Kisah “Akamsi” Manchester dan Liverpool, Neville dan Carragher

14 Januari 2017 20:30 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Yang namanya "akamsi", ya, gigih seperti ini. (Foto: Michael Regan/Getty Images)
Pernah mendengar kata "akamsi"? Sebagian besar dari Anda mungkin belum. "Akamsi" adalah kata dari bahasa slang yang biasanya digunakan oleh masyarakat Jakarta untuk menyebut para remaja dan pemuda-pemuda asli dari sebuah wilayah.
ADVERTISEMENT
Untuk gampangnya (sekali lagi, untuk Anda yang belum ngeh) “akamsi” adalah singkatan dari “anak kampung sini”.
“Akamsi” biasanya paham seluk-beluk daerah asalnya dan punya kebanggaan akan daerahnya itu yang tak bisa disanding-sandingkan. Kebanggaan mereka sedemikian kentalnya sampai-sampai bisa muncul kalimat sebagai berikut:
“Saya tak tahan dengan Liverpool. Saya tak tahan dengan orang-orangnya. Saya tak tahan dengan apapun yang berkaitan dengan mereka.”
Kalimat tersebut dilontarkan Gary Neville, “akamsi” asal Manchester. Sebagai “akamsi” Manchester, ia paham betul perkara rivalitas kampungnya dengan kota sebelah, Liverpool.
Neville begitu passionate terhadap kota dan klub yang dibelanya dulu, Manchester United. Demikian juga dengan rivalnya, Jamie Carragher, yang merupakan “akamsi” asal Liverpool.
***
James Lee Duncan Carragher lahir di Bootle, sebuah daerah yang hanya berjarak 10 menit —jika berkendara dengan mobil— dari pusat Kota Liverpool. Carragher kecil merupakan seorang Evertonian —sebutan untuk suporter Everton. Dia bersama ayahnya kerap berpergian keliling Inggris untuk menonton Everton berlaga.
ADVERTISEMENT
Tapi kecintaan Carragher kepada Everton harus ia kesampingkan dulu ketika pada usia 10 tahun, kala ia bergabung dengan akademi klub rival sekota, Liverpool. Dan setelah mencatatkan debut profesional pada tahun 1996 bersama The Reds, Carra, panggilan akrabnya, berbalik jatuh cinta pada Liverpool.
Dengan berstatus sebagai pemain Liverpool, Carra otomatis juga menjadi pembenci Manchester United. Seperti diketahui, rivalitas dua klub tersukses Inggris itu memang sangat panas dan pelik. Karenanya, para pemain, apalagi yang merupakan “akamsi" dari masing-masing wilayah klub, pasti menyimpan kebencian yang lebih besar.
"Saya selalu ingin Manchester United kalah di setiap pertandingannya. Di liga atau piala apapun. Saya terluka saat United menang dan senang ketika mereka kalah. Saya berbohong jika mengatakan hal berbeda. Saya yakin fans United akan merasakan hal yang sama untuk Liverpool dan saya tidak bisa mengubah itu."
ADVERTISEMENT
Itu yang diungkapkan Carra perihal ketidaksukaannya terhadap United. Kebencian kepada Manchester United sudah mendarah daging bagi para “akamsi" Liverpool. Dan Carra sebagai pria yang mendedikasikan seluruh kariernya untuk Liverpool, kerap menunjukkan kebencian itu secara jelas di lapangan.
Carra kerap memperagakan permainan keras ketika berhadapan dengan United. Salah satu momen yang memorial tentu adalah terjangannya kepada winger United, Nani, pada tahun 2011. Kala itu bahkan Carragher mengaku jika Nani menangis setelah dihajar olehnya.
Satu momen memorial lain datang pada bulan Maret satu tahun sebelumnya. Kala itu setelah United mendapatkan penalti, Carra tersulut karena menganggap rekannya, Javier Mascherano, tak melakukan pelanggaran terhadap Antonio Valencia. Sontak, karena sudah terlanjur terbakar emosi, Carra kala itu tak bisa menahan emosinya untuk berseteru dengan salah satu pemain United.
ADVERTISEMENT
Ya, dia berseteru dengan “akamsi" dari Manchester yang sudah disebutkan di atas, Gary Neville. Neville lahir di Bury, sebuah wilayah di utara Manchester, yang berjarak 30 menit berkendara dari Old Trafford. Namun tak seperti Carra, Neville kecil tak mendukung rival sekota, Ia memang langsung jatuh hati kepada United, mengikuti jejak sang ayah.
Terlebih, setelah memutuskan berhenti sekolah pada tahun 1991, Neville mewujudkan mimpinya dengan bergabung ke akademi “Setan Merah”. Beberapa tahun berselang, ia sudah mendapat tempat di tim senior.
"Ketika saya kecil, tidak ada alasan untuk tidak membenci Liverpool. Saya adalah fans United. Mereka (Liverpool) memenangi semua gelar di tahun 70 dan 80-an. Dan jujur, itu adalah waktu yang tak menyenangkan bagi klub saya."
ADVERTISEMENT
Sama seperti Carra, Neville juga kerap menunjukan kebenciannya terhadap Liverpool melalui aksi-aksi di lapangan. Menghadapi The Reds sepertinya adalah tempat yang tepat bagi Neville untuk mencurahkan emosinya. Tengoklah bagaimana luapan emosi Neville kala United memenangi laga kontra Liverpool di Old Trafford pada Januari 2006.
Kala itu, ia berlari ke arah para pendukung Liverpool, dan kemudian berteriak-teriak penuh emosi sambil mencium logo United di seragamnya. Neville sungguh emosional dan aksi itu mungkin tak akan ada jika lawannya bukan Liverpool. Begitu pula dalam perseteruannya dengan Carra di tahun 2010 itu, Neville begitu emosi.
Neville dan Carra jelas tahu bagaimana cara untuk menghadapi seteru dengan jantan. Sebagai seorang “akamsi" dari masing-masing klub, mereka menuntut diri untuk bisa meraih kemenangan dan mampu menjaga harga diri di hadapan lawan.
ADVERTISEMENT
Kini, keduanya telah pensiun dari dunia si kulit bulat. Baik Carra atau Neville kemudian sama-sama memilih menjadi pundit atau komentator sepak bola di televisi. Yang menarik, saat menjadi pundit, keduanya malah akur. Baik Carra maupun Neville dianggap punya pemahaman akan taktik yang luas dan punya insight menarik akan permainan. Tak heran jika acara mereka di Sky Sports, yakni Monday Night Football, laku ditonton.
Meski begitu, “perseteruan” mereka di lapangan juga masih dipertahankan hingga saat ini. Bentuknya dalam olok-olok kocak. Beberapa kali di televisi mereka saling mengejek. Pernah sekali waktu Carra ditanyai oleh seorang pembawa acara apa momen terbaik yang dilihatnya dalam sepak bola, pria 38 tahun itu menjawab: "Saat Neville di Valencia.”
ADVERTISEMENT
Kita semua tahu, Neville gagal sebagai pelatih Valencia. Ia dipecat setelah melatih klub itu selama tiga bulan.
Ya, jelas itu sebuah lelucon karena Neville gagal total dan hanya menjadi bahan olok-olokan media kala menangani Valencia. Sebaliknya, Neville pun pernah mengejek Carra lewat media sosial Twitter. Kala itu Neville mengejek Carra soal Liverpool yang tidak pernah memenangkan gelar Liga Inggris sejak 26 tahun terakhir.
Persaingan panas antara keduanya memang belum bisa berakhir dan dihentikan hingga saat ini. Carra dan Neville masih akan terus menjadi representasi bagaimana “akamsi" Liverpool dan Manchester masih menjaga rivalitas dan tak mau kalah satu sama lain.
Rivalitas keduanya ini bisa menggambarkan bagaimana duel panas akan tersaji akhir pekan ini, Minggu (15/1/2017) malam WIB, ketika Manchester United menjamu Liverpool di Old Trafford. Kita memang tak akan bisa melihat Neville atau Carra ribut di lapangan lagi, tapi kita tahu, bagaimana sengitnya pertandingan itu bisa berlangsung.
ADVERTISEMENT