Merekahnya Pemuda-pemuda Inggris di Tanah Rantau

15 November 2018 15:00 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Jadon Sancho, Reiss Nelson, Ademola Lookman (Foto: Composite (Reuters, AFP))
zoom-in-whitePerbesar
Jadon Sancho, Reiss Nelson, Ademola Lookman (Foto: Composite (Reuters, AFP))
ADVERTISEMENT
Hanya beberapa hari setelah kembali dari Rusia, pelatih Timnas Inggris, Gareth Southgate, muncul ke depan publik dengan sebuah kritik untuk persepakbolaan di negerinya. Menurut Southgate, para pelatih di Premier League harus lebih berani memberi kesempatan bagi para pemain muda Inggris.
ADVERTISEMENT
Ucapan Southgate itu bukan pepesan kosong. Di Piala Dunia 2018, Southgate membawa skuat yang berusia rata-rata 25,6 tahun. Skuat itu adalah skuat termuda Inggris dalam 88 tahun dan dengan tim itu, Southgate sanggup mengantarkan 'Tiga Singa' ke semifinal, sesuatu yang terakhir kali bisa diraih pada 1990.
Southgate pertama kali mengatakan itu pada 15 Juli. Satu setengah bulan kemudian, ucapan serupa kembali diutarakannya. Bedanya, dalam kesempatan kedua ini Southgate tak cuma menyoroti minimnya menit bermain pemain muda, tetapi pemain lokal Inggris secara keseluruhan.
Statistik jadi acuan Southgate untuk mengungkapkan kegelisahannya. Dalam hitungan eks pemain Crystal Palace itu, sampai 30 Agustus lalu, hanya ada 30% pemain Inggris yang menjadi starter di Premier League. Di klub enam besar, jumlahnya semakin mengkhawatirkan lagi: hanya 19,2%.
ADVERTISEMENT
"Sebenarnya ini bukan masalah ketiadaan talenta," kata Southgate. "Kita semua sudah lihat bagaimana prestasi Inggris di Piala Dunia U-17, Piala Dunia U-20, dan Piala Dunia senior. Dari sana terbukti bahwa ada banyak pemain Inggris berkualitas. Kita punya pemain-pemain muda menjanjikan yang, apabila kita tidak hati-hati, akan kehilangan kesempatan untuk bersinar."
Southgate bukan satu-satunya orang berkata demikian. Di skuat Timnas Inggris saat ini ada nama Jadon Sancho, pemuda 18 tahun yang sukses bersinar di negara lain sampai akhirnya bisa menembus tim nasional level senior.
Sancho adalah pemain Borussia Dortmund yang berkompetisi di Bundesliga. Menurut Sancho, di Jerman sana, kesempatan untuk pemain muda memang lebih terbuka ketimbang di Premier League.
“Itulah Bundesliga, mereka memercayai Anda meski Anda masih sangat muda, mereka tidak akan membawa Anda ke sini jika mereka tidak benar-benar percaya pada kemampuan Anda," kata Jadon Sancho dalam sebuah wawancara baru-baru ini dengan BBC Sport.
ADVERTISEMENT
Sancho tidak sendiri. Bersamanya, ada pula Reiss Nelson (TSG Hoffenheim) dan Ademola Lookman (RasenBallsport Leipzig) sebagai contoh pemain muda Inggris yang sanggup bersinar di Jerman. Cerita ketiga pemain ini akan kami bahas secara khusus satu per satu. Namun, kami akan membahas pula bahwa ada sejumlah pemain Inggris di Jerman yang tidak sesukses mereka.
Bagaimana Sancho Mengungguli Phil Foden
Setelah Inggris berhasil menjuarai Piala Dunia U-17 dengan mengalahkan Spanyol tahun lalu, dari skuat besutan Steve Cooper itu mencuatlah nama-nama pemain potensial. Sancho adalah salah satu dari mereka. Selain itu, ada pula nama-nama lain macam Phil Foden, Rhian Brewster, Callum Hudson-Odoi, Angel Gomes, serta Emile Smith Rowe.
Dari nama-nama yang disebut itu, Foden adalah yang kala itu paling kerap menjadi buah bibir. Sebabnya, pada turnamen yang dihelat di India tersebut, Foden dinobatkan sebagai pemain terbaik. Dari tiga gol yang diciptakan, dua di antaranya dia cetak ke gawang Alvaro Fernandez di partai puncak untuk mengantarkan Inggris menang telak 5-2.
ADVERTISEMENT
Jadon Sancho beraksi di laga melawan Hertha. (Foto: Reuters/Leon Kuegeler)
zoom-in-whitePerbesar
Jadon Sancho beraksi di laga melawan Hertha. (Foto: Reuters/Leon Kuegeler)
Sebagai pemuda yang lahir di area Greater Manchester, sudah sewajarnya jika Foden kemudian menimba ilmu di satu dari dua klub terbesar di sana. Manchester City adalah klub Foden. Perlu diketahui, akademi milik Manchester City saat ini adalah salah satu yang terbaik di Inggris. Mereka punya pelatih, kurikulum, serta fasilitas yang nyaris tiada banding.
Foden, dengan talenta serta sokongan lingkungan yang bagus, digadang-gadang bakal menjadi pemain besar. Prediksi itu pun tidak mengada-ada. Sebab, mulai musim 2017/18 lalu, di tengah menumpuknya pemain bintang di skuat City, Foden --bersama Oleksandr Zinchenko-- berhasil menembus tim utama. Remaja 18 tahun ini pun diturunkan Pep Guardiola tak cuma di kancah domestik, tetapi juga kompetisi antarklub Eropa.
ADVERTISEMENT
Musim ini, kepercayaan Guardiola kepada Foden semakin membesar. Sampai sekarang, sosok kelahiran Stockport itu sudah turun sebanyak sepuluh kali. Menit bermainnya pun sudah mencapai 321. Kemudian, jika musim lalu Foden hanya bisa mencatatkan satu assist, kali ini dia sudah berhasil mengemas 1 gol plus 2 assist.
Perkembangan Foden itu sama sekali tidak bisa dibilang buruk, terutama jika ditempatkan dalam konteks yang tepat. Foden masih berumur 18 tahun dan dia berada di klub bertabur bintang seperti Manchester City. Tetapi, dari sini, sangatlaha menarik untuk berandai-andai: Bagaimana seandainya Foden mengambil langkah serupa dengan Sancho?
Pada Piala Dunia U-17 itu, Sancho sudah berstatus sebagai pemain Borussia Dortmund. Dia menolak sodoran kontrak 30 ribu poundsterling per pekan untuk naik kelas ke tim utama Manchester City dan memilih menyeberang ke Jerman karena kesempatan bermainnya bakal lebih terbuka.
ADVERTISEMENT
Keseriusan Dortmund dalam mengutilisasi Sancho itu tampak dari bagaimana Sancho akhirnya tidak mengikuti Piala Dunia U-17 sampai rampung. Jelang babak perempat final, Sancho dipanggil pulang oleh Dortmund untuk berlatih bersama tim utama mereka.
Kini, hasilnya sudah bisa terlihat. Di kala Foden masih jadi ban serep di Etihad, Sancho sudah menjadi bintang baru di Westfalen. Lima belas kali sudah Sancho turun membela Dortmund dengan menit bermain lebih dari 788. Dari sana, lima gol dan tujuh assist sudah berhasil dikemasnya.
Panggilan ke Timnas Inggris senior pun sejauh ini sudah dia dapatkan dari Southgate sebanyak dua kali. Pada kesempatan pertama, Sancho hanya turun sebagai pengganti di laga melawan Kroasia yang berakhir 0-0. Rencananya, pada pertandingan persahabatan menghadapi Amerika Serikat, Jumat (16/11/2018) dini hari WIB, Sancho akan dimainkan sebagai starter oleh Southgate.
ADVERTISEMENT
Jalan Memutar Reiss Nelson untuk Menjadi Legenda
Di laman Wikipedia-nya, tertulis bahwa Reiss Nelson lahir di daerah bernama Elephant and Castle. Terdengar eksotis, memang, tetapi sesungguhnya, wilayah itu terletak persis di jantung kota London.
Nelson pun memulai pendidikan sepak bolanya di sebuah klub yang letaknya tak jauh dari rumah, yaitu Lewisham Borough. Namun, saat usianya menginjak angka delapan, Nelson bertrajektori. Pada 2007, Nelson kecil ditarik oleh Arsenal untuk bergabung di akademinya. Selama sepuluh tahun Nelson menimba ilmu di akademi milik The Gunners, sampai akhirnya dia dipromosikan ke tim utama.
Sayangnya, kesempatan bermain di tim utama tidak besar. Meski begitu, Nelson sejatinya tetap ingin memberi yang terbaik untuk Arsenal. Tak tanggung-tanggung, dalam sebuah wawancara dengan BBC Sport, pemain kelahiran 1999 ini menyatakan tekadnya untuk menjadi legenda Arsenal. Yang menarik, Nelson berani berkata demikian justru ketika dirinya sedang tidak membela klub London Utara tersebut.
ADVERTISEMENT
Musim lalu, Nelson cuma bermain sebanyak 15 kali untuk Arsenal di semua ajang, kebanyakan sebagai pengganti. Status sebagai pemain pelapis itu tidak cukup bagi Nelson. Dia pun lantas mengikuti jejak Sancho dengan menyeberang ke Jerman. Bedanya, klub yang diperkuat Nelson adalah Hoffenheim.
Tak seperti Sancho yang merupakan pemain sah milik Dortmund, Nelson adalah pemain pinjaman di Hoffenheim. Bagi Nelson, Hoffenheim adalah kesempatan untuk unjuk gigi dan itu tak disia-siakannya. Sebelas kali sudah dia tampil untuk klub besutan Julian Nagelsmann itu dan enam gol serta satu assist sudah berhasil dia sumbangkan di ajang Bundesliga.
Reiss Nelson, bintang baru asal Inggris lainnya di Bundesliga musim 2018/19. (Foto: Patrik STOLLARZ / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Reiss Nelson, bintang baru asal Inggris lainnya di Bundesliga musim 2018/19. (Foto: Patrik STOLLARZ / AFP)
Menariknya, Nelson sendiri awalnya enggan jika harus meninggalkan Arsenal hanya dengan status pinjaman. Tetapi, nama Bundesliga dan Hoffenheim menggugah keinginannya. Dalam wawancara dengan situs resmi FA, nelson mengatakan bahwa kunci keberhasilanya sejauh ini di Rhein-Neckar Arena adalah kepercayaan dari Nagelsmann.
ADVERTISEMENT
"Dia masih sangat muda, baru 31 tahun, dan sangat penting memiliki pelatih yang mempercayaimu. Jadi, ya, dia adalah alasan utama di balik keberhasilanku, karena dia bersedia untuk memainkanku," ucapnya.
Sama seperti Sancho, Nelson juga merupakan pemain depan yang biasa beroperasi di sektor sayap. Sebelumnya, peran ini dilakoni oleh Serge Gnabry yang juga merupakan jebolan akademi Arsenal. Gnabry sendiri saat ini telah menjadi pemain Bayern Muenchen.
Setengah Musim yang Menyenangkan bagi Ademola Lookman
Dibandingkan dengan Sancho dan Nelson, Ademola Lookman adalah yang tertua. Namun, namanya kini justru mulai meredup karena memang dia sekarang sudah tidak lagi bermain di Jerman.
Nama Lookman mencuat pada musim panas 2017 sebagai bagian dari skuat Inggris yang jadi juara Piala Dunia U-20. Dalam laga final melawan Venezuela, Lookman turun sebagai pemain inti di sayap kiri. Namun, tak seperti rekan setimnya di Everton, Dominic Calvert-Lewin, yang kemudian berhasil jadi pilihan utama Ronald Koeman dan Sam Allardyce, Lookman harus kerap mendekam di bangku cadangan.
ADVERTISEMENT
Pada pertengahan musim 2017/18, Allardyce berniat untuk mengirimkan Lookman ke klub Championship, Derby County. Namun, Lookman menolak. Melihat adanya kesempatan bermain di Bundesliga bersama RasenBallsport Lleipzig, Lookman mengemas kopernya dan berangkat menuju kota eks-Jerman Timur tersebut.
Di Leipzig, Lookman meledak. Jika sebelumnya dia hanya bermain 13 kali di Premier League, Piala FA, Liga Europa, dan Piala Liga, Lookman berhasil mencatatkan 11 penampilan untuk Leipzig di Bundesliga. Lima gol dan empat assist jadi torehan manis yang dipersembahkannya bagi klub milik perusahaan minuman berenergi, Red Bull, tersebut.
Sayangnya, kini Lookman telah kembali ke Everton dan hasilnya, pada musim ini dia baru bermain tujuh kali di Premier League dan Piala Liga, hampir semuanya sebagai pengganti. Dengan waktu bermain minim, kontribusinya pun anjlok, di mana dia baru bisa menyumbangkan satu assist bagi The Toffees musim ini.
ADVERTISEMENT
***
Selain tiga pemain di atas, ada beberapa pemain Inggris lain yang sempat mencari peruntungan di Jerman. Mereka adalah Reece Oxford, Mandela Egbo, Kaylen Hinds, serta Osayamen Osawe. Di antara mereka, praktis hanya Osawe yang menikmati status sebagai pemain reguler. Akan tetapi, status itu dia dapatkan di divisi dua dan tiga.
Seratus empat puluh tujuh kali Osawe tampil untuk Hallescher (3.Liga) serta Kaiserslautern dan Ingolstadt (2.Bundesliga). Sementara, sisanya tidak mampu menimbulkan impak besar. Hinds bahkan saat ini tidak memiliki klub usai dilepas Wolfsburg pada awal musim. Sementara, Oxford dan Egbo masing-masing hanya pernah turun tujuh dan satu kali untuk Borussia Moenchengladbach.
Dari sini, bisa dilihat bahwa untuk bisa sukses di Bundesliga, kesempatan dari pelatih saja tidak cukup. Sancho, Nelson, dan Lookman memiliki talenta dan setelah diberi kesempatan, talenta mereka mekar. Akhirnya, impak nyata pun berhasil mereka timbulkan.
ADVERTISEMENT
Di Premier League sendiri, kans bagi pemain muda Inggris sebenarnya tidak benar-benar tertutup. Seperti kata Southgate, ada sekitar 30 persen pemain Inggris yang turun dan itu artinya, pemain-pemain Inggris punya potensi untuk jadi tuan rumah di negeri sendiri, asal kesempatan itu ada, seperti yang dimiliki Callum Wilson dan Lewis Cook di Bournemouth.
Callum Wilson menjalani jumpa pers bersama Timnas Inggris. (Foto: Carl Recine/Reuters)
zoom-in-whitePerbesar
Callum Wilson menjalani jumpa pers bersama Timnas Inggris. (Foto: Carl Recine/Reuters)
Jumlah pemain lokal di The Cherries memang lebih banyak ketimbang pemain asing dengan perbandingan 2:1. Di bawah asuhan pelatih asli Inggris, Eddie Howe, dan lebih kecilnya tekanan karena 'hanya' bermain di Bournemouth, pemain-pemain lokal pun bisa bersaing. Bahkan, Wilson yang usianya sudah 26 tahun itu akhirnya dipanggil oleh Southgate ke TImnas Inggris.
Selain Cook dan Wilson, ada pula James Maddison di Leicester City. Maddison sebenarnya merupakan pemain yang punya beban berat karena bertatus sebagai pemain termahal dalam sejarah The Foxes. Akan tetapi, beban demikian tidak dibarengi dengan ekspektasi berlebihan, sehingga eks pemain Norwich ini pun bisa menunjukkan kemampuan terbaik.
ADVERTISEMENT
Hal berbeda dialami oleh talenta-talenta di klub besar Premier League. Dominic Solanke, misalnya. Seperti Lookman, Solanke juga merupakan anggota skuat Inggris U-20 di Piala Dunia tahun lalu, tetapi kesempatan bermainnya begitu minim di Liverpool. Musim ini, pemain yang dibesarkan akademi Chelsea itu belum sekali pun bermain membela panji The Reds.
***
Premier League memang liga yang tak mudah untuk ditaklukkan. Jangankan pemain muda. Mereka yang sudah kawakan saja harus berusaha ekstra keras. Apalagi, dengan dana yang melimpah, klub-klub Premier League bisa dengan mudah membeli pemain baru jika yang lama tak memenuhi harapan. Itulah mengapa, kompetisi ini jadi habitat yang tak menyenangkan untuk para pemburu pengalaman.
Maka, wajar apabila ada sebagian dari pemain muda Inggris yang lantas memilih untuk mencari jam terbang di negara lain; di tempat yang mau menerima mereka karena talenta yang dimiliki, bukan karena nama besar mereka. Sancho, Nelson, dan Lookman sudah menunjukkan bahwa hijrah bukanlah langkah mundur. Justru, itu adalah yang tercepat untuk menemukan jalan menuju kebintangan.
ADVERTISEMENT