Karena Marchisio Lebih dari Sekadar Pemain

22 Agustus 2017 16:39 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Marchisio dengan trofi scudetto. (Foto: Reuters/Giorgio Perottino)
zoom-in-whitePerbesar
Marchisio dengan trofi scudetto. (Foto: Reuters/Giorgio Perottino)
ADVERTISEMENT
Tidak ada pemain lain di skuat Juventus yang lebih mencintai "Si Nyonya Tua" dibanding Claudio Marchisio dan klaim itu rasanya tidak berlebihan. "Setiap kali Juventus kalah, kemarahan dalam dirinya berlipat ganda," kata Antonio Marchisio, sang ayah, suatu kali kepada Tuttosport. "Kalau sudah begitu, saya biasanya menunggu dua hari sesudah pertandingan untuk meneleponnya."
ADVERTISEMENT
Sangat bisa dimaklumi, memang, mengapa cinta Marchisio kepada Juventus bisa sedalam itu. Dia lahir di Turin, besar di Turin, dan sudah bergabung di akademi Juventus sejak masih berusia tujuh tahun. Minus setahun masa peminjaman di Empoli pada 2007/08, sudah 24 tahun dia membela panji hitam-putih.
Marchisio menghabiskan waktu 13 tahun di akademi sebelum akhirnya diberi kesempatan memperkuat tim utama. Namun, kesempatan yang datang itu sebenarnya lahir dari sebuah keterpaksaan. Kala itu, Juventus sedang menjalani hukuman di Serie B terkait kasus Calciopoli. Dengan kepergian para pemain bintang, durian runtuh itu jadi milik Marchisio.
Sebagai pemain tengah, dia nyaris sempurna. Pergerakannya begitu dinamis. Didukung dengan kecakapan mengolah bola dan visi yang bagus serta kemampuan mencetak gol, Marchisio kemudian menjadi salah satu pengawal kedigdayaan lini tengah Juventus bersama Andrea Pirlo, Arturo Vidal, dan Paul Pogba.
ADVERTISEMENT
Namun, masa-masa awal Marchisio sebagai pemain di skuat utama Juventus tidaklah mudah. Sebelum Conte datang, Marchisio kerapkali dikorbankan untuk bermain dari sayap kiri. Padahal, dia sudah berulang kali membuktikan bahwa dirinya jauh lebih cakap ketimbang nama-nama seperti Felipe Melo, Tiago Mendes, Christian Poulsen, atau Momo Sissoko. Setelah Conte datang, barulah pengorbanan Marchisio terbayar lunas dan demi apa pun, dia layak mendapatkannya.
Perjalanan karier Marchisio itu memang senapas dengan perjalanan Juventus pasca-Calciopoli. Di Serie B, di mana Marchisio memulai karier seniornya, adalah titik nol dari segala kesuksesan yang direngkuh Juventus pada dekade 2010-an. Ketika Juventus sedang berada dalam masa sulit, Marchisio pun mengalaminya. Lalu, ketika akhirnya Juventus kembali berjaya, pemain kelahiran 19 Januari 1986 ini pun jadi salah satu pengawalnya.
ADVERTISEMENT
Lalu, bagaimana jika Marchisio pergi?
Marchisio (kanan) bersama Arturo Vidal. (Foto: Reuters)
zoom-in-whitePerbesar
Marchisio (kanan) bersama Arturo Vidal. (Foto: Reuters)
Bagi para suporter Juventus yang optimistis, rumor kepergian Marchisio ke Milan bakal terdengar seperti omong kosong belaka. Namun, melihat apa yang terjadi dengan Leonardo Bonucci, rasanya apa pun bisa terjadi. Lagipula, Marchisio kini sudah berusia 31 tahun, rentan cedera, dan konon, agak tidak puas dengan cara Massimiliano Allegri memperlakukannya.
Dari sisi sepak bola, Marchisio memang bukan pemain yang tak tergantikan seperti halnya Gianluigi Buffon. Akan tetapi, Marchisio memiliki apa yang tidak dimiliki sosok-sosok agung seperti Buffon, Alessandro Del Piero, bahkan Gaetano Scirea sekalipun, yakni fakta bahwa dia adalah orang asli Turin. Bagi para suporter yang berasal dari Turin, Il Principino adalah "salah satu dari mereka".
ADVERTISEMENT
"Ketika dia tidak bermain, rasanya seperti ketika kita ingin berkumpul dengan teman-teman tetapi teman yang paling ingin kita temui malah tidak datang," kata seorang pemegang tiket musiman Juventus, Maurizio, kepada Bleacher Report.
Memang seperti itu kenyataannya. Marchisio sangat mencintai Juventus dan rasa cinta itu benar-benar berbalas. Ribuan kali lipat malah dan inilah yang membuat para pendukung Juventus benar-benar geram dengan adanya berita bahwa Juventus "bisa mempertimbangkan untuk menjual Marchisio". Memang seberlebihan itu rasa yang ada antara Marchisio dan para Juventini.
Marchisio dalam laga bersama Timnas Italia. (Foto: Reuters)
zoom-in-whitePerbesar
Marchisio dalam laga bersama Timnas Italia. (Foto: Reuters)
Selain sisi emosional itu, dari sisi sepak bola pun menjual Marchisio bakal mendatangkan kerugian yang begitu besar bagi Juventus. Masalahnya, jika kondisinya fit, dia adalah salah satu gelandang terbaik di dunia. Jika memang memungkinkan, sudah selayaknya Marchisio selalu menjadi starter mendampingi Miralem Pjanic, alih-alih Sami Khedira.
ADVERTISEMENT
Namun, kenyataannya tentu tidak sesederhana itu. Marchisio memang punya banyak kelebihan dibanding Khedira, tetapi satu hal yang tidak dia miliki adalah jaminan bahwa dirinya bisa terus bugar sepanjang musim. Hal ini pulalah yang kemudian berujung pada minimnya kepercayaan Massimiliano Allegri kepada dirinya.
Secara logis, menjual Marchisio sebenarnya merupakan langkah yang tepat. Dari situ, uang yang didapat bisa digunakan untuk meremajakan skuat yang kian uzur. Manuel Locatelli, misalnya, sebenarnya merupakan opsi yang menarik. Selain itu, Juventus pun sebelumnya sudah pernah "menyingkirkan" Alex Del Piero dengan pertimbangan seperti ini.
Ketika Del Piero pergi dari Juventus Stadium, sebenarnya itu bertentangan dengan keinginannya. Del Piero masih ingin bertahan. Hanya saja, manajemen dan Conte kala itu tidak bisa memberi jaminan bahwa dirinya akan terus bermain. Pria kelahiran Conegliano itu pun kemudian memilih untuk menyingkir.
ADVERTISEMENT
Del Piero juga "disingkirkan" Juventus. (Foto: Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Del Piero juga "disingkirkan" Juventus. (Foto: Wikimedia Commons)
Namun, satu hal yang perlu diingat adalah bahwa ketika Del Piero pergi, dia sudah hampir berusia 40 tahun. Artinya, mau dipertahankan seperti apa pun, kontribusi yang bisa diberikan sang legenda pasti tetap bakal terbatas.
Sementara itu, usia Marchisio masih 31 tahun. Tidak muda, memang, tetapi tidak juga seperti usia Del Piero kala itu. Di usia ini, Marchisio justru sedang matang-matangnya sebagai pemain. Meski fisiknya barangkali sudah tidak seperti lima atau enam tahun lalu, pengaruhnya di ruang ganti sudah semakin besar. Apalagi, dia adalah kapten ketiga Juventus.
Selain itu, menjual Marchisio juga akan merupakan sinyal negatif. Marchisio adalah ikon dan tidak seharusnya sebuah klub yang punya sejarah seperti Juventus menjual ikon klub di usia yang masih produktif. Dari situ, Juventus bakal dengan mudah dapat digoyang. Setelah Bonucci, lalu Marchisio, lalu siapa lagi?
ADVERTISEMENT
Nah, demikian. Menjual Marchisio dan menggantikannya dengan pemain yang lebih muda memang mudah lagi rasional. Namun, menjual pemain seperti dirinya adalah sebuah langkah berisiko yang bisa mendatangkan banyak mudarat. Namun, apabila manajemen akhirnya memutuskan untuk mengambil langkah ini, pastikan dulu bahwa "pemain yang lebih muda" itu adalah Marco Verratti dan bukan Manuel Locatelli.