Piala Dunia Para Pemberontak

30 Mei 2018 15:57 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Darfur United berlatih sebelum pertandingan. (Foto: Jonathan Nackstrand/AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Darfur United berlatih sebelum pertandingan. (Foto: Jonathan Nackstrand/AFP)
ADVERTISEMENT
Matabeleland boleh porak-poranda, tapi Matabeleland akan tetap ada.
Beberapa puluh tahun lalu, terjadi sebuah malapetaka di Matabeleland. Pelantikan Robert Mugabe sebagai presiden Zimbabwe di 1980 ditolak mentah-mentah oleh masyarakat Matabeleland beserta 13 etnis yang ada di bawahnya.
ADVERTISEMENT
Mugabe lantas tak terima. Ia perintahkan barisan tentara elitenya yang bernama Zimbabwe National Army (ZNA) untuk menyerang Matabeleland. Mugabe dan ZNA hanya butuh dua tahun, ribuan orang meninggal.
Perang saudara berdampak besar terhadap ekonomi Matabeleland. Kekacauan pun terjadi di mana-mana. Di akhir 1984, terjadi kerusuhan besar Matabeleland akibat permintaan di sektor pangan jauh lebih besar ketimbang ketersediaan.
Di tengah luka akibat perang saudara, Matabeleland mencoba bertahan dan membuktikan bahwa mereka tetap ada. Malah, di tengah cerita menyedihkan tersebut, mereka dikenal di dunia sepak bola lewat Tim Nasional Matabeleland.
***
Piala Dunia bukan satu-satunya turnamen antarbangsa yang digelar di pertengahan 2018. Selain Piala Dunia, masih ada satu kompetisi lain yang juga mengadu kesebelasan nasional di seluruh dunia: CONIFA World Football Cup di Inggris.
ADVERTISEMENT
Asosiasi Federasi Sepak Bola Independen (CONIFA) didirikan pada 2013. Mereka didirikan dengan tujuan mengakomodir kesebelasan sepak bola internasional yang tak diakui keberadaannya oleh federasi sepak bola dunia, FIFA.
Sekretaris Jenderal CONIFA, Sascha Duerkop, mengaku pernyataan di atas adalah alasan utama. Namun, menurut Duerkop, masih banyak alasan lain yang membuat mereka memilih mendirikian asosiasi sendiri.
“Banyak tim yang dimarjinalkan oleh sepak bola modern. Beberapa memang memiliki dampak kecil, tapi tak sedikit yang memiliki dampak besar. Oleh karena itu, kami memberikan kebebasan untuk sebuah tim bermain sepak bola," kata Duerkop kepada These Football Times.
Hingga 2018, CONIFA tercatat telah memiliki 103 anggota. Angka ini bisa semakin membludak mengingat makin sulitnya bergabung menjadi anggota FIFA.
ADVERTISEMENT
Matabeleland menjadi satu dari 16 tim yang berpartisipasi di CONIFA World Football Cup 2018. Selain mereka, masih ada tim lain, macam Siprus Utara, wilayah yang kini diduduki oleh Turki, hingga Tibet, daerah merdeka yang diklaim oleh China.
“CONIFA World Football Cup digelar untuk memberi kesempatan bagi banyak orang bermain sepak bola sekaligus membuktikan kepada dunia bahwa ideologi mereka layak diterima,” kata Justin Walley, pelatih Matabeleland. “Alasan itulah yang membuat kami ke sini.”
***
Manajer Sapmi, Isaac Ole Hetta. (Foto: Jonathan Nackstrand/AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Manajer Sapmi, Isaac Ole Hetta. (Foto: Jonathan Nackstrand/AFP)
London tengah ramai oleh bendera kombinasi warna biru, putih, dan hijau. Di tengah bendera tersebut, terdapat siluet pohon Douglas Fir.
Tak banyak yang tahu maksud dari pohon tersebut sebelum orang-orang Cascadia menjelaskan. Cascadia adalah gerakan kemerdekaan yang mengusung persamaan biota di wilayah barat Amerika Utara.
ADVERTISEMENT
Bendera tersebut didesain oleh Alexander Baretich pada pertengahan 1990-an dan dimaksudkan oleh orang-orang Cascadia untuk menyampaikan konsep ‘kembali ke alam’ yang mulai dilupakan.
Pergerakan yang dilakukan oleh Cascadia dimulai sejak abad ke-19. Di sisi lain, federasi sepak bola mereka berdiri sejak 2012. Setahun kemudian, mereka menjadi salah satu pemrakarsa pembentukan CONIFA.
Cascadia berbeda dengan mayoritas tim yang terdaftar di CONIFA World Football Cup 2018. Jika banyak tim yang berjuang untuk menyingkirkan marginalisasi yang dilakukan pemerintah, Cascadia mengusung pemahaman soal pentingnya lingkungan di edisi kali ini.
“Misi tersebut kami usung di edisi kali ini,” kata kapten Cascadia, James Riley yang pernah bermain di MLS ini. “Namun demikian, bukan berarti kami tak mendukung kampanye atau ideologi tim lain.”
ADVERTISEMENT
***
Penonton CONIFA World Football Cup. (Foto: Jonathan Nackstrand/AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Penonton CONIFA World Football Cup. (Foto: Jonathan Nackstrand/AFP)
Justin Walley paham asam garam sepak bola. Ia menghabiskan masa kecilnya dengan duduk di tribun sebagai penonton, melakoni masa mudanya dengan berbicara penuh kesok-tahuan bak komentator, hingga terdiam di pinggir lapangan sebagai mentor.
Profesi terakhir yang disebutkan adalah pekerjaannya saat ini. Pekerjaan tersebut membuatnya meninggalkan tanah kelahirannya, Inggris, untuk berada di daerah seberang hutan Zimbabwe bernama Matabeleland.
“Saya tak pernah percaya bahwa saya adalah pelatih mereka,” kata Walley bercerita.
“Di sini, saya mulai memahami bahwa sepak bola bukan asal olahraga. Di sini, sepak bola bisa berarti suatu cara untuk menunjukkan gairah kita terhadap suatu hal yang disenangi. Di sisi lain, sepak bola adalah cara untuk menunjukkan bahwa Matabeleland masih ada.”
ADVERTISEMENT
“Bagi saya, sepak bola zaman sekarang mengalami pergeseran makna. Mereka tampak seperti pertandingan antara kaya melawan miskin. Langkah yang dimaksudkan oleh CONIFA sekarang baik untuk mengembalikan makna yang sebenarnya dari sepak bola.”
“Ideologi dasar sepak bola sudah terpinggirkan. Kemewahan tersebut hanya dimiliki oleh pemain berstatus bintang dan tidak dimiliki pemain saya. Meski demikian, saya berani menjamin bahwa gairah sepak bola kami lebih besar ketimbang mereka,” pungkas Walley.