Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Gonzalo Higuain dan Delapan Tahun Kesunyian
20 Maret 2018 21:40 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:10 WIB
ADVERTISEMENT
Atas segala pemberitaan tentang dipanggilnya Gonzalo Higuain oleh Timnas Argentina, ada baiknya kita membaca ulang 'Seratus Tahun Kesunyian' milik Gabriel Garcia Marquez.
ADVERTISEMENT
Gabo, begitu Marquez biasa dipanggil, bukan orang Argentina. Penulis besar peraih Nobel Sastra tahun 1982 ini berkebangsaan Kolombia.
Namun, novel terbesarnya ini pertama kali diterbitkan di Argentina, tepatnya Mei 1967. Mengambil latar kota imajiner Macondo, 'Seratus Tahun Kesunyian' adalah novel yang bercerita tentang tragedi dan ironi yang berulang-ulang.
Ironi pertama muncul saat Ursula, perempuan sentral dalam cerita ini, menikahi saudaranya sendiri, Jose Arcadio Buendia. Melakoni perkawinan incest berarti hidup dalam ketakutan akan kutukan: anak-anak mereka akan lahir dengan ekor babi sebagai penanda.
Ironi kedua, kedua anak Ursula hidup dalam kegilaan akan perang dan revolusi. Berkali-kali mereka masuk dalam perjuangan revolusi, berkali-kali pula mereka meraih ketidakberuntungan dan kegagalan.
ADVERTISEMENT
Ironi ketiga, saat anak-anaknya tampil sebagai pahlawan kalah perang, suami Ursula menjadi gila dan dikekang di sebuah pohon yang tak kalah ajaib. Ironi keempat, perlawanan revolusi yang diinisiasi oleh salah satu keturunannya dianggap dongeng belaka oleh orang-orang.
Ursula hidup selama 115 tahun, dan selama itu pula ia menyaksikan bagaimana ironi dan kejadian-kejadian surealis terjadi di Macondo.
Segala hal ajaib yang muncul dalam karya-karya Gabo bukan muncul dari magi dan khayalan, tapi karena Amerika Latin memang menjadi ranah tempat cerita-cerita surealis bersemayam.
Gabo sendiri menolak untuk menyebut karyanya sebagai realisme magis. Bagi Gabo, tak ada magis di dalam cerita-ceritanya. Yang ada cuma realitas. Katanya, ia terbiasa mendengar neneknya mendongeng cerita-cerita aneh itu. Dari cara neneknya mendongeng itu pula, ia belajar menulis hal-hal surealis.
ADVERTISEMENT
Setali tiga uang dengan sastranya, sepak bola Amerika Latin pun penuh dengan hal-hal surealis. Lihatlah penyelematan kalajengking kiper legendaris Kolombia, Rene Higuita. Alih-alih membuang badan dan menggunakan kedua tangannya, ia melompat sambil menekuk kedua kakinya ke atas demi menghalau bola.
Yang jadi pertanyaan, memangnya dia tidak bisa melakukan penyelamatan dengan cara yang biasa saja? Bagaimana bila gara-gara mementingkan aksi akrobatis penyelamatannya justru gagal?
Atau simaklah cerita tentang Garrincha, pesepak bola Brasil yang kakinya panjang sebelah itu. Ketimbang menggiring bola dengan wajar, ia justru gemar menjadikan lapangan bola menjadi panggung bagi aksi-aksi sirkusnya.
Segala hal yang mengiringi kisah kematian Garrincha menjadi penanda bahwa tak ada magi yang lebih besar yang pernah terjadi di ranah sepak bola Brasil selain keberadaannya sebagai pesepak bola.
ADVERTISEMENT
Cerita tentang surealisme di atas lapangan bola juga terjadi dalam sejarah sepak bola Argentina. Tepatnya, tentang dua gol ajaib Diego Maradona itu. Pertama, Maradona menyarangkan bola ke gawang Timnas Inggris dengan gol tangan Tuhannya itu.
Kedua, ia membikin gol, masih di pertandingan yang sama, dengan melewati hampir seluruh pemain lawan. Gereja Maradona tentu menjadi bagian dari hal-hal aneh bin ajaib tadi.
Dewasa ini, surealisme sepak bola Argentina seolah terhenti. Ketimbang mempertontonkan pertandingan magis, Argentina kerap gagal di pentas internasional. Dan Higuain menjadi salah satu bagian di dalamnya.
Nama-nama besar di timnas Argentina adalah ironi. Mereka sanggup menjadi bintang di level klub dan kompetisi Eropa, tapi tak punya taji bersama Timnas.
ADVERTISEMENT
Lihatlah apa yang terjadi pada Lionel Messi. Pesepak bola mana yang tak ciut nyalinya saat berhadapan dengan Messi? Bila satu klub harus melawan Barcelona, maka hal pertama yang dipikirkan pelatih adalah bagaimana cara mematikan langkah Messi. Namun, dengan segala kehebatannya itu, apa yang sudah diberikan Messi kepada Timnas Argentina?
“Saya tidak ingat kapan saya mencetak gol pertama saya sebagai pesepak bola,” seperti itu jawaban Higuain ketika ditanyai Paolo Bandini dalam salah satu wawancara untuk The Guardian.
Higuain bisa menceritakan gol-gol yang ia buat untuk Juventus dan Timnas, tapi khusus untuk yang pertama, ia tak ingat. Dalam wawancara brilian itu, tak diceritakan mengapa Higuain bisa sampai lupa dengan gol pertamanya.
ADVERTISEMENT
Namun, seperti kita, salah satu penyebab mengapa kita lupa akan suatu hal adalah, karena kita terlalu sering melakukan hal tersebut. Barangkali, Higuain memang sudah terlalu sering mencetak gol, sampai-sampai ia lupa seperti apa gol pertamanya itu.
Serupa Gabo yang terbiasa mendengar dongeng-dongeng magis dari neneknya, sejak kecil Higuain sudah dijejali cerita-cerita menyoal sepak bola. Ayah Higuain, adalah pesepak bola profesional. Bedanya dengan Higuain, sang ayah bermain sebagai bek tengah.
Sepak bola dengan segala kerumitan dan hal-hal ajaibnya menjadi hal yang begitu nyata dan dekat dengan Higuain, bahkan sebelum ia menjejakkan kaki di atas lapangan bola.
“Ayah saya seorang bek, jadi ia mengajari segala hal tentang permainan bertahan. Tapi, kalian salah besar kalau mengira saya tak mendapatkan keuntungan sama sekali. Darinyalah saya belajar tentang hal-hal yang dibenci bek,”kenang Higuain.
ADVERTISEMENT
“Di atas lapangan, saya melakukan hal-hal yang begitu dihindari dan dibenci setiap bek. Dan segetol apa pun kalian bertanya seperti apa hal itu, tentu tidak akan saya ceritakan. Itu rahasia besar saya dan ayah,”
Menurut Bandini, Higuain tersenyum saat menceritakan fragmen itu. Namun di balik senyumannya tadi, Bandini yakin seserius apa Higuain bila menyoal gol. Higuain menjadikan perkara mencetak gol sebagai tumpuan hidupnya.
“It isn’t just an obssesion, it’s obligation,” seperti itu Bandini menggambarkan sepenting apa perkara mencetak gol bagi Higuain.
Amerika Latin, termasuk Argentina adalah lahan yang teramat subur bagi cerita-cerita revolusi, termasuk dalam sepak bolanya. Coba ingat-ingat lagi cerita tentang ibu-ibu Argentina yang melawan junta militer.
ADVERTISEMENT
Ibu-ibu itu melawan kekuatan militer Argentina yang sudah menghilangkan cucu, anak, atau mungkin suami mereka. Mereka berunjuk rasa di Plaza de Mayo, lapangan luas di depan Istana Kepresidenan Casa Rosada sejak 30 April 1977. Puncaknya terjadi pada 1 Juni 1978, tepat saat kick-off Piala Dunia.
Mereka menggelar demonstrasi besar-besaran di Plaza de Mayo karena menyadari bahwa Piala Dunia adalah ajang kelas dunia yang menarik perhatian besar pers dari belahan bumi mana pun.
Kalaupun mereka tak bisa lagi bertemu dengan orang-orang kesayangannya, setidaknya dunia tahu kalau sepak bola yang begitu digilai oleh orang-orang kesayangannya itu dimanfaatkan sebagai selubung yang menutupi darah yang ditumpahkan.
Pesepak bola-pesepak bola Latin modern ini, termasuk Argentina, begitu berjarak dengan perjuangan-perjuangan macam tadi. Mereka dinilai tak mewakili orang-orang Argentina yang hidup dari satu krisis ke krisis lainnya.
ADVERTISEMENT
Orang-orang Argentina bahkan menamai dirinya hijos de los barcos (anak-anak kapal) sebagai penanda bahwa mereka adalah keturunan imigran Eropa yang buat bertahan hidup saja sulitnya minta ampun.
Namun, Higuain tidak seperti itu. Sebelum merajai Eropa lewat keberhasilannya mendulang gol bersama Napoli dan Juventus pun, ia sudah berjarak dengan tanah kelahirannya. Bersama keluarganya, ia memiliki paspor Prancis dan sempat menghabiskan masa kecilnya di kota beradab itu.
Higuain bukan simbol dari perlawanan serupa Socrates ataupun Maradona itu sendiri. Ia terlalu makmur untuk masuk dalam ranah perlawanan orang-orang Latin.
Keberjarakan Higuain dengan hal-hal macam ini semakin menjadi-jadi saat ia pindah dari Napoli ke Juventus. Bila orang-orang selatan dianggap sebagai bagian dari perlawanan, maka orang-orang utara dianggap sebagai bagian dari kemakmuran.
ADVERTISEMENT
Lantas saat Higuain pindah ke Turin, yang notabene merupakan simbol dari kemakmuran sepak bola Italia Utara, seketika itu pula jurang pemisah dengan semangat leluhurnya semakin lebar.
Higuain memang tak berumur selama 115 tahun. Kariernya bersama Timnas Argentina baru berjalan selama delapan tahun. Dan serupa Ursula yang menyaksikan repetisi ironi di sepanjang hidupnya, Higuain pun menjadi bagian dari ironi timnas Argentina.
Gol kemenangan Jerman di Piala Dunia 2014 dicetak oleh Mario Goetze di menit ke-113 dengan memanfaatkan umpan Andre Schurrle. Pertandingan waktu itu harus dilanjutkan ke babak perpanjangan waktu setelah dalam 2x45 menit kedua tim bermain imbang 0-0. Padahal, keduanya bermain agresif sejak menit pertama.
Jerman menjadi tim yang tampil menekan dengan serangan-serangan yang dimotori oleh pergerakan dari sektor kanan, sementara Argentina begitu bergantung pada serangan balik.
ADVERTISEMENT
Setidaknya Argentina memiliki dua peluang emas, melalui Higuain di babak pertama dan Messi di babak kedua. Namun, tembakan keduanya terlalu melebar sehingga tak berbuah gol. Bayangkan, Higuain dan Messi, mesin gol klub-klub papan atas Eropa gagal mencetak gol di laga sekrusial itu.
Seandainya bisa, Higuain rasa-rasanya tak keberatan untuk menukar puluhan gol bagi klubnya kala itu dengan satu gol yang membuat mereka memenangi Piala Dunia 2014.
Ironi berlanjut di partai final Copa America 2015, saat Argentina berhadapan dengan Chile. Pertandingan kala itu harus berlanjut ke babak adu penalti. Sebabnya, tak ada satu pemain pun yang sanggup untuk mencetak gol.
Dan di perjudian adu penalti itu, Argentina kalah 1-4 dari Chile. Nama Higuain tercatat sebagai salah satu pemain yang gagal sebagai eksekutor pertandingan satu lawan satu itu. Ironi makin parah ketika setelahnya Higuain terlibat perkelahian dengan suporter di jalanan Kota Ibiza.
ADVERTISEMENT
Argentina kembali menelan pil pahit bernama ironi dalam perjalanannya sebagai tim sepak bola. Sampai ke partai final, mereka kembali berhadapan dengan Chile. Serupa di final Piala Dunia 2014, Higuain kembali gagal memanfaatkan peluang emas. Padahal, ia sudah berhadapan satu lawan satu dengan kiper Chile, Claudio Bravo, di menit ke-20.
Dan setelahnya, pertandingan berlanjut ke babak adu penalti. Lagi, Argentina kalah. Kali ini dengan skor 2-4, kali ini dengan kegagalan Messi sebagai eksekutor tendangan penalti.
Hernan Crespo, legenda sepak bola Argentina yang besar bersama Parma, bahkan mengomentari ironi Timnas Argentina ini. Baginya, yang buruk bukan perkara teknik skuat. Tekanan psikologis akibat kekalahan krusial berturut-turut menyurutkan semangat mereka di atas lapangan, termasuk Higuain.
ADVERTISEMENT
Atas segala ironi itu, Higuain lantas menjalani hari-harinya dalam tekanan media. Pemberitaan demi pemberitaan dinilai menyudutkannya, menuduhnya sebagai biang kerok dari kegagalan demi kegagalan.
"Saya selalu mengharapkan tekanan seperti ini. Itulah sebabnya saya bermain sepak bola. Bila seseorang yang tidak dapat merasakan seperti ini, maka artinya ia tidak benar-benar mencintai apa yang ia lakukan, termasuk sepak bola."
"Sepak bola adalah tekanan yang konstan, yang berulang-ulang dari hari ke hari. Bila Anda ingin menjadi pesepak bola, maka Anda harus paham bagaimana hidup berdampingan dengan tekanan macam ini."
Bagi Higuain, sepak bola adalah ironi. Ia paham benar dengan hal itu. Masih dalam wawancara bersama Bandini tadi, ia pun menjelaskan, bagaiman situasi seorang pesepak bola bisa berbalik 180 derajat dalam satu pertandingan.
ADVERTISEMENT
"Sepak bola memang seperti itu. Anda dapat melakoni tujuh laga dan mencetak gol-gol indah di setiap pertandingannya. Namun, setelahnya, Anda akan bertanding di satu pertandingan. Lalu gagal mencetak gol."
"Anda tahu apa yang terjadi? Seketika Anda menjadi orang yang begitu buruk dan hidup dalam krisisi. Tapi, lucunya, hal-hal getir macam itulah yang membuat kami, para pesepak bola, menjadi orang-orang kuat."
------
Barangkali, Higuain sebelumnya tak pernah membayangkan seperti apa rasanya berjalan meninggalkan podium seolah tak melihat trofi Piala Dunia atau Copa America. Tentang seperti apa rasanya berjalan sambil memikirkan kata-kata apa yang bakal disampaikan di konferensi pers. Atau sepelik apa memikirkan lelucon dan kalimat berlagak tegar yang bakal dilontarkan beberapa minggu setelahnya.
ADVERTISEMENT
Namun, agaknya selalu ada hal yang menyadarkan setiap pesepak bola tentang musim yang buruk. Semacam disadarkan bahwa sebenarnya ia baru saja kalah saat berhadapan satu lawan satu dengan apa pun yang membawanya jauh ke ujung garis pertahanan. Lantas, serupa teman karib, ironi inilah yang berulang-ulang datang di sepanjang delapan tahun karier sepak bola Higuain bersama Timnas Argentina.