Merangsek dan Terus Merangsek, Seperti Eddie Howe

1 Februari 2018 15:37 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Eddie Howe di sebuah laga Piala FA. (Foto: Reuters/Carl Recine)
zoom-in-whitePerbesar
Eddie Howe di sebuah laga Piala FA. (Foto: Reuters/Carl Recine)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
"Saat ini, kupikir (kemenangan) ini adalah yang terbaik. Kupikir ini adalah hasil dan penampilan terbaik kami," kata Eddie Howe persis setelah tim asuhannya, AFC Bournemouth, menghajar Chelsea 3-0 di Stamford Bridge, Kamis (1/2/2018) dini hari WIB.
ADVERTISEMENT
"Kupikir jika kami tampil bagus tetapi gagal mendapat hasil positif, akan selalu ada kritikan yang mengarah kepadaku, tetapi hari ini kami mendapatkan keduanya dan rasanya benar-benar memuaskan," imbuh Howe.
Ya, itulah yang terjadi. Bournemouth, salah satu kandidat degradasi itu, berhasil mengalahkan juara bertahan Premier League dengan skor telak di kandang si juara bertahan. Jika Howe bicara bahwa itu merupakan hasil terbaik yang diraih timnya, pria 40 tahun itu sama sekali tidak berlebihan.
Kemenangan 3-0 di kandang lawan memang bukan sekali ini saja didapat Howe dan anak-anak asuhnya. Pada Desember 2016 silam, mereka sudah pernah meraih hasil identik. Namun, kala itu lawan yang diempaskan The Cherries hanyalah Swansea City, bukan Chelsea. Tak heran jika Howe begitu puas dengan kemenangan atas pasukan Antonio Conte tersebut.
ADVERTISEMENT
Bagi Howe dan Bournemouth, dua kemenangan dengan margin tiga gol itu memang merupakan hasil terbaik sepanjang kiprah mereka di Premier League. Pasalnya, pengalaman mereka pun sebetulnya belum seberapa di puncak piramida kompetisi sepak bola Inggris ini. Musim 2017/18 ini adalah musim ketiga mereka bertarung di kelas yang sama dengan Manchester United, Liverpool, dan semacamnya.
Bagi Bournemouth, kisahnya bersama Howe memang tak ubahnya dongeng. Kebersamaan mereka sendiri berawal dari sebuah situasi yang tak menguntungkan.
Ceritanya, pada musim 2008/09, Bournemouth tengah menghadapi masalah finansial. Mereka saat itu sedang masuk administrasi usai mengajukan kebangkrutan dan tengah menghadapi pergantian pemilik. Kala itu, Bournemouth berlaga di League Two.
Dengan situasi demikian, pihak Football League pun memerintahkan Bournemouth (bersama Rotherham United) untuk membuktikan bahwa mereka layak untuk berkompetisi di Football League seraya menantang mereka untuk keluar dari administrasi. Jalan tengah pun akhirnya didapat. Bournemouth diperbolehkan mengarungi kompetisi, tetapi harus memulainya dengan poin minus 17.
ADVERTISEMENT
Eddie Howe, ketika itu, masih berstatus sebagai manajer tim junior Bournemouth. Di tim utama, yang menjadi nakhoda adalah Jimmy Quinn. Namun, memasuki pertengahan musim, Quinn dipecat karena hanya mampu membawa klub Inggris Selatan itu meraih tujuh poin. Artinya, Bournemouth masih punya defisit sepuluh poin untuk bisa mencapai titik nol.
Tanpa dinyana, Eddie Howe ditunjuk sebagai manajer, meski awalnya hanya berstatus caretaker. Namun, dengan begitu pun Howe sudah sah menjadi manajer termuda di Football League pada usia 31 tahun.
Howe pun mampu menyulap Bournemouth menjadi tim yang punya energi baru. Akhirnya, pada pertandingan kandang terakhir mereka menghadapi Grimsby Town, Bournemouth menang 2-1 untuk mempertahankan status Football League mereka. Kebersamaan itu pun bertahan sampai musim berikutnya dan di situ, Howe sukses membawa klub berkostum merah-hitam ini promosi ke League One usai finis di urutan kedua League Two musim 2009/10.
ADVERTISEMENT
Keberhasilan Howe mengangkat Bournemouth itu kemudian membuatnya dipercaya untuk menangani Burnley. Walau begitu, Howe sempat menghabiskan setengah musim terlebih dahulu di Bournemouth untuk memimpin mereka mengarungi League One.
Ketika Howe datang, Burnley baru saja memecat manajer Brian Laws. Setelah mengawali musim dengan buruk bersama Laws, di bawah Howe, The Clarets mampu mengakhiri musim di urutan kedelapan Championship Division. Tak pelak, manajemen pun memberi kepercayaan kembali kepada Howe.
Sayangnya, penampilan apik di setengah musim perdana itu tak mampu diulangi oleh Howe. Pada musim keduanya bersama Burnley, dia hanya mampu membawa klub yang bermarkas di Turf Moor itu finis di urutan ke-13. Howe pun dipecat dan digantikan oleh The Ginger Mourinho, Sean Dyche.
ADVERTISEMENT
Setelah itu, Howe kembali ke Bournemouth. Akan tetapi, dia harus menunggu sampai Oktober--atau pertandingan ke-12 di League One--untuk bisa kembali menduduki kursi manajerial klub. Sebabnya, ketika itu Bournemouth masih ditangani oleh Paul Groves. Di bawah komando Groves pada musim 2012/13 itu, Bournemouth hanya meraih satu kemenangan. Sementara, lima laga lain berakhir imbang dan lima lainnya berujung kekalahan.
Setelah kursi manajerial kembali ke tangan Howe, Bournemouth tiba-tiba saja bangkit. Sisa musim itu mereka lalui dengan meraih 23 kemenangan. Mereka memang sempat mengalami masa sulit dengan menelan lima kekalahan beruntun pada periode Februari-Maret 2013, tetapi pada akhir musim Harry Arter cs. tetap mampu finis di urutan kedua klasemen dan meraih tiket promosi ke Championship Division.
ADVERTISEMENT
Di divisi yang jauh lebih ketat, Eddie Howe dan armadanya tetap mampu menjaga stabilitas. Pada musim perdana di Championship, Howe berhasil membawa Bournemouth finis di urutan ke-10 klasemen.
Inkonsistensi menjadi penyakit utama mereka pada musim 2013/14. Ada kalanya mereka menang lima kali beruntun, tetapi ada kalanya pula mereka gagal menang di tujuh laga berturut-turut. Namun, posisi ke-10 klasemen di kesempatan pertama tentunya bukan hal buruk dan itulah mengapa Howe dipertahankan.
Keputusan mempertahankan Howe itu berbuah positif pada musim 2014/15. Pada musim tersebut, Howe berhasil menciptakan keajaiban dengan membawa Bournemouth menjuarai Championship Division dan dengan demikian, secara otomatis pula mereka meraih tiket promosi ke Premier League.
Bournemouth saat promosi ke Premier League. (Foto: Reuters/John Marsh)
zoom-in-whitePerbesar
Bournemouth saat promosi ke Premier League. (Foto: Reuters/John Marsh)
Di Premier League, baru benar-benar terlihat apa sebenarnya yang membuat Eddie Howe dan Bournemouth-nya begitu spesial. Di liga yang disebut-sebut sebagai yang paling sulit di dunia ini, Howe benar-benar menunjukkan mengapa dia bisa membawa Bournemouth begitu mudahnya meraih promosi dari League Two, League One, maupun Championship.
ADVERTISEMENT
***
Di antara pria-pria seumurannya, Eddie Howe tidak pernah dikenal sebagai sosok pemain hebat. Cukup bagus, mungkin, tetapi jelas tidak hebat. Pada 1998, Howe sempat membela Tim Nasional Inggris U-21 di Toulon Tournament sebanyak dua kali. Akan tetapi, barangkali itulah puncak kariernya sebagai pemain.
Howe lahir dan besar di Amersham, tetapi sejak kecil dia sudah mengidolai Bournemouth. Setelah mengenyam pendidikan sepak bola bersama klub lokal Rossgarth dan Parley Sports, Howe akhirnya cukup beruntung untuk bisa mendapat kontrak profesional dari Bournemouth. Kala itu, usianya baru 17 tahun.
Howe pun dengan cepat mampu menjadi pemain andalan di Bournemouth. Selama delapan tahun berseragam merah-hitam, dia mampu mencatatkan 200 penampilan. Kiprah apiknya di Dean Court itu kemudian membawanya ke Portsmouth yang kala itu ditangani Harry Redknapp. Dengan biaya transfer 400 ribu poundsterling, Howe dipercaya Rednkapp untuk menjadi penggawa lini belakang The Pompeys.
ADVERTISEMENT
Namun, baru bermain pada satu laga di Fratton Park, Howe sudah mengalami cedera lutut yang membuatnya absen sampai akhir musim 2002/03. Lalu, ketika dia kembali pada musim berikutnya, cedera itu kembali melanda dan akhirnya, Porstmouth pun meminjamkan Howe ke Swindon Town dan Bournemouth pada paruh kedua musim 2003/04.
Pada musim panas 2004, para suporter Bournemouth berpatungan untuk membantu klubnya mendatangkan Howe secara permanen. Dari sana, duit sebesar 21 ribu pounds terkumpul dan jadilah Howe kembali ke Dean Court. Walau begitu, kebersamaan itu berakhir prematur karena pada 2007, di usia yang baru mencapai 30 tahun, Howe harus pensiun lantaran cederanya tak kunjung pulih.
Pada tahun terakhirnya sebagai pemain Bournemouth itu, Eddie Howe sudah diberi kesempatan untuk mencicipi tugas kepelatihan. Manajer Bournemouth kala itu, Kevin Bond, memberi Howe jabatan sebagai pemain merangkap pelatih (player-coach). Oleh Bond, Howe ditugasi melatih tim cadangan Bournemouth.
ADVERTISEMENT
Pelatih lokal terbaik, Eddie Howe. (Foto: REUTERS/Hannah McKay)
zoom-in-whitePerbesar
Pelatih lokal terbaik, Eddie Howe. (Foto: REUTERS/Hannah McKay)
Sebagai pelatih tim cadangan Bournemouth, Howe sempat bertahan selama lebih dari semusim. Hanya saja, ketika Kevin Bond dipecat pada 2008, Howe ikut kehilangan pekerjaan, meski kemudian ditunjuk kembali menjadi pelatih tim junior oleh Jimmy Quinn di tahun yang sama.
***
Eddie Howe boleh jadi merupakan seorang bek kala masih aktif bermain. Akan tetapi, sebagai manajer, sosok satu ini justru dikenal akan pendekatan ofensifnya. Dengan formasi standar 4-4-1-1, Howe senantiasa memerintahkan anak-anak asuhnya untuk melancarkan pressing sedini mungkin untuk memaksa lawan berbuat kesalahan.
Namun, ofensifnya pendekatan Howe ini sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari bagaimana dia menganggap penting pertahanan. Johan Cruyff, suatu kali, pernah berkata bahwa dia sebenarnya jauh lebih defensif dari apa yang dikatakan orang. Hanya saja, cara bertahan Cruyff ini dilakukan secara proaktif--dengan pressing--dan hal yang sama diterapkan oleh Howe.
ADVERTISEMENT
Kemudian, ketika menyerang Howe tidak pernah mengandalkan individu untuk melakukan tugas tersebut. Bisa dimaklumi, memang, mengingat selama menjadi manajer, Howe tidak pernah benar-benar memiliki pemain pengubah keadaan macam Alexis Sanchez. Maka dari itu, yang dia kedepankan adalah sistem. Baik untuk bertahan maupun menyerang, kuncinya adalah sistem.
Dalam sistem permainan Howe, ada empat pemain yang memegang peran paling krusial. Mereka adalah duo full-back dan duo gelandang tengah. Duo full-back itu punya dua tugas: melakukan overlap dan menjadi inverted full-back untuk memberi opsi umpan. Sementara, duo gelandang tengah itu diberi tugas yang berbeda. Satu gelandang diberi tugas menjadi gelandang box-to-box, sementara satu gelandang lain diperintahkan untuk berpatroli di depan dua bek sentral.
ADVERTISEMENT
Dari sini, sisi sayap menjadi area utama yang dieksploitasi Howe kala menyerang. Dua winger Bournemouth benar-benar diutilisasi sebagaimana winger pada umumnya. Namun, tujuan dari itu semua hanyalah sebagai pengalih perhatian karena setelah pertahanan lawan berhasil dikacaukan, maka second striker merekalah yang bakal memegang peran penting untuk mengeksplotasi celah.
Winger Bournemouth, Junior Stanislas (kiri). (Foto: Reuters/David Klein)
zoom-in-whitePerbesar
Winger Bournemouth, Junior Stanislas (kiri). (Foto: Reuters/David Klein)
Dengan pendekatan demikian, Bournemouth pun menjadi tim yang begitu solid dan kerapkali menghadirkan kejutan, termasuk di Premier League. Kemenangan atas Chelsea, Kamis (1/2) dini hari WIB, tentu menjadi contoh termutahir.
Pada pertandingan tersebut, pressing dan serangan sayap (khususnya sayap kiri) menjadi senjata utama Bournemouth. Hasilnya, meski kalah dalam penguasaan bola, mereka bisa lebih efisien dan efektif dalam menciptakan peluang.
Tiga gol yang bersarang di gawang 'Si Biru' sudah bisa dijadikan pedoman betapa mematikannya Bournemouth jika mereka berada dalam performa terbaik. Jika bukti itu masih kurang sahih, coba tengok pula laga Bournemouth melawan Arsenal pada 14 Januari 2018 silam karena cara yang sama pun mereka gunakan di situ.
ADVERTISEMENT
Kemenangan atas Chelsea itu membawa Bournemouth naik ke urutan ke-10 klasemen sementara Premier League. Walau begitu, posisi mereka belum aman karena jarak dengan Southampton di zona degradasi hanya lima angka.
Akan tetapi, satu hal yang bisa dipetik dari sana adalah bahwa sebenarnya, Eddie Howe memang terlalu bagus untuk terus-terusan menangani Bournemouth. Atau, setidaknya, kalau tidak bisa dibilang begitu, Howe sudah layak untuk mencoba peruntungannya di klub yang lebih mapan. Dengan sumberdaya yang lebih besar, kemungkinan Howe meraih hasil lebih baik juga tentunya bakal lebih besar.
Sekarang, semua kembali kepada Howe sendiri. Keterikatannya dengan Bournemouth memang tak bisa diputus begitu saja. Namun, di sisi lain, jika Howe terus mampu menjaga konsistensi, maka akan datang suatu masa ketika Bournemouth memang harus melepas putra kesayangannya ini.
ADVERTISEMENT