Memuja Mohamed Salah, Melawan Rasialisme

16 Februari 2018 22:49 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:11 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Salah merayakan golnya. (Foto: REUTERS/Andrew Yates)
zoom-in-whitePerbesar
Salah merayakan golnya. (Foto: REUTERS/Andrew Yates)
ADVERTISEMENT
Ini adalah musim tergila dalam karier sepak bola Mohamed Salah. Datang ke Liverpool pada musim panas 2017 silam, Salah langsung menjadi pujaan baru publik Anfield. Penyebabnya, tak lain dan tak bukan, adalah produktivitasnya dalam mencetak gol.
ADVERTISEMENT
Sudah 30 gol dicetak Salah musim ini dan itu membuatnya jadi pemain tercepat kedua dalam sejarah klub yang bisa meraih jumlah tersebut. Untuk itu, Salah butuh 36 pertandingan, terpaut 9 dari George Allan yang melakukannya pada 1896.
Kegilaan Salah itu membuat namanya dielu-elukan para kopites--sebutan fans Liverpool--dalam chant yang uniknya membawa-bawa identitas Salah sebagai seorang muslim.
“Kalau dia cukup baik untukmu, dia cukup baik untukku. Jika dia menciptakan beberapa gol lagi, aku juga akan menjadi muslim!” begitu bunyi chant tersebut.
Sebenarnya, tidak mengejutkan pula jika pada kopites itu menyinggung identitas Salah sebagai seorang muslim. Pasalnya, si pemain sendiri tidak pernah berusaha menyembunyikannya.
Setelah mencetak gol, Salah akan merayakannya dengan bersujud sebagai tanda syukur kepada Tuhannya sebelum teman-temannya memeluknya. Atau sebelum laga bermula, tak jarang kamera menyorotinya sedang mengangkat tangannya dan berdoa.
ADVERTISEMENT
Inilah menariknya. Dari chant ini terlihat bagaimana para fans Liverpool sama sekali tidak mempermasalahkan identitas Salah sebagai seorang muslim. Hal ini seperti menjadi jawaban atas laporan Football Against Racism in Europe (FARE) yang menyebut bahwa Inggris adalah gudangnya insiden rasialisme di sepak bola.
Menurut laporan FARE, antara musim 2015/16 dan 2016/17 terdapat 539 insiden rasialisme di sepak bola dan 59 di antaranya terjadi di Inggris. Salah satu contoh paling banal terjadi pada September 2017 silam.
Kala itu Chelsea mengeluarkan pernyataan resmi agar para penggemarnya berhenti menyanyikan chant untuk Alvaro Morata. Tentu saja, manajemen tidak melarang para penggemar mengungkapkan dukungan terhadap pemain tertentu. Di sini yang dipermasalahkan adalah kata-kata pada chant tersebut.
ADVERTISEMENT
“Alvaro, oh, Alvaro, oh. Dia datang dari Real Madrid dan dia benci Yahudi,” demikian bunyi chant tersebut.
Situasi memprihatinkan itulah yang membuat chant Salah menjadi seperti oase di gurun pasir. Direktur Eksekutif FARE, Piara Powar, mengatakan bahwa ini adalah untuk kali pertama dia mendapati ada chant berbau agama yang dinyanyikan dengan nada positif.
Powar melanjutkan, fenomena ini tak bisa dilepaskan dari Salah sendiri. Selain merupakan pesepak bola andal, tabiatnya juga bagus.
“Pemain bagus meruntuhkan pembatas (antara mayoritas dan minoritas),” ungkap Powar seperti dilansir Washington Post.
“Kami tahu bahwa apresiasi kepada seseorang sebagai pesepak bola tak bisa dilepaskan dari identitasnya, dan bagi sebagian orang, penerimaan terhadap identitas tersebut," imbuhnya.
ADVERTISEMENT
Ya, seperti yang kami bilang di awal, musim ini memang musim yang gila buat Salah. Melawan rasialisme dengan sepak bola? Wow, itu luar biasa, bung.