Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Di usianya yang baru 21 tahun, nama Luka Jovic sudah begitu harum. Bersama Eintracht Frankfurt musim lalu dia melejit lewat torehan 27 gol dari 46 penampilan di Bundesliga dan Liga Europa. Ketika itu semua berakhir, Jovic mendapat ganjaran berupa transfer ke Real Madrid dengan nilai mencapai 60 juta euro.
ADVERTISEMENT
Itu semua menunjukkan betapa hebatnya Jovic dan betapa besar potensinya. Namun, di balik semua itu, ada sebuah cobaan berat yang harus dilewati olehnya ketika masih bocah dulu. Kisah ini dia tuturkan lewat tulisan di situsweb The Players' Tribune yang berjudul 'Hola, Madrid'.
Cobaan yang dialami Jovic itu sebenarnya tidak dialami langsung olehnya, melainkan oleh kakak perempuannya. Leukemia adalah nama cobaan tersebut dan itu sempat membuat kehidupan keluarganya sedikit berantakan.
Ketika itu semua terjadi Jovic kecil sudah mengenal sepak bola lewat rekaman video aksi Roger Milla dan Ronaldo. Dia pun saat itu telah menuntut ilmu di akademi milik Crvena Zvezda. Bagi Jovic sekeluarga, situasinya memang sulit, tetapi justru dari sanalah dia menemukan motivasi.
ADVERTISEMENT
"Ketika aku berumur sembilan atau sepuluh tahun, kakak perempuanku sakit keras. Dan ini adalah momen yang mengubah hidup kami sekeluarga," tulis Jovic .
"Dokter memvonisnya mengidap leukemia dan dia harus keluar masuk rumah sakit dalam waktu yang lama. Ibuku harus berhenti dari pekerjaannya sebagai manajer supermarket untuk merawatnya."
"Selama setahun, keluargaku hidup terpisah. Aku tinggal bersama ayah dan kakek untuk berlatih di Crvena Zvezda, sementara ibuku tinggal bersama kakakku."
"Itu adalah masa-masa sulit. Dari sana, yang paling kuingat adalah bagaimana perasaanku ketika aku pulang dari Beograd ke Batar setelah bertanding."
"Suatu hari, ketika dia sedang mengantarku pulang, ayahku berhenti untuk menjemput paman dan sepupuku. Aku tidak tahu apa yang terjadi awalnya, tetapi belakangan aku sadar bahwa kami akan merayakan sesuatu."
ADVERTISEMENT
"Kami pulang ke rumah dan aku melihat kakakku mengenakan topi kertas di kepalanya, seakan-akan dia sedang berulang tahun. Mereka bilang dia sudah sembuh dan rasanya luar biasa mengetahui bahwa dia akan baik-baik saja karena sebelum itu kami selalu dicekam ketakutan."
"Ketika kakakku mengalahkan penyakitnya, itu memberiku bahan bakar untuk meraih kesuksesan. Aku ingin menjadi pemenang seperti dirinya," kenang mantan pemain Benfica tersebut.