Pozzo dan Bearzot: Melawan Kontroversi dengan Inovasi

15 Juni 2017 16:19 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Bearzot bersama Sandro Pertini dan dua pemainnya. (Foto: Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Bearzot bersama Sandro Pertini dan dua pemainnya. (Foto: Wikimedia Commons)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kontroversi dan inovasi. Dua hal itu, jika kita berbicara tentang sepak bola Italia, adalah dua hal yang mustahil untuk dilepaskan. Tiga dari empat trofi Piala Dunia yang tersimpan di almari milik Gli Azzurri diraih lewat kombinasi dari dua hal tersebut.
ADVERTISEMENT
Bukan rahasia lagi jika Italia merupakan gudangnya pelatih sepak bola berkualitas. Rahasianya, mereka memang terobsesi pada taktik. Sebagai bentuk halus dari furbizia, taktik bagi orang Italia adalah cara untuk mengakali keadaan dan meraup keuntungan optimal.
Jika keberhasilan Marcello Lippi pada Piala Dunia 2006 lebih disebabkan oleh kemampuannya untuk melakukan adaptasi dan menanamkan mental juara, lain halnya dengan keberhasilan Vittorio Pozzo serta Enzo Bearzot di edisi 1934, 1938, dan 1982. Lippi memang berhasil mengenyahkan kontroversi Calciopoli yang menggelayuti skuat Italia pada 2006, tetapi -- dengan segala hormat -- dia tidak melakukan inovasi seperti halnya Pozzo dan Bearzot.
Pada 1934 dan 1938, Vittorio Pozzo harus menghadapi tekanan super hebat dari rezim fasis Mussolini. Pada 1982, Bearzot dihadapkan pada hausnya publik Italia akan gelar juara serta skandal Totonero. Kedua pelatih itu tak hanya mampu lepas dari tekanan tersebut tetapi lebih dari itu, mereka mampu menunjukkan bukti keberhasilan inovasi yang mereka lakukan.
ADVERTISEMENT
Pozzo dan Metodo-nya
Dua Piala Dunia. Sampai saat ini, belum ada sosok pelatih lain yang mampu menyamai resume milik Vittorio Pozzo tersebut.
Orang boleh saja berargumen bahwa prestasi Pozzo itu kontroversial dan tidak selayaknya dihitung karena hal itu dicapai saat sepak bola masih begitu prematur. Akan tetapi, mau seperti apa pun balutannya, kilau dari trofi Jules Rimet yang keemasan itu terlalu menyilaukan untuk diabaikan begitu saja.
Vittorio Pozzo lahir pada 2 Maret 1886 di Turin. Meski sempat bermain sepak bola secara profesional untuk Grasshoppers dan Torino, Pozzo awalnya bukan orang sepak bola. Ilmu yang dia dapat dari Liceo Cavour, sebuah sekolah tinggi di Turin, dan pengalamannya keliling Eropa dia pergunakan untuk mencari nafkah sebagai manajer di perusahaan produsen ban Pirelli. Sebelumnya, dia juga sempat terlibat dalam Perang Dunia I bersama pasukan Alpini yang bertempur di pegunungan.
ADVERTISEMENT
Kesuksesan Pozzo di Timnas Italia ini secara resmi baru dimulai pada 1929. Namun, sosok tinggi besar ini sudah terlibat di sana sejak tahun 1912. Ketika itu, dia menawarkan diri secara sukarela untuk melatih tim Italia di Olimpiade Stockholm. Pada turnamen debut itu, Italia langsung tersingkir setelah kalah 2-3 dari Finlandia.
Pozzo (paling kiri) pada Piala Dunia 1934. (Foto: Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Pozzo (paling kiri) pada Piala Dunia 1934. (Foto: Wikimedia Commons)
Kemudian, setelah selama 12 tahun hanya terlibat di dalam Komite Teknik bentukan FIGC, Pozzo ditunjuk kembali untuk menangani Timnas Italia di Olimpiade 1924 di Paris. Setelah disingkirkan Swiss di perempat final, Pozzo mengundurkan diri dan kembali bekerja untuk Pirelli. Di saat yang bersamaan, dia juga menjadi jurnalis untuk harian olahraga La Stampa.
Proses panjang Pozzo menuju ke Tim Nasional itu akhirnya berakhir pada 1929. Di sini, Pozzo sudah benar-benar matang. Selain menjadi juru taktik handal, dia juga merupakan sosok yang disegani oleh banyak orang. Pada era ketiganya ini, Pozzo menanamkan identitas sepak bola Italia yang kemudian dikenal banyak orang: pragmatis dan presisi.
ADVERTISEMENT
Warisan taktikal terbesar Pozzo tentu saja merupakan sistem Metodo-nya. Sebenarnya, kalau dipikir-pikir, apa yang dilakukannya itu tidaklah rumit. Dia hanya meng-Italia-kan formasi populer 2-3-5 dengan membuatnya menjadi lebih kompak dan seimbang.
Caranya, dia menarik kanan dalam dan kiri dalam yang sebelumnya menjadi bagian dari lima penyerang lebih ke dalam. Dari situ, jadilah formasi 2-3-2-3 atau W-W di mana dua penyerang sayap dalam yang dia tarik itu di kemudian hari menjadi gelandang serang.
Italia sendiri memilih tidak ikut pada gelaran Piala Dunia pertama di Uruguay tahun 1930 karena berbagai alasan, mulai dari keamanan sampai ketidaksiapan tuan rumah. Sebagai gantinya, mereka kemudian mengajukan diri menjadi tuan rumah Piala Dunia 1934.
Jules Rimet, presiden FIFA pertama, pada suatu kesempatan pernah mengatakan bahwa Benito Mussolini memang sangat ngebet ingin mengadakan gelaran tersebut. Sehingga, secara otomatis kesiapan Italia pun menjadi lebih dari negara-negara lain dan FIFA pun tanpa pikir panjang menghadiahkan status tuan rumah kepada mereka.
ADVERTISEMENT
Namun justru di sinilah tantangan terbesar bagi Pozzo dan para pemainnya. Negara sudah "repot-repot" menyiapkan gelaran ini. Kalau sampai tidak juara, mereka tahu apa akibatnya.
Pozzo pun tak punya pilihan lain. Entah bagaimana caranya, skuat yang diikutsertakan dalam Piala Dunia kedua itu harus berisikan pemain-pemain terbaik yang benar-benar bisa diandalkan. Itulah mengapa Pozzo kemudian menyingkirkan dua pemain bintang, Adolfo Baloncieri dan Virginio Rosetta sejak jauh-jauh hari. Selain itu, Umberto Caligaris yang sebelumnya merupakan kapten tim pun harus rela ban kaptennya berpindah ke lengan Gianpiero Combi.
Pada gelaran 1934 itu, banyak yang menyebut bahwa Italia tidak pantas menjadi juara, terutama setelah mereka banyak dibantu wasit pada pertandingan melawan Spanyol. Penampilan mereka pun secara umum hanya ada di kisaran rata-rata. Apalagi, pada partai puncak mereka juga harus tertinggal lebih dulu sebelum diselamatkan Raimundo Orsi dan Angelo Schiavio.
ADVERTISEMENT
Baru pada 1938 kemampuan Pozzo dan Timnas Italia benar-benar teruji. Bermaterikan pemain-pemain yang lebih muda dan segar, Pozzo benar-benar mampu mengaplikasikan Metodo-nya dengan apik. Dipimpin kapten Giuseppe Meazza sebagai pengatur serangan, sepak bola serangan balik khas Italia itu baru benar-benar kentara.
Pozzo diarak oleh anak-anak asuhnya. (Foto: Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Pozzo diarak oleh anak-anak asuhnya. (Foto: Wikimedia Commons)
Di belakang, Italia punya pemain-pemain yang memang kuat secara fisik. Di lini tengah dan depan, mereka yang diturunkan Pozzo tak perlu diragukan lagi kualitas teknikalnya. Selain Meazza, Italia juga punya Silvio Piola, sosok yang sampai saat ini masih nangkring di jajaran pencetak gol terbanyak sepanjang masa Serie A.
Meski penampilan timnya membaik, Italia pun menghadapi tantangan non-teknis yang sama beratnya di Prancis. Jika empat tahun sebelumnya mereka dhadapkan pada tekanan dan ancaman rezim Mussolini, di Prancis mereka harus meladeni kebencian publik tuan rumah, khususnya di kota Marseille, terhadap rezim fasis Italia. Apalagi, salam fasis yang menjadi ciri khas mereka kala itu tetap dipertahankan sampai ke negeri orang.
ADVERTISEMENT
Di Prancis itu, tanpa kesulitan berarti di atas lapangan, Italia akhirnya keluar sebagai juara dunia untuk kedua kalinya. Gelar itu pun makin melengkapi dominasi mereka di dunia sepak bola setelah dua tahun sebelumnya, mereka juga sukses meraih medali emas di Olimpiade Berlin.
Pozzo sendiri melatih Italia sampai tahun 1948 sebelum meneruskan pekerjaannya sebagai jurnalis di Turin. Meski era kepelatihannya di timnas ternoda oleh fasisme yang banal, Pozzo bukan seorang fasis. Baginya, sepak bola tidak seharusnya disangkutpautkan dengan politik.
"Salam fasis itu adalah seremoni resmi yang kami miliki saat itu dan kami harus menghormatinya. Saya punya pemikiran sendiri, tetapi saya juga tahu tugas-tugas saya," tegas Vittorio Pozzo, Il Vecchio Maestro (Sang Maestro Tua).
ADVERTISEMENT
Bearzot yang Enggan Tunduk
"Situasi ketika itu benar-benar mustahil," kenang Dino Zoff suatu kali tentang Piala Dunia 1982. "Setiap konferensi pers yang kami jalani rasanya seperti pengadilan. Apa pun yang kami katakan selalu diputarbalikkan."
Zoff tentunya tahu apa yang dia bicarakan. Dia ada di sana. Dia mengalami semuanya dan seringkali harus dikorbankan karena sang pelatih, Enzo Bearzot sudah memilih untuk tidak berbicara dengan media.
Piala Dunia 1982 itu barangkali merupakan Piala Dunia tersulit yang pernah dijalani Timnas Italia. Sebabnya, situasi yang mengiringi mereka ke sana memang sama sekali tidak kondusif.
Bearzot (kanan) bersama Cesare Maldini. (Foto: Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Bearzot (kanan) bersama Cesare Maldini. (Foto: Wikimedia Commons)
Pertama, mereka sudah hampir setengah abad tak pernah menjadi juara dunia. Kedua, Enzo Bearzot dianggap sebagai sosok yang tak pantas menangani timnas karena tidak pernah melatih klub Serie A. Ketiga, keberadaan skandal Totonero yang melibatkan banyak pemain ternama seperti Enrico Albertosi (Milan), Bruno Giordano (Lazio), Giusepe Wilson (Lazio), Giuseppe Savoldi (Bologna), dan yang paling menghebohkan, Paolo Rossi (Perugia).
ADVERTISEMENT
Skandal Totonero ini sendiri merupakan skandal di mana para pemain tersebut terbukti menjual pertandingan demi mendapat uang. Hampir mirip dengan kasus Calcioscommesse pada tahun 2011 dan 2012 lalu. Dua klub besar, Milan dan Lazio, harus rela didemosi ke Serie B karena skandal ini.
Hausnya publik Italia akan gelar juara dunia diperparah oleh kredibilitas Bearzot dan keputusannya untuk tetap membawa Paolo Rossi ke Piala Dunia 1982. Apalagi, ketika itu Serie A punya Roberto Pruzzo (Roma) yang merupakan langganan capocannoniere. Dengan diikutsertakannya Rossi, maka Pruzzo pun secara otomatis ditinggalkan.
Media pun kemudian mencecar tim habis-habisan di mana Rossi menjadi sasaran tembak utama. Pasalnya, pemain yang belakangan bergabung dengan Juventus ini sudah absen bermain selama dua tahun. Mereka meragukan bahwa Rossi bisa berkontribusi banyak bagi tim.
ADVERTISEMENT
Tak hanya itu, media bahkan sampai meributkan foto Rossi dengan rekan setimnya, Antonio Cabrini, yang bertelanjang dada di balkon hotel dan menuduh kedua pemain itu menjalani laku homoseksual. Hal ini belum termasuk perlakuan para jurnalis yang doyan sekali menghujani sepatu Bearzot dengan ludah mereka.
Dari awal sudah begitu, penampilan Italia di fase grup pertama pun luar biasa jelek. Menghadapi Polandia, Kamerun, dan Peru, Italia tak sekali pun menang. Tiga hasil imbang membuat Gli Azzurri harus bergantung pada keberuntungan untuk lolos ke babak berikutnya. Di situlah kemudian puncak kemarahan publik Italia terjadi. Bahkan, presiden Lega Calcio kala itu, Antonio Mataresse, secara terang-terangan berkata, "Tim ini adalah aib bagi Italia. Rasanya aku ingin pergi ke ruang ganti dan menendangi bokong para pemain itu."
ADVERTISEMENT
Di sinilah kejeniusan Bearzot berbicara. Inilah momen di mana Silenzio Stampa (boikot total terhadap media) yang kemudian menjadi salah satu ciri khas Liga Italia itu lahir.
Sebelum memasuki fase grup kedua yang mempertemukan Italia dengan Brasil dan Argentina, Bearzot dan para pemain memutuskan untuk tidak mengatakan sepatah kata pun kepada media. Di saat yang bersamaan, dia membentuk semacam siege mentality yang diberi nama "la forza del gruppo" atau "kekuatan kelompok". Dengan begitu, Italia pun mampu tampil lebih tenang hingga akhirnya melenggang menjadi juara dunia untuk kali ketiga.
Timnas Italia 1982. (Foto: Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Timnas Italia 1982. (Foto: Wikimedia Commons)
Selain menemukan Silenzio Stampa, Bearzot pada Piala Dunia 1982 itu juga menyempurnakan Zona Mista yang lahir beberapa tahun sebelumnya. Bagi Bearzot, tim sepak bola yang ideal harus memiliki dua pemain sayap, satu penyerang tengah, dan satu playmaker. Hasilnya, permainan Italia pun tak lagi super defensif seperti sebelum-sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Ketika masih bermain, Enzo Bearzot merupakan seorang mediano atau dalam istilah sekarang, semacam gelandang box-to-box. Kariernya pun tidak terlalu buruk, terbukti dengan satu cap timnas yang mampu diraihnya. Dari situlah, dia paham betul mengenai keseimbangan antara menyerang dan bertahan.
Pada Piala Dunia 1982, Italia punya banyak pemain berkelas di belakang, mulai dari kiper Dino Zoff, libero Gaetano Scirea, stopper Claudio Gentile, sampai Antonio Cabrini di bek kiri. Hal itu, menurut Bearzot, memang cukup untuk menjadi fondasi tim. Akan tetapi, untuk bisa menjadi juara, sebuah tim perlu mencetak gol dan itulah mengapa, dia memberi kebebasan pada pemain-pemain macam Giancarlo Antognoni, Bruno Conti, dan Paolo Rossi untuk berlaku sesuka hati.
Karier kepelatihan Bearzot sendiri praktis berakhir pada tahun 1986 menyusul kekalahan dari Prancis jelang Piala Dunia 1986. Setelah itu, dia memilih menyepi dan bahkan sempat mengungkapkan bahwa dia membenci sepak bola. Selain karena media, seperti yang pernah dia alami, Bearzot juga menyebut makin mahalnya harga pemain sebagai penyebab rusaknya sepak bola. Hingga tutup usia pada 21 Desember 2010 (tepat 42 tahun setelah Vittorio Pozzo wafat), satu-satunya keterlibatan Bearzot dalam sepak bola adalah ketika menjadi presiden Settore Tecnico FIGC pada 2002-2005.
ADVERTISEMENT