Milan Merana karena Kawin Paksa

30 September 2019 13:41 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ekspresi kecewa para pemain Milan usai dikalahkan Udinese. Foto: AFP/Miguel Medina
zoom-in-whitePerbesar
Ekspresi kecewa para pemain Milan usai dikalahkan Udinese. Foto: AFP/Miguel Medina
ADVERTISEMENT
Vincenzo Montella datang ke San Siro dengan memori buruk. Stadion itu pernah menjadi rumahnya selama sekitar satu setengah tahun. Namun, rentetan hasil buruk membuatnya diusir dari sana.
ADVERTISEMENT
Bagi Montella, itu adalah masa-masa sulit. Sebab, tak lama kemudian, ketika dipercaya menangani Sevilla di Spanyol, lagi-lagi dia mengalami pemecatan. Dua kali diberhentikan dalam satu musim bukanlah catatan yang diinginkan pelatih mana pun di CV-nya.
Namun, itulah yang terjadi. Montella pun kemudian memutuskan untuk undur diri sejenak dari sepak bola. Setahun lamanya dia menganggur sampai akhirnya sebuah panggilan dia terima.
April lalu Andrea dan Diego Della Valle tidak tahu bahwa rezim mereka di Fiorentina bakal segera berakhir. Yang mereka pahami, Fiorentina tak bisa terus-terusan terpuruk.
Della Valle bersaudara saat itu diterpa banyak sekali kritik dari para pendukung Fiorentina sendiri. Pasalnya, pada titik itu prestasi Fiorentina memang sedang menukik. Maka, palu pun diketuk. Stefano Pioli dipecat dan Montella ditarik kembali.
ADVERTISEMENT
Tujuh tahun sebelumnya Della Valle bersaudara sudah pernah menyewa jasa Montella sebagai juru latih dan hasilnya sangat baik. Fiorentina sukses dibawa Montella finis di papan atas dan menembus final Coppa Italia.
Montella gagal di Milan. Foto: Reuters/Alberto Lingria
Della Valle bersaudara berharap Montella dapat kembali memberi sentuhan emas kepada La Viola. Akan tetapi, hasilnya tidak sesuai harapan mereka. Montella tak bisa mengangkat prestasi Fiorentina pada musim lalu.
Tidak lama berselang sebuah perubahan rezim terjadi di Fiorentina. Rocco Commisso, pengusaha Italia-Amerika yang sebelumnya pernah berniat membeli Milan, mengambil alih kepemilikan klub.
Beruntung bagi Montella karena Commisso mau menaruh kepercayaan padanya. Di bawah kepemilikan Commisso, Fiorentina membangun ulang tim dengan fondasi pemain-pemain muda.
Awalnya memang sulit. Apalagi, mereka harus berhadapan dengan tim-tim macam Napoli, Atalanta, dan Juventus di pertandingan-pertandingan pertama musim 2019/20. Fiorentina pun sempat mengalami puasa kemenangan.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, penampilan mereka sebenarnya tidak buruk. Sampai akhirnya, pertengahan pekan lalu Fiorentina bertemu dengan juru kunci klasemen, Sampdoria. Kesempatan itu tak disia-siakan dan Fiorentina pun akhirnya menang.
Kemenangan atas Sampdoria itu menjadi momentum kebangkitan Fiorentina. Di pertandingan berikutnya menghadapi Milan performa tim semakin mengagumkan saja dan mereka pun menang dengan lebih meyakinkan.
Fiorentina sebenarnya tidak bisa dibilang dominan karena mereka kalah dalam penguasaan bola. Namun, peluang-peluang yang mereka dapatkan jauh lebih mengigit.
Di akhir kisah Fiorentina menang 3-1. Bahkan, mereka sebenarnya bisa mencetak empat gol seandainya penalti Federico Chiesa tak ditahan Gigio Donnarumma. Montella pun pulang dari San Siro dengan semringah.
***
Pertandingan antara Milan dan Fiorentina, Senin (30/9/2019) dini hari WIB, itu merupakan pertemuan dua tim yang mencoba memulai segalanya dari nol. Akan tetapi, seperti yang terpampang pada hasil akhir, situasi keduanya berbanding terbalik.
ADVERTISEMENT
Ya, Fiorentina memang masih jauh dari sempurna. Ada persoalan kronis di mana mereka masih kesulitan menjaga gawangnya dari kebobolan. Namun, secara garis besar, Fiorentina jauh lebih baik dibanding Milan.
Seusai pertandingan pelatih Milan, Marco Giampaolo, mengeluhkan ketidakmampuan timnya bermain sebagai sebuah unit. Menurutnya, para pemain Milan mencoba mencari solusi lewat pertunjukan individual.
Bagi Milan, atau klub mana pun, situasi macam itu jelas tidak ideal. Ketika tim yang turun di lapangan kehilangan kohesivitas, artinya ada yang salah dari mereka. Pertanyaannya, siapa yang bertanggung jawab atasnya?
Untuk kasus Milan, tanggung jawab sejatinya ada pada semua pihak. Namun, Giampaolo adalah pelatih mereka dan dialah yang menentukan susunan pemain serta taktik. Maka, wajar apabila sorotan dialamatkan kepada dirinya.
ADVERTISEMENT
Giampaolo ditunjuk oleh direktur olahraga Paolo Maldini karena memiliki identitas bermain yang jelas. Sampdoria besutannya bermain dengan agresif dan atraktif dalam balutan formasi 4-3-1-2.
Identitas memang jadi kata kuncinya di sini. Para petinggi Milan, khususnya Maldini dan Zvonimir Boban, ingin agar timnya bisa bermain dengan pakem serta struktur yang jelas. Soal hasil bakal mereka pikir belakangan.
Dengan target seperti itu, beban Giampaolo sebenarnya tidak bisa dibilang berat. Dia punya waktu dan kepercayaan. Akan tetapi, sampai pekan keenam Serie A, filosofi Giampaolo itu sama sekali belum bisa diterapkan dengan baik.
Seperti yang dia katakan, Milan tidak bermain sebagai sebuah unit. Padahal, Sampdoria asuhannya dulu bisa jadi salah satu kuda hitam di Serie A karena selalu bermain dengan kompak.
ADVERTISEMENT
Giampaolo sendiri sudah berkompromi. Awalnya dia ngotot menggunakan formasi 4-3-1-2 tetapi hasilnya sama sekali tak optimal. Pada laga melawan Udinese, di mana Milan kalah 0-1, mereka sama sekali tak bisa mencatatkan tembakan ke arah gawang.
Fabio Borini berusaha mengirim bola melewati pemain-pemain Udinese. Foto: AFP/Miguel Medina
Setelah itu Giampaolo menyadari bahwa skuat yang dimilikinya memang tidak cocok untuk disusun dalam pakem 4-3-1-2. Akhirnya, pria kelahiran Swiss itu memutuskan untuk kembali menggunakan formasi 4-3-3.
Dua kali menggunakan pakem 4-3-3, dua kali pula Milan menang, yaitu tatkala menghadapi Brescia dan Hellas Verona. Namun, pada tiga laga terakhir yang semuanya berakhir dengan kekalahan, Giampaolo kembali menggunakan pola 4-3-1-2.
Dari sana bisa ditarik hipotesis bahwa Milan tampil buruk memang karena para pemain tidak dapat beradaptasi dengan pola andalan Giampaolo. Namun, ini bukan salah sang allenatore semata.
ADVERTISEMENT
Sedari awal para pejabat Milan sudah sadar pelatih seperti apa Giampaolo dan bagaimana cara timnya bermain. Di sisi lain, semestinya mereka juga tahu bahwa sebelum-sebelumnya Milan tak pernah bermain dengan cara demikian.
Di bawah Gennaro Gattuso, Milan bermain dengan pakem 4-3-3 dan 4-2-3-1. Dua pakem itu memang berbeda tetapi setidaknya komposisi skuat Milan sekarang bisa dimasukkan ke dalam sana.
Pada bursa transfer lalu Milan sebenarnya sudah melakukan sejumlah pembelian untuk mendukung pakem bermain ala Giampaolo. Akan tetapi, nama-nama yang mereka datangkan masih kelewat hijau. Tak semua dari mereka bisa mendobrak tim utama dengan segera.
Pelatih Milan, Marco Giampaolo. Foto: Opta
Artinya, proses transisi Milan dari cara bermain lama ke yang baru tidaklah mulus. Para pemain yang kini diandalkan Giampaolo--khususnya Suso--adalah simbol rezim kepelatihan lawas.
ADVERTISEMENT
Celakanya, Suso sendiri tidak bisa tampil optimal di bawah Giampaolo karena dia tak ditempatkan di posisi aslinya. Suso adalah seorang penyerang sayap tetapi oleh Giampaolo dikonversi menjadi trequartista.
Secara individual, penampilan Suso sebenarnya tak buruk. Menurut catatan WhoScored dia bisa membuat 2,2 tembakan, 2,7 umpan kunci, dan 1,8 dribel sukses per laga. Namun, produk akhirnya nyaris nihil hanya dengan torehan 1 assist.
Apa yang terjadi dengan Suso adalah gambaran Milan saat ini. Mereka punya tim berisikan pemain-pemain bagus tetapi nyaris tak ada yang bisa mengejawantahkan talentanya menjadi hasil konkret di lapangan.
Satu-satunya pemain yang penampilannya memuaskan sejauh ini adalah Leao. Dia tampil bagus di laga melawan Torino dengan menghasilkan penalti bagi Milan dan mencetak gol ke gawang Fiorentina.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, lagi-lagi, ini adalah gambaran Milan besutan Giampaolo yang bagusnya pun secara individual. Karena tim tidak berfungsi dengan baik, mau tak mau impak positif pun harus muncul dari individu.
Rafael Leao memasuki lapangan San Siro. Foto: AC Milan
Secara tim, Milan sebenarnya mampu tampil brilian pada babak pertama menghadapi Torino, di mana mereka unggul 1-0 lewat penalti Krzysztof Piatek. Namun, di babak kedua mereka melempem.
Pada pertandingan itu yang menjadi biang keladi adalah Giampaolo sendiri. Setelah dia menarik keluar Leao dan memasukkan Jack Bonaventura, penampilan Milan amburadul. Torino pun sukses memanfaatkan itu untuk mencuri kemenangan.
Laga melawan Torino itu menunjukkan bahwa Milan sebenarnya memiliki potensi. Namun, potensi itu terbuang percuma karena keputusan yang buruk dari Giampaolo.
ADVERTISEMENT
Terlepas dari itu, Giampaolo tetap tidak bisa disalahkan sepenuhnya. Lagipula, dia cuma berusaha memanfaatkan skuat yang dimilikinya dan kesalahan itu hanya terjadi di satu pertandingan.
Ada gambaran besar yang lebih mengkhawatirkan di sini yaitu bahwa perkawinan Giampaolo dengan Milan terlalu dipaksakan. Ketidakcocokan antara mereka lebih banyak dibanding kecocokannya.
Dengan demikian, mereka yang memaksakan perkawinan inilah (baca: Maldini dan para petinggi Milan lain) yang harus bertanggung jawab. Sayangnya, bentuk pertanggungjawaban ini bisa jadi berwujud pemecatan bagi sang pelatih dalam waktu dekat.