Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
ADVERTISEMENT
Ada empat bintang dalam lencana Tim Nasional (Timnas) Italia dan dua di antaranya dipersembahkan oleh Vittorio Pozzo. Sampai saat ini, belum ada lagi pelatih yang sukses menjuarai Piala Dunia dalam dua edisi beruntun.
ADVERTISEMENT
Pozzo lahir pada 1886 oleh keluarga kelas menengah di Turin. Kenyataan tersebut membuatnya dituntut untuk menyelesaikan pendidikan di beberapa negara, seperti Swiss dan Inggris. Selain belajar, waktu luangnya diisi dengan bermain di sepak bola.
Pozzo punya kecintaan yang besar terhadap sepak bola. Di Inggris, ia mempelajari bagaimana sepak bola bisa begitu bertenaga . Di Swiss, ia mencari uang tambahan dengan menjadi pesepak bola amatir Grasshoppers FC.
Pengalaman Pozzo di belahan dunia lain membuatnya disuruh pulang. Pada 1912, ia dipanggil oleh federasi sepak bola Italia, FIGC, untuk menangani Italia di Olimpiade Stockholm. Tawaran tersebut tak ditampik olehnya. Ia pulang dan menangani tim untuk pertama kalinya.
Olimpiade Stockholm tak berjalan mulus bagi Italia. Mereka gugur di putaran pertama usai kalah dari Finlandia. Pozzo kecewa dan lantas menawarkan diri untuk hanya menjadi komite teknis, yang bertujuan membuat cetak biru sepak bola Italia.
ADVERTISEMENT
Pekerjaan tersebut membuat Pozzo bisa sepenuhnya menggeluti bidang yang ia cintai: taktik. Pada 1920, ia mengembangkan sebuah taktik yang dikenal dengan nama Metodo. Taktik ini bermuara pada penggunaan pola 2-3-2-3.
Pola ini sendiri didasari oleh pengalaman Pozzo ketika berada di Inggris. Saat itu, pola 2-3-2-3—yang dikenal dengan nama pyramid of Cambridge—yang dikembangkan oleh Blackburn Rovers tengah menarik perhatian banyak orang, termasuk Pozzo sendiri.
Kerja keras Pozzo membuat Italia melantiknya sebagai pelatih tim nasional pada Desember 1929. Setahun dilantik, ia memberikan Italia gelar juara Central European International Cup, dengan mengalahkan Hungaria 5-0 di partai puncak.
Taktik hanya menjadi satu dari sekian keunggulan Pozzo. Di balik keberhasilan Italia menjuarai turnamen tersebut, ia memperlihatkan kemampuannya mengatur dan membentuk sebuah tim yang kemudian ditakuti seluruh dunia.
ADVERTISEMENT
Pozzo dikenal sebagai pelatih yang mengharapkan seluruh pemainnya untuk selalu disiplin. Ia juga diketahui sebagai sosok yang tak pandang bulu, baik kepada pemain yang dianggap sebagai idola maupun masuk ke kelas medioker.
Hal tersebut diterapkan oleh Pozzo ketika pemain bergabung pada pemusatan latihan tim nasional. Dalam setiap sesi latihan, ia tak jarang memperlihatkan kemarahan dan bahkan begitu segan untuk mengusir pemain yang tak menuruti keinginannya.
Dalam sebuah wawancara dengan La Stampa, Pozzo menjelaskan bahwa hal ini dilakukan hanya karena kejayaan.
“Memenangi pertandingan (di level tim nasional) adalah salah satu cara untuk mengukur kejayaan suatu bangsa. Untuk bermain di tim nasional, Anda harus memberikan segalanya, entah itu sampai harus bertarung dan mati di medan perang.”
ADVERTISEMENT
Pozzo juga diketahui kerap meminta anak asuhnya menerapkan Roman salute sebelum laga. Apa yang dilakukan oleh Pozzo didukung oleh rezim fasis yang dipimpin oleh Benito Mussolini, yang saat itu memang tengah berkuasa di Italia.
Meski demikian, Pozzo pernah mengaku bahwa ia tak terikat politik atau mendukung paham fasisme yang ditanamkan oleh Mussolini. Baginya, ini hanya soal kebutuhan yang perlu dilakukan untuk mendukung kejayaan tim nasional.
Kesempatan Pozzo membuktikan tangan dinginnya terjadi pada Piala Dunia 1934 yang digelar di Italia. Meski berlabel Piala Dunia, ajang ini dibumbui dan menjadi sarana promosi paham fasisme yang memang tengah gencar-gencarnya.
Turnamen ini sendiri dipenuhi banyak intrik. Status tuan rumah yang dimiliki oleh Italia membuat beberapa keputusan yang dibuat oleh wasit begitu sering menguntungkan. Salah satunya adalah kenyataan bahwa lawan Italia di partai puncak adalah Cekoslowakia.
ADVERTISEMENT
Dalam pertandingan puncak, Italia tak kesulitan mengalahkan Cekoslowakia. Pertandingan ini ditutup dengan skor 2-1 untuk kemenangan italia. Bagi Italia, ini adalah jalan untuk meraih kejayaan. Bagi Pozzo, ini adalah jalan menuju keabadian.
Lewat metode yang sama, Pozzo mengulangi keberhasilan dengan meraih emas sepak bola pada Olimpiade 1936 yang digelar di Berlin. Dua tahun berselang, ia memberikan Italia gelar Piala Dunia keduanya usai memenangi Piala Dunia 1938 di Prancis.
Keberhasilan membawa Italia memenangi dua Piala Dunia secara beruntun membuat nama Pozzo begitu harum. Berbagai macam penemuan membuatnya layak untuk disebut sebagai pionir taktik sepak bola.
Harumnya nama Pozzo perlahan memudar oleh kekalahan Italia pada Perang Dunia Kedua. Menurunnya psikis pemain hingga luluh lantaknya banyak sarana sepak bola di sana, membuat harapan Pozzo terhadap sepak bola perlahan berkurang.
ADVERTISEMENT
Karier Pozzo sebagai pelatih berakhir seiring kekalahan dari Denmark 3-5 di Olimpiade 1948. 22 tahun berbakti sebagai pelatih, ia memimpin Italia dalam 97 pertandingan dan mencatat 64 kemenangan.
Berakhirnya karier kepelatihan Pozzo tak membuatnya layak untuk dilupakan. Sudah selayaknya ia dihormati karena membangun pondasi dan memberikan pengaruh akan pentingnya taktik dan kepemimpinan pelatih dalam sepak bola di masa depan.