Para Perokok di Pinggir Lapangan

22 Februari 2018 17:19 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:11 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Lippi di Piala Dunia 2008. (Foto: ARIS MESSINIS / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Lippi di Piala Dunia 2008. (Foto: ARIS MESSINIS / AFP)
ADVERTISEMENT
Olahraga dan rokok adalah dua hal yang bertentangan, tapi pemikir dan rokok adalah dua kawan yang berjabat erat.
ADVERTISEMENT
“Merokok di waktu senggang adalah teman terbaik bagi pejuang yang soliter,” seperti itulah Ernesto ‘Che’ Guevara menggambarkan hubungan mesranya dengan tembakau.
Che memang penggemar tembakau, ia merokok cerutu Kuba. Dan dunia tahu, Kuba adalah negara yang berulang kali dicap sebagai penghasil cerutu terbaik di dunia.
Dalam tulisannya yang berjudul ‘Che’s Habanos’, Jesus Arboleya dan Roberto F. Campos menjelaskan, Che tidak merokok untuk alasan gengsi. Merokok adalah bagian dari perjuangan revolusi Che, sebagai stimulus yang membantunya untuk menghadapi kesulitan-kesulitan dalam perjuangannya.
Makanya, tak heran, lewat tulisannya Che menyugestikan apa-apa saja yang harus dibawa oleh seorang pejuang gerilya dalam ranselnya: hammock (tempat tidur gantung), terpal untuk berteduh, selimut, garam untuk mengawetkan makanan, minyak pelumas untuk senjata, air segar, obat-obatan, dan tembakau.
ADVERTISEMENT
Rokok memang punya dampak negatif. Pasalnya, rokok yang berbahan dasar tembakau tersebut terdiri dari beberapa zat seperti nikotin, TAR, amonia, dan berbagai unsur lain yang bisa berdampak buruk pada kesehatan. Para perokok pun paham hal itu.
Makanya, bukan hal yang jarang pula saat mulai merasakan hal yang tak nyaman pada tubuhnya, seorang perokok bakal berkata, “Kebanyakan merokok, nih.” Tapi, kita semua tahu, setelahnya mereka akan kembali merokok.
Sama seperti Che yang menjadikan tembakau sebagai kawan di medan juangnya, sejumlah pelatih sepak bola juga turut membawa rokok dalam pertandingannya. Bila Che berupaya memenangi revolusi, maka para pelatih harus memeras otak dari pinggir lapangan untuk memenangi laga demi laga.
Jelang berhadapan dengan Napoli, Jumat (23/2/2018) dini hari WIB, dalam babak 32 besar Liga Europa, RB Leipzig memutuskan untuk melakukan sedikit perombakan pada stadionnya, tepatnya di ruang ganti tim tamu. Pelatih Napoli, Maurizio Sarri, memang terkenal sebagai perokok.
ADVERTISEMENT
Untuk mewadahi kebutuhan merokok Sarri, Leipzig membangun area merokok (smoking room) di ruang gantinya. Menurut laporan Bild, Leipzig tengah membangun tembok setinggi 3-3,5 meter untuk ruangan merokok di kamar ganti. Bahkan, berdasarkan permintaan dari Napoli, alarm pemberitahuan asap rokok akan dimatikan saat kedua tim bertemu.
Sejumlah pelatih cukup keras bila menyangkut masalah kesehatan -termasuk kebiasaan merokok. Lihatlah hukuman apa yang diberikan AS Roma kepada Radja Nainggolan akibat foto unggahannya yang menunjukkan ia merokok dan mabuk saat malam Tahun Baru. Jangan harap pula cerita macam Gianluigi Buffon yang tertangkap kamera sedang menikmati rokok bisa terjadi waktu Juventus dilatih Antonio Conte dulu. Jangankan merokok, setiap hari saja anak-anak asuhnya itu sudah dijejali dengan daftar gizi di ruang makan tim.
ADVERTISEMENT
Walau demikian, untuk menemukan pelatih yang merokok dari pinggir lapangan memang bukan hal yang kelewat sulit.
Johan Cruyff, salah satu genius yang pernah hidup di ranah sepak bola, mulai mengakrabi rokok sejak usia 14 tahun. Cruyff belum menghentikan kebiasaan merokoknya sewaktu ia berstatus sebagai pesepak bola Barcelona. Bahkan setelah melakoni pertandingan debutnya bersama Barcelona, Cruyff mengaku ia segera menuju ruang ganti, menghabiskan satu batang rokok, mandi, dan kembali merokok.
Cruyff menghabiskan masa remajanya di Amsterdam. Di Belanda saat itu, rokok dipandang sebagai kemewahan bagi orang dewasa yang sudah mapan. Merokok di usia remaja dianggap sebagai bentuk perlawanan bagi budaya dan norma tadi. Cruyff kala itu, juga tampil sebagai anak muda yang tak ragu menyatakan diri sebagai orang menentang budaya tadi.
ADVERTISEMENT
Ketika Cruyff pensiun lalu menjabat sebagai manajer Ajax Amsterdam pada 1985, rokok tetap menjadi kawan karibnya. Ia berkali-kali tertangkap kamera sedang mengisap rokok di pinggir lapangan. Tujuannya satu, hanya untuk mengusir ketegangan selama pertandingan berlangsung.
Kebiasaan ini terus berlanjut sampai 1991, saat Cruyff mulai menjadi juru taktik Barcelona. Di tahun yang sama, Cruyff memutuskan untuk menjauhi rokok dan memulai kebiasaan baru: mengisap lolipop.
Apa boleh bikin, kebiasaan merokok tadi memaksanya dioperasi bypass jantung di tahun 1991. Dokter mengultimatumnya, bila ia tak berhenti merokok maka umurnya tak akan lama. Konon, Cruyff menghabiskan setidaknya 20 batang rokok per hari. Pada 20 Oktober 2015, Cruyff divonis dokter mengidap kanker paru-paru. Setelah berjuang kurang-lebih lima bulan melawan kanker, Cruyff meninggal pada 24 Maret 2016.
ADVERTISEMENT
“Dalam hidup saya, saya memiliki dua adiksi: sepak bola dan rokok. Jika sepak bola memberikan saya segala hal, maka merokok mengambil semua hal yang saya punya,” suatu-waktu inilah yang dikatakan Cruyff menyoal kebiasaannya itu.
Ketangguhan 11 pemain di atas lapangan sering kali digerakkan oleh perasan otak sosok eksentrik di pinggir lapangan. Zdenek Zeman adalah salah satunya. Walau berkebangsaan Ceko, Zeman malang-melintang di lapangan-lapangan Italia.
Andrea Pirlo dalam bukunya pernah menulis, taktik yang dimainkan Zeman adalah taktik yang menguji batas-batas realitas. Di lapangan bola, Zeman adalah seorang pembangkang.
Bila Italia begitu memuja sepak bola bertahannya, maka Zeman tampil sebagai pelatih yang mati-matian menertawakan catenaccio lewat formasi super ofensif 4-3-3 yang diterapkannya di Roma. Belum lagi dengan penolakannya terhadap formasi 4-6-0 yang menyembunyikan para penyerang, yang sebenarnya bisa membuat Francesco Totti ‘moksa’ di tengah lapangan.
ADVERTISEMENT
Cara Zeman membangkang terhadap kekakuan sepak bola tidak berhenti sampai di strategi permainannya. Dari pinggir lapangan, ia tak mempedulikan segala anjuran kesehatan dari dokter dan tim medis klub. Federico Farcomeni yang memandu wawancara Zdenek Zeman untuk The Blizzard bahkan menghitung, Zeman menghabiskan satu batang rokok setiap enam menit.
Genius-genius taktik kerap tampil sebagai sosok yang eksentrik. Bila berbicara soal pelatih hebat, nama Carlo Ancelotti tentu tidak dapat dilupakan. Kehebatan taktik sepak bola Italia mewujud dalam Ancelotti.
Maurizio Sarri merokok. (Foto: MARCO BERTORELLO / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Maurizio Sarri merokok. (Foto: MARCO BERTORELLO / AFP)
Seperti kebanyakan pria Italia, Ancelotti pun merokok. Dan sebagai pelatih sepak bola, ia tak segan-segan menunjukkan kebiasaannya ini, bahkan saat pertandingan sedang berlangsung. Dibandingkan dengan para perokok pinggir lapangan lainnya, Ancelotti cenderung lebih tenang. Perhatikanlah caranya mengisap rokok, tidak terburu-buru. Cara yang sesuai dengan ekspresi datarnya yang kerap tertangkap kamera.
ADVERTISEMENT
Di masa kepelatihan Ancelotti bersama Madrid, Pepe tampil sebagai sosok yang jauh lebih menarik. Ancelotti menjadikannya sebagai salah satu bek paling bersih di Spanyol. Selama musim 2014-2015, ia hanya mengantongi empat kartu kuning. Padahal di musim sebelumnya, Pepe mengantongi sembilan kartu kuning.
Bisakah dibayangkan, Pepe yang kerap kali dijadikan objek meme karena kebengalannya dan kerap membikin penonton bertaruh tentang ulah apa lagi yang akan dibuatnya, menjadi bek yang hanya menerima empat kartu kuning dalam semusim?
Di era Ancelotti, bek sebengal Pepe bermetamorfosis menjadi bek yang lebih rapi dan kalem. Dan untuk segala perubahan yang ditunjukkan pesepak bola sebengal Pepe, mari menerka-nerka pembicaraan pribadi macam apa yang mereka lakukan.
Tidak ada yang tahu apakah Pepe juga merokok atau tidak. Namun, jika ia seorang perokok, barangkali mereka berdua akan berbicara sambil menyulut rokok masing-masing, sambil sesekali menertawakan hal bodoh atau berdiam sejenak menimbang-nimbang sesuatu.
ADVERTISEMENT
Marcello Lippi adalah perokok lainnya. Jika Ancelotti sering tertangkap kamera mengisap rokok putih, maka Lippi adalah manifestasi dari elegansi pria-pria Italia. Untuk urusan rokok, ia memilih cerutu. Lippi akan tetap diingat sebagai sosok berambut putih yang mengisap cerutu dari pinggir lapangan.
“Saya ingat waktu tim kami bertanding di Turin. Saya melihat Signor (Tuan) Lippi ada di bench. Ia mengenakan jaket kulit dan mengisap cerutu kecil. Isapannya terlihat begitu halus dan tenang. Sedangkan saya, memakai tracksuit dan basah kuyup diguyur hujan,” seperti itu Sir Alex Ferguson menggambarkan Lippi saat ia bertandang ke Turin.
Zeman dalam laga vs Catania. (Foto: MARCELLO PATERNOSTRO / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Zeman dalam laga vs Catania. (Foto: MARCELLO PATERNOSTRO / AFP)
Di ranah sepak bola Italia, Lippi adalah sosok yang dihormati. Ia dianggap sebagai salah satu pencetus modernisasi sepak bola Italia. Kebiasaannya mengisap rokok memang sering jadi cerita miring. Apalagi, sejak tahun 2005 pemerintah Italia memberlakukan larangan merokok di sejumlah tempat umum. Namun, dengan cerutu yang terselip itulah ia mempelajari taktik Louis van Gaal lewat rekaman video. Dengan cerutu yang serupa pula ia mempersembahkan trofi Piala Dunia, satu gelar Coppa Italia, satu gelar Liga Champions, dan lima scudetto.
ADVERTISEMENT
Ada satu analisis menarik tentang kebiasaan merokok para pelatih yang ditulis oleh Will Magee. Di tulisan ini, ia menjabarkan bahwa mayoritas, para pelatih tadi memang merokok untuk mendapatkan efek rileks saat timnya melakoni pertandingan. Namun, beberapa orang pelatih memiliki tujuan lain. Arsene Wenger misalnya. Sebelum dikenal sebagai pelatih Arsenal, ia tercatat sebagai pelatih AS Monaco. Di Prancis sana, ia pun dikenal sebagai salah satu pelatih yang tak segan merokok di pinggir lapangan.
Wenger menghabiskan waktu remajanya di Alsace, Prancis. Bedanya dengan Amsterdam dan kasus Cruyff, merokok tidak dianggap sebagai bentuk pembangkangan di Alsace. Di kota ini, anak muda yang merokok adalah hal wajar. Menurut Magee, jika Cruyff muda merokok demi menolak norma dan budaya, maka Wenger muda merokok supaya bisa masuk dan selaras dengan budaya yang ada.
ADVERTISEMENT
Banyak orang yang mengkritisi Wenger sewaktu ia mengganjar Wojciech Szczesny dengan denda sebesar 20.000 poundsterling karena kedapatan merokok di ruang ganti. Denda yang juga diumumkan di konferensi pers ini membuat kebanyakan orang berpikir bahwa Wenger memiliki standar ganda: Ia perokok tapi melarang orang lain merokok.
“Saya tumbuh besar di pub. Di tempat itu, kalian tidak akan bisa menemukan di mana kaca jendela karena asap rokok begitu pekat. Masa muda saya juga saya habiskan dengan menjual rokok.”
“Setiap bulannya, saya juga dibayar dengan rokok. Inilah yang membuat saya dan teman-teman saya dulu merokok. Saya baru benar-benar menjadi perokok aktif sewaktu sudah menjadi pelatih di AS Monaco. Sebelumnya (sebelum melatih di Inggris -red) tidak pernah terpikirkan oleh saya bahwa merokok di pinggir lapangan itu sebagai hal buruk. Karena sewaktu muda dulu saya juga sering melihat (Marcello) Lippi merokok dari bench,” jelas Wenger.
ADVERTISEMENT
Kebiasaan para pelatih mengisap rokok dari pinggir lapangan memang menimbulkan berbagai perdebatan. Kebanyakan dari mereka mempersoalkan etika sebagai pelatih. Seharusnya, para pemimpin tim inilah yang pertama kali memberikan contoh kepada para pemainnya bagaimana caranya menjaga kebugaran tubuh mereka.
Namun, tak ada perokok yang tak mendapatkan ‘manfaat’ dari merokok. Mulai dari perasaan tenang, stimulus kreativitas, hingga melawan kantuk. Kata mereka yang bukan perokok, efek ini hanya sugesti. Namun, bagi para perokok, sugesti pun cukup. Karena memang sugesti itulah yang dicari, termasuk oleh para pelatih yang merupakan pemikir dari pinggir lapangan ini.