Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Karena Tugas Kiper Bukan Sekadar Menepis Tembakan
9 Agustus 2018 16:44 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:07 WIB
ADVERTISEMENT
Di setiap pertandingan, kiper tak berdiri sendirian. Di depan gawang sana, ia berteman akrab dengan bahaya. Di ujung lapangan sana, blunder konyol menjadi musuh yang bergerilya dan siap menerkam kapan pun.
ADVERTISEMENT
Pertemanan kiper dengan bahaya itu kian karib karena sepak bola modern menuntut seorang kiper untuk terlibat lebih dengan permainan. Artinya, kiper tak melulu tentang mengamankan gawang. Oke, itu tugas utama mereka. Tapi, tugas tambahan seorang kiper juga bertambah. Dan kalau ditanya apa yang menjadi tugas tambahan itu, tentu jawabannya berdasarkan kebutuhan tim, tergantung seperti apa sistem permainan (dasar) yang diusung oleh tim.
Setiap pemain harus beradaptasi karena sepak bola terus berkembang. Ini tidak hanya menjadi kewajiban penyerang, gelandang, ataupun bek. Seorang kiper pun harus beradaptasi. Di masa lampau, keberhasilan seorang kiper mencegah gawangnya kebobolan sudah cukup untuk membuatnya sebagai penjaga gawang yang baik. Namun, zaman berubah, sepak bola berkembang, kiper juga harus siap dengan tugas-tugas barunya.
ADVERTISEMENT
Menghadapi musim kompetisi 2018/19, klub-klub papan atas Premier League juga memasukkan kiper dalam daftar belanjaan mereka. Yang paling menyedot animo, tentu Liverpool yang mendatangkan Alisson Becker dari AS Roma.
Segala hal yang disebut sebagai revolusi akan usang bila tidak diikuti dengan revolusi yang lain. Juergen Klopp menyandang pamor sebagai pelatih revolusioner. Ia memperkenalkan jagat sepak bola kepada sistem permainan bernama gegenpressing. Bila ingin direduksi menjadi definisi sederhana, gegenpressing berarti melakukan counter-pressing dalam sistem permainan yang sangat energik. Di satu sisi, bermain sangat energik terlihat superior karena cenderung membuat lawan kerepotan, bahkan kelelahan menghadapi tekanan timmu.
Namun, selalu ada efek samping untuk segala sesuatu, termasuk gegenpressing yang diusung Liverpool di bawah asuhan taktik Klopp. Bagi Liverpool, efek itu adalah kelelahan timnya. Blunder menjadi ancaman paling menakutkan bagi siapa pun yang kelelahan, termasuk Liverpool.
ADVERTISEMENT
Klopp cenderung membangun serangannya dari garis pertahanan tinggi. Bermain dengan garis pertahanan tinggi bukan tentang memiliki bek-bek dengan kecepatan setinggi langit, tapi tentang kepercayaan kepada pemain depan dan belakang yang dapat melindungi para bek dengan baik.
Dalam sistem yang diusung Klopp ini, pertahanan harus dibangun sebagai satu kesatuan yang utuh, tidak terkotak-kotakkan pada satu area peran tertentu. Lantas, bila ditanya cara apa yang bisa dilakukan para pemain depan dan tengah untuk melindungi garis pertahanan itu, maka jawabannya adalah pressing.
Persoalannya, pressing gila-gilaan ini membutuhkan dua syarat mutlak: Kesadaran posisi dan konsentrasi. Sialnya, tak sekadar sadar dan konsentrasi, dua hal itu harus dimiliki secara konsisten selama pertandingan berlangsung. Melakukan pressing dengan begitu intens tentu melelahkan. Tak jarang, kelelahan membuat konsentrasi pemain jadi menguap. Karena garis pertahanan tinggi justru tidak terlindungi dalam kondisi seperti ini, ancaman blunder malah semakin menjadi-jadi.
ADVERTISEMENT
Blunder para pemain membikin tugas penjaga gawang makin mengerikan. Oleh karena itu, Liverpool memang membutuhkan kiper yang berperan sebagai shot stopper yang mumpuni. Untuk menjawab kebutuhan ini, Alisson patut diperhitungkan.
Di musim 2017/18 bersama Roma, penjaga gawang asal Brasil ini memiliki statistik gemilang soal penyelamatan. Sepanjang musim, ia berhasil membukukan rataan penyelamatan 2,9 kali per laga di Serie dan 3,8 kali per laga di Liga Champions. Bandingkan dengan Loris Karius yang di musim 2017/18 mencatatkan 2 penyelamatan per pertandingan di Premier League dan 2,11 penyelamatan per pertandingan di Liga Champions.
Atau, Simon Mignolet yang hanya membukukan rataan penyelamatan 0,95 per laga di Premier League. Untuk nama terakhir, tentu tak dapat dijadikan perbandingan yang sepadan karena jumlah bermain yang kelewat timpang dibandingkan Karius. Melihat catatan statistik tadi, untuk sementara, Alisson layak diperhitungkan sebagai penjaga gawang dengan kapasitas yang lebih baik ketimbang kiper-kiper yang dimiliki Liverpool.
ADVERTISEMENT
Yang menjadi masalah selanjutnya, kebutuhan Klopp soal kiper tak hanya berkutat pada seorang shot stopper mumpuni. Gegenpressing ala Klopp juga menggilai penguasaan bola di saat bersamaan. Akibatnya, pemain belakang, termasuk kiper, tidak hanya berperan sebagai tukang tekel, tapi sebagai pengoper-pengoper jitu.
Artinya, di saat bersamaan Liverpool tetap membutuhkan seorang ball-playing goalkeeper. Statistik Alisson untuk menjadi ball-playing kiper sebenarnya apik. Musim lalu dia punya catatan presentase 78,9% dalam hal umpan sukses per laga di Serie A.
Di ajang Liga Champions, catatannya menyentuh angka 80,4%. Bahkan, catatan umpan panjang sukses Alisson musim lalu mencapai 66,3%, mengungguli catatan Ederson Moraes, kiper Manchester City sekaligus kompatriotnya di Brasil, yang punya capaian 58,6%.
ADVERTISEMENT
Lain Klopp, lain Jose Mourinho. Dalam satu wawancaranya pada 2013, Mourinho pernah menegaskan bahwa ia membutuhkan kiper fasih menggunakan kakinya. Artinya, manajer yang juga merupakan anak dari mantan kiper itu juga membutuhkan penjaga gawang yang andal untuk mendistribusikan bola. Selain itu, ia juga cenderung ‘berpihak’ pada kiper-kiper yang berani untuk memotong bola-bola udara.
Kemungkinan besar, alasan itu juga yang menjadi penyebab mengapa di masa kepelatihannya bersama Real Madrid dulu, ia lebih memakai Diego Lopez ketimbang sang legenda hidup, Iker Casillas. Menurut Mourinho, Lopez bermain dengan bek tengah, andal menggunakan kaki, dan dominan dalam permainan bola-bola udara.
David de Gea, terlepas dari segala blunder fatal dan penampilan semenjananya di Piala Dunia 2018, masih menjadi pilihan utama Mourinho di Manchester United . Kepercayaan Mourinho kepada De Gea juga disuarakannya setelah pertandingan Spanyol melawan Portugal yang ditutup dengan cerita-cerita soal blunder De Gea. Di mata Mourinho, De Gea, sih, tidak pernah pernah tampil payah seperti itu di United.
ADVERTISEMENT
Sebagai shot stopper, kualitas De Gea di United tak perlu diragukan. Penghargaan Sarung Tangan Emas musim 2017/18 menjadi bukti valid. Di Premier League 2017/18 De Gea 18 kali berhasil membuat gawangnya nirbobol. Dari 37 pertandingan yang dilakoninya, ia hanya kebobolan 27 kali. Bila ditotal, ia berhasil membukukan 115 penyelamatan di sepanjang gelaran Premier League 2017/18.
Keberhasilan De Gea menjaga gawangnya dari terjangan lawan ini benar-benar menjadi senjata bagi pasukan Mourinho untuk melindungi timnya dari kekalahan. Sebabnya, lini pertahanan United cenderung buruk. Belum lagi dengan permainan reaktif yang menjadi ciri khas Mourinho di setiap tim yang diasuhnya. Gaya macam ini akan membuat bola lebih banyak berkutat di area pertahanan United.
ADVERTISEMENT
Namun, kepercayaan Mourinho kepada De Gea tak hanya tentang kemampuannya sebagai shot stopper. Bersama United, De Gea juga membuktikan bahwa ia seorang pengumpan panjang nan ulung. Salah satu buktinya bisa dilihat dari laga United melawan Liverpool pada 10 Maret 2018. Dalam laga tersebut, kelahiran dua gol United tidak bisa dilepaskan dari andil De Gea yang sanggup mengirim umpan panjang akurat.
Di Premier League, De Gea rata-rata melepas umpan (baik panjang maupun pendek) sebanyak 25,8 kali pada setiap penampilan. Dari sana, dia bisa membuat sampai 7,2 umpan panjang sukses di tiap laganya.
Walau demikian, sebenarnya, akurasi umpan panjang keseluruhan De Gea tidak bisa dibilang baik. Torehan umpan panjang sukses itu didapatnya dari banyak percobaan. Menurut catatan Squawka, De Gea terbiasa melepaskan setidaknya 18,5 umpan panjang per pertandingan. Kalau jumlah yang akurat cuma 7,2, maka akurasinya tidak sampai 50% di setiap laga.
ADVERTISEMENT
Kemampuan De Gea untuk bermain sebagai pencipta umpan-umpan panjang United ini memang tidak bisa dilepaskan dari inkonsistensi United perihal kreasi serangan. Jika penyakit United seperti ini sudah kambuh, maka De Gea harus bisa mengkreasikan serangan dari lini paling belakang. Nah, keberuntungan United akan menjadi sempurna bila dalam kondisi seperti ini timnya tak kehilangan pemantul bola ulung.
Ke mana pun Josep Guardiola melangkah, ia kukuh memegang prinsipnya mengenai kiper: Punya footwork dan akurasi umpan yang bagus. Sebabnya, Guardiola membutuhkan setiap pemain yang ada di timnya ambil bagian dalam proses membangun serangan. Bahkan, dalam satu wawancaranya Guardiola pernah menjelaskan kebutuhannya itu dengan jenaka. Katanya, “Saya membutuhkan tim yang dipenuhi oleh para gelandang. Kalau perlu, formasinya berubah menjadi 0-11-0.”
ADVERTISEMENT
Karena kebutuhan yang demikian, Guardiola menyisihkan Joe Hart sebagai pinjaman ke klub-klub lain dan menepikan Claudio Bravo. Ederson datang ke Manchester City dari Benfica dengan bermodalkan rataan umpan sukses per laga yang mencapai 61,8%. Lantas, di musim 2017/18, Ederson membukukan rataan umpan sukses sebesar 85,6% di Premier League dan 86% di Liga Champions.
Di benak Guardiola, kiper sudah menjadi anggota tim yang tidak terpisahkan dengan urgensi untuk membangun permainan dari belakang. Yang dibutuhkan Guardiola bukan hanya kiper yang mahir bermain umpan-umpan pendek untuk mengawali permainan, tapi juga melesakkan umpan panjang dan menggagas serangan balik.
Sakleknya tuntutan Guardiola menyoal kiper ini diakuinya karena pengaruh Arrigo Sacchi. Suatu waktu, Sacchi pernah menjelaskan bahwa jarak antara lini serang dan pertahanan tidak boleh lebih dari 25 meter. Dengan jarak yang rapat ini, tim asuhan Guardiola (yang dipengaruhi taktik Sacchi) dapat memancing lawan melakukan blunder karena menghadapi tekanan tinggi.
ADVERTISEMENT
Tim juga harus bisa memanfaatkan kerentanan lawan terhadap potensi serangan balik cepat dengan bola panjang. Di sinilah peran kiper dibutuhkan. Ia bisa meminta back-pass dari beknya dan mengirim umpan panjang ke depan.
Sial bagi Maurizio Sarri, kedatangannya ke Chelsea diikuti dengan ngambeknya Thibaut Courtois yang sudah begitu ingin hengkang. Beruntung, Sarri mendapatkan penggantinya dengan cepat: Kepa Arrizabalaga.
Sarri adalah anomali di dunia kepelatihan. Ketimbang hasil, ia lebih mengutamakan timnya bermain indah. Barangkali, dalam pikirannya berkecamuk satu hal: Lebih baik kalah terhormat (karena bermain indah), ketimbang menang dengan cara buruk. Imbasnya, saat dilatih Sarri, Napoli tampil sebagai tim yang membenci permainan bertahan.
Karena punya libido tinggi terhadap penyerangan, Napoli harus kehilangan kesempatan merengkuh scudetto 2017/18. Bukan sekali dua kali Napoli kehilangan kemenangan karena kebobolan di menit-menit akhir.
ADVERTISEMENT
Kecenderungan tim asuhan Sarri yang kebobolan di pengujung laga membikin mereka membutuhkan seorang kiper dengan kemampuan goalkeeping mumpuni. Sebenarnya, Thibaut Courtois bukan kiper yang buruk. Di Premier League 2017/18, ia berhasil menorehkan rataan 2,10 penyelamatan per laga. Di Liga Champions musim yang sama, angkanya hanya 1,42 penyelamatan untuk setiap pertandingan.
Yang harus dipikirkan Sarri adalah bagaimana mencari pengganti yang sepadan dengan Courtois karena Willy Caballero belum cukup kuat untuk dijadikan pilihan utama. Harapan itu muncul lewat kedatangan Kepa. Namun, keberadaan Kepa masih cukup mengundang pertanyaan. Masalahnya, di 26 pertandingan La Liga 2017/18 yang diikutinya, rataan penyelamatan per laganya tak berbeda jauh ketimbang Courtois (yang bermain 35 kali), hanya 2,29.
ADVERTISEMENT
Rataan kebobolan per laga Kepa juga cukup tinggi, yakni 1,38. Sementara, Courtois hanya kebobolan 0,89 kali per laga. Angka-angka ini memang hanya hitung-hitungan statistik. Namun, setidaknya ia menjadi acuan tentang apa-apa saja yang sebenarnya perlu mendapatkan perhatian Sarri. Terlebih, penyesuaian di sana-sini menjadi menu wajib yang harus dilahap Chelsea di musim 2018/19 ini.
Arsenal beruntung karena gaya permainan Unai Emery cocok dengan karakter para pemainnya. Setidaknya, inilah yang terlihat di sejumlah laga pramusim. Keberuntungan itu bertambah karena kiper terbaru mereka, Bernd Leno, juga memberikan penegasan tentang keselarasaan gaya permainan Emery dan dia sendiri.
ADVERTISEMENT
Leno punya catatan apik ketika membela Bayer Leverkusen di Bundesliga, sehingga bisa menjadi ancaman besar bagi Cech. Per catatan WhoScored musim 2017/2018, Leno rata-rata melakukan 2,1 satu penyelamatan per laga, tak jauh berbeda dengan Cech yang rata-rata melakukan 2,5 penyelamatan.
Dengan skema empat bek yang jadi andalan eks pelatih Sevilla itu, ditambah intensitas pressing serta garis pertahanan tinggi, Leno mengaku sudah terbiasa dengan sistem seperti ini ketika bermain di Jerman. Di kesempatan pertamanya unjuk gigi pun, Leno tampil impresif dan membawa Arsenal menang 5-1 atas Paris Saint-Germain.
Walau demikian, risiko permainan seperti ini bagi kiper memang tetap ada. Ketika pemain belakang membuat jarak yang lebih lebar, Leno harus bisa menutup ruang tadi. Tambahan tugas macam ini memang tak kebal risiko, tapi setidaknya di Jerman sana, peran ganda kiper bukan hal yang baru.
ADVERTISEMENT
Kiper, bagamainapun merupakan bagian dari tim. Hanya karena ia berdiri di paling belakang dan memiliki peluang mencetak gol terkecil, bukan berarti perannya tak vital. Pemilihan kiper yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan dan sistem permainan tim menjadi bukti.
Kiper yang tepat tidak hanya bisa menjaga gawang dari kebobolan, tapi membantu tim meraih kemenangan. Kiper yang tepat tidak hanya tentang menepis tembakan lawan, tapi juga menambal buruknya permainan tim. Tak peduli sebaik apa pun pemain out-field bermain, kiper yang tidak optimal dapat menggiring timmu pada kekalahan. Kalau butuh bukti, lihat saja Liverpool dan Karius-nya.