2019 12:43 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Richarlison merayakan golnya untuk Everton ke gawang Chelsea. Foto: Reuters/Jason Cairnduff
zoom-in-whitePerbesar
Richarlison merayakan golnya untuk Everton ke gawang Chelsea. Foto: Reuters/Jason Cairnduff
ADVERTISEMENT
Salah satu pertanyaan yang diajukan kepada Moise Bioty Kean terkait keputusannya menerima pinangan Everton adalah apakah pelecehan rasial yang dia terima di Italia jadi faktor pendorong atau tidak. Dengan tegas, Kean membantah.
ADVERTISEMENT
Kean merasa tersakiti dengan pelecehan itu, tentunya, tetapi dia tak begitu mempedulikannya. Pemuda 19 tahun itu punya prioritas lain. Dia ingin mengembangkan karier sepak bolanya dan dia menilai bahwa Everton, dengan segala ambisi yang mereka miliki, bisa memberikan hal itu kepadanya.
Ya, ambisi. Bagi Everton, ini sudah jadi kata sakti setidaknya dalam dua musim terakhir. Mereka pun tidak malu-malu menunjukkannya. Yang terbaru, mereka belum lama ini mengumumkan rencana pembangunan stadion baru di Bramley Moore Dock.
Everton adalah klub besar di Inggris. Mereka punya sejarah begitu panjang dan ada banyak pemain legendaris yang pernah bernaung di bawah panjinya. Dixie Dean, Howard Kendall, Alan Ball, Andy Gray, Neville Southall, Gary Lineker, Wayne Rooney, Duncan Ferguson, Joe Mercer, Peter Reid, dan Joe Royle bisa dijadikan contoh.
ADVERTISEMENT
Wayne Rooney (kiri), bermain untuk Everton di sebuah laga derbi menghadapi Liverpool. Foto: AFP/Steve Parkin
Prestasi mereka pun banyak. Mereka pernah menjadi juara liga sembilan kali, mengangkat Piala FA lima kali, dan memenangi Piala Winners satu kali. Akan tetapi, itu semua hanya ada di masa lalu. Terakhir kali Everton mengangkat trofi adalah pada 1995 usai menundukkan Blackburn Rovers di Charity Shield. Mereka berada di sana sebagai kampiun Piala FA musim sebelumnya.
Sudah selama itu Everton puasa gelar. Sudah hampir seperempat abad. Itulah mengapa, ketika Farhad Moshiri menjadi pemilik mayoritas saham klub mulai awal 2016, membangkitkan Everton menjadi misinya. Dana ratusan juta poundsterling dia gelontorkan untuk merekrut pemain dan pelatih. Namun, tiga tahun lebih sudah berjalan dan hasilnya masih nihil.
Meski demikian, ada yang berbeda dari Everton jelang musim 2019/20 ini. Ada optimisme beralasan yang mengawal perjalanan mereka. Setelah melalui fase trial and error, Everton kini dianggap sudah cukup mapan untuk memulai perjalanan mereka mendobrak kemapanan Big Six.
ADVERTISEMENT
Fase trial and error Everton itu benar-benar dimulai pada musim 2017/18 ketika mereka mengeluarkan lebih dari 200 juta poundsterling untuk berbelanja pemain. Kala itu yang menjadi pelatih mereka adalah Ronald Koeman. Akan tetapi, belanja besar-besaran itu kemudian justru menjadi bencana karena penampilan tim di lapangan justru angin-anginan.
Koeman pun akhirnya dipecat dan digantikan oleh Sam Allardyce. Di bawah kendali Allardyce, prestasi Everton membaik. Dari yang tadinya terjebak di papan bawah, mereka sukses merangkak naik dan finis di papan tengah klasemen. Hanya, Allardyce memang bukan sosok yang benar-benar diinginkan.
Manajer Everton, Sam Allardyce. Foto: Reuters/Lee Smith
Allardyce, ketika itu, hanya bertugas sebagai pemadam api. Everton hanya ingin agar musim mereka tidak berakhir memalukan dan Allardyce sanggup menawarkan itu, tetapi tidak lebih. Sebelum musim 2018/19 dimulai pria berjuluk Big Sam itu dipecat dan digantikan oleh Marco Silva.
ADVERTISEMENT
Silva adalah kebalikan dari Allardyce. Dia masih muda, progresif, dan dianggap mampu membuat Everton tampil layaknya tim kontinental. Di sinilah revolusi Everton benar-benar dimulai. Transfer yang mereka lakukan, baik pembelian maupun penjualan, dilakukan dengan lebih berhati-hati.
Davy Klaassen, pemain terbesar yang didatangkan pada era Koeman, langsung ditendang, begitu pula dengan Rooney dan Ramiro Funes Mori. Sebagai gantinya, mereka merekrut Richarlison, Lucas Digne, Bernard, dan Yerry Mina. Seleksi alam pun terjadi di sini secara natural.
Nyatanya, pemain-pemain rekrutan Silva tersebut sekarang menjadi andalan Everton. Richarlison dan Bernard jadi andalan di lini depan, Digne dan Mina jadi tumpuan di lini belakang. Dipadukan dengan pemain-pemain macam Gylfi Sigurdsson, Michael Keane, Leighton Baines, dan Jordan Pickford, mereka mampu memberi Everton identitas yang jelas.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya, ide permainan Silva tak jauh berbeda dengan Koeman. Sama-sama berasal dari Eropa daratan, mereka mendasarkan sepak bola mereka pada penguasaan bola. Celaka, memang, buat Koeman karena pembelian di masanya dilakukan secara ugal-ugalan sehingga komposisi skuat tidak seimbang.
Koeman dalam laga melawan Chelsea. Foto: Reuters/Hannah McKay
Sebagai contoh, pembelian Sigurdsson, Rooney, dan Klaassen adalah hal mubazir karena pemain-pemain itu pada dasarnya beroperasi di zona yang sama. Maka, menjadi lumrah bagi Silva untuk menendang dua di antaranya. Sebagai ganti, pria Portugal itu mendaratkan pemain-pemain yang memang sebelumnya tidak dimiliki.
Richarlison dan Theo Walcott, misalnya. Dengan gaya bermainnya masing-masing, Richarlison dan Walcott mampu menawarkan sesuatu yang sebelumnya tak dipunyai Everton. Richarlison dengan kemampuannya bergerak di half-space serta melakukan pressing dan Walcott dengan kemahirannya menyisir sayap dengan kecepatan pun menjadi andalan anyar.
ADVERTISEMENT
Everton pun menjadi tim yang benar-benar baru. Mereka tahu caranya menyerang dan bertahan dengan lebih baik. Hilang sudah gaya direct yang sebelumnya jadi identitas tim di bawah Allardyce. Bersama Silva, Everton lebih sabar dalam membangun serangan dan lebih presisi dalam bertahan.
Akan tetapi, terbentuknya identitas itu bukan berarti Everton sudah tampil maksimal. Ketajaman adalah problem terbesar rival sekota Liverpool tersebut. Meskipun mengakhiri musim dengan rekor pertahanan lumayan, dengan kebobolan 46 gol yang membuat mereka jadi tim dengan pertahanan terbaik keempat di liga, The Toffees cuma bisa mengemas 54 gol.
Minimnya jumlah gol itu membuat Everton kerap kehilangan poin. Sebagai perbandingan, Arsenal dan Manchester United yang finis di posisi lima dan enam punya rekor defensif lebih buruk dengan kemasukan masing-masing 51 dan 54 gol tetapi mengakhiri musim di urutan lebih baik karena mampu mencetak 73 dan 65 gol.
ADVERTISEMENT
Marco Silva memberi instruksi pada Theo Walcott. Foto: Reuters/Andrew Yates
Problem itulah yang kemudian berupaya diatasi lewat kedatangan pemain-pemain seperti Kean dan Alex Iwobi. Kean, meskipun masih muda, sudah menunjukkan ketajaman di level tertinggi baik untuk Juventus maupun Timnas Italia. Sementara, Iwobi punya pengalaman Premier League bersama Arsenal serta jam terbang internasional bersama Nigeria.
Selain itu, Everton juga membenahi lini tengah mereka dengan mendatangkan Fabian Delph dan Jean-Philippe Gbamin. Delph adalah pemilik medali juara Premier League bersama Manchester City. Walau kerap dimainkan di posisi yang tidak semestinya oleh Pep Guardiola, Delph tetap merupakan penyalur bola yang baik. Itulah yang dulu membuatnya direkrut oleh City dari Aston Villa.
Sedangkan, Gbamin adalah sosok pengganti bagi Idrissa Gana Gueye yang hijrah ke Paris Saint-Germain. Sebagai gelandang bertahan, Gbamin dikenal tangguh, tanpa kompromi, dan punya kecerdasan taktikal. Yang membedakannya dengan Gana adalah usianya lebih muda dan tubuhnya lebih besar.
ADVERTISEMENT
Kemudian, pembenahan juga dilakukan di sektor bek sayap kanan. Seamus Coleman adalah pemain bagus, tetapi dia rentan cedera dan usianya sudah tak muda. Everton pun lantas merekrut Djibril Sidibe dengan status pinjaman dari Monaco. Dalam diri Sidibe, Everton akan mendapatkan sosok bek energik yang sanggup bertahan dan menyerang sama baiknya.
Terakhir, yang tak kalah penting adalah pembelian Andre Gomes secara permanen dari Barcelona. Mantan pemain Valencia itu adalah kunci permainan Everton musim lalu, di mana dia menjadi pengatur serangan yang juga tak segan berduel memperebutkan bola. Pembelian Gomes ini adalah bukti keseriusan Everton dalam membangun masa depan yang lebih baik.
Djibril Sidibe, bek kanan baru Everton. Foto: AFP/Franck Fife
Pertanyaannya sekarang, dengan komposisi skuat yang mereka miliki, apa yang bisa dilakukan Everton di Premier League?
ADVERTISEMENT
Pertama-tama, tentunya mereka tidak akan bersaing di jalur juara. Skuat yang mereka punyai memang bagus, tetapi tidak sebagus itu. Maka, target Everton yang paling muluk tahun ini adalah menembus Liga Champions. Sementara, target realistis bagi mereka adalah lolos ke Liga Europa.
Bukan tidak mungkin, sebenarnya, bagi Everton untuk lolos ke Liga Champions. Namun, mereka harus bergantung pada kebodohan klub-klub di atasnya untuk mencapai prestasi tersebut.
Chelsea, Manchester United, dan Arsenal adalah tim yang paling mungkin terlempar dari empat besar, tetapi ada gap yang terlalu besar antara mereka dan Everton. Jordan Pickford cs. bisa saja mengungguli salah satu dari mereka tetapi tidak ketiga-tiganya. Itulah mengapa, target realistis saat ini bagi Everton adalah menembus enam besar.
ADVERTISEMENT
Untuk melakukan itu, Everton sebetulnya memiliki modal cukup bagus. Mereka punya pelatih bagus dengan sistem yang bagus dan pemain-pemain berkualitas. Namun, kedalaman skuat memang masih menjadi problem tersendiri sehingga Everton memang masih harus bersabar untuk bisa benar-benar kembali ke khitahnya.