Romansa Mematikan Krzysztof Piatek

17 Oktober 2018 14:11 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Krzysztof Piatek dalam sebuah pertandingan untuk Genoa. (Foto: Getty Images/Paolo Bruno)
zoom-in-whitePerbesar
Krzysztof Piatek dalam sebuah pertandingan untuk Genoa. (Foto: Getty Images/Paolo Bruno)
ADVERTISEMENT
Catherine Deneuve masih muda sekali ketika dia menerima tawaran Luis Bunuel untuk menjadi bintang di film drama yang di kemudian hari akan begitu melegenda. 'Belle de Jour' judul film tersebut. Dirilis pada 1967, film berbahasa Prancis itu mampu mencuri perhatian khalayak karena jalan ceritanya yang tak biasa.
ADVERTISEMENT
Di film tersebut, Deneuve berperan sebagai Severine Serizy, seorang perempuan muda yang kehidupannya terlihat begitu menyenangkan dari luar. Parasnya ayu, suaminya tampan, dan mereka tidak tampak berkekurangan dari segi materi. Akan tetapi, semua itu tidak mencerminkan adanya pergolakan dalam diri Severine yang merasa tidak terpuaskan secara seksual.
Dari kegundahannya itu, Severine kemudian mengambil sebuah langkah drastis: Dia memutuskan untuk menjadi pelacur di sebuah rumah bordil kelas atas di Paris. Awalnya, Severine hanya coba-coba, tetapi keesokan harinya dia kembali lagi ke rumah bordil itu sampai akhirnya menjadi pekerja tetap. Setiap hari, mulai pukul dua siang sampai pukul lima sore, Severine bekerja di rumah bordil itu sebelum kembali ke pelukan sang suami, Pierre, pada malam hari.
ADVERTISEMENT
Sebagai seorang pekerja seks, Severine memang punya jam kerja yang tidak biasa. Itulah mengapa, sang madam yang mengontrol rumah bordil tadi kemudian memberikan julukan Belle de Jour, kebalikan dari Belle de Nuit, kepada Severine. Menurut sang madam, Severine adalah keindahan yang hanya bisa dinikmati pada siang hari.
Lima belas tahun sejak Deneuve mematenkan namanya dalam sejarah perfilman dunia, seorang pemuda Polandia datang ke Turin. Tak seperti Severine, pemuda ini tak punya misi terselubung apa-apa. Dia hanya ingin bermain sepak bola sebaik-baiknya di negara yang ketika itu baru saja menjuarai Piala Dunia. Nama pemuda itu Zbigniew Boniek. Oleh para karib, dia biasa dipanggil Zibi.
Zibi dan Severine punya sejuta perbedaan. Akan tetapi, yang membuat mereka tak bisa dilepaskan adalah keindahan yang mereka pancarkan. Jika Severine mengumbar keindahan itu di ranjang rumah bordilnya, Zibi memamerkan keindahan itu di atas lapangan hijau. Dengan tarian-tariannya yang lincah lagi mematikan, Zibi membawa kejayaan untuk Juventus.
ADVERTISEMENT
Tiap pekannya, Zibi senantiasa memamerkan keindahan yang dia miliki untuk para tifosi yang memadati Stadio Comunale di Torino. Namun, ada waktu-waktu khusus di mana penampilan pria berambut keriting itu terlihat berkali-kali lipat lebih indah. Yakni, pada malam hari, terutama ketika Juventus sedang kedatangan tamu-tamu terhormat dari negara-negara Eropa lain.
Itulah mengapa, oleh Gianni Agnelli, Zibi diberi julukan Bello di Notte -- Belle de Nuit dalam bahasa Italia. Bagi sang patron, Zibi adalah keindahan yang benar-benar baru bisa dinikmati pada malam hari, di bawah guyuran sinar lampu stadion, di tengah gemuruh para suporter yang tak berhenti mengelu-elukan namanya.
Zibi tahu persis apa itu keindahan dan maka dari itu, ketika dia bicara soal keindahan itu sendiri, ucapannya layak untuk disimak. Sabtu pekan lalu, kepada para wartawan, Zibi yang kini menjabat sebagai Presiden Federasi Sepak Bola Polandia itu mendiskripsikan seorang pemain yang menurutnya mampu memberikan sensasi seperti sedang jatuh cinta pada seorang gadis cantik.
ADVERTISEMENT
Sosok yang dibicarakan Zibi itu adalah penyerang Genoa, Krzysztof Piatek.
***
Ada yang terkejut dan ada yang tidak. Bagi mereka yang memang belum pernah mendengar nama Piatek sebelumnya, capaian pemuda 23 tahun itu memang demikian mengejutkan. Delapan pertandingan sudah dilalui Piatek bersama Genoa musim ini di ajang Serie A dan Coppa Italia. Dari sana, 13 gol berhasil dia lesakkan.
Striker Genoa, Kryszstof Piatek. (Foto: Getty Images/Paolo Rattini)
zoom-in-whitePerbesar
Striker Genoa, Kryszstof Piatek. (Foto: Getty Images/Paolo Rattini)
Sebelum mencetak sembilan gol di Serie A, Piatek sudah mengumumkan kehadirannya terlebih dahulu di ajang Coppa Italia menghadapi Lecce. Untuk mencetak gol pertama, Piatek hanya butuh waktu 70 detik. Setelah itu, tiga gol tambahan berhasil dia ceploskan ke gawang tim Serie B tersebut. Untuk mencetak empat gol itu, Piatek cuma butuh 37 menit.
ADVERTISEMENT
Laga melawan Lecce itu tentu tidak bisa dijadikan ukuran saklek. Pertama, karena lawan yang dihadapi hanyalah klub gurem seperti Lecce. Kedua, karena ajang Coppa Italia intensitasnya tidak bisa disamakan dengan Serie A. Ketiga, karena bisa jadi empat gol yang dicetak Piatek itu cuma kebetulan.
Namun, biar bagaimana pun empat gol itu tetap mencuri perhatian. Belum ada, sejak Lucas Boye tahun 1950, pemain Genoa yang mampu mencetak empat gol di Coppa Italia.
Maka, perhatian wartawan pun mau tak mau tetap tertuju kepadanya. Para wartawan itu hanya ingin tahu, siapa Piatek sebenarnya. Secara sederhana, kala itu dia menjawab bahwa dia adalah pengidola Robert Lewandowski, tetapi dari gaya main dia lebih mirip dengan Harry Kane.
ADVERTISEMENT
Usai pertandingan giornata pertama menghadapi Empoli, mantan pelatih Genoa yang baru saja dipecat, Davide Ballardini, baru benar-benar mau berbicara soal Piatek. Namun, saat itu Ballardini belum mau berbicara banyak. Bahkan, dirinya mengaku takut membicarakan sang penyerang.
"Karena itu hanya akan menambah beban bagi dirinya. Dia tampak seperti pemain yang komplet dan aku yakin dia bisa jadi pemain penting. Tetapi, di sini aku cuma mau berbisik alih-alih berteriak dari atas gedung," kata Ballardini.
Pada pertandingan menghadapi Empoli itu, Piatek membawa Genoa menang 2-1 lewat golnya di menit keenam. Dalam sejarah Serie A, tak banyak debutan yang bisa langsung memunculkan impak secepat itu. George Weah, misalnya, butuh tujuh menit. Lalu, Diego Maradona bahkan butuh 152 menit. Dengan catatannya yang apik itu, Piatek masih tetap merendah.
ADVERTISEMENT
"Bahkan Zibi butuh waktu 250 menit, tetapi aku juga pernah membaca bahwa ada pemain yang bisa melakukannya di bawah satu menit (Luis Vinicio untuk Napoli pada 1955)," kata Piatek kepada Il Secolo XIX.
Piatek belum mau sesumbar, Ballardini masih merasa takut, dan itu wajar. Sebab, dengan hanya dua pertandingan kompetitif di tangan bersama Genoa, menyebut Piatek sebagai calon bintang adalah perjudian besar. Akan tetapi, setelah itu Piatek seperti tak tahu di mana pedal remnya. Terus dan terus, lagi dan lagi, dia membuktikan ketajaman di depan gawang lawan.
Setelahnya, rekor Andriy Shevchenko dia samai -- lima gol dari empat laga -- sebelum mematahkan rekor Zico di Udinese yang mampu mencetak enam gol dari tujuh pertandingan. Sampai akhirnya, kini dengan sembilan gol dari tujuh pertandingan, rekor terdekat yang bisa dipecahkan Piatek adalah rekor mencetak gol dalam sebelas pertandingan beruntun yang dicatatkan Gabriel Omar Batistuta untuk Fiorentina pada 1994/95.
ADVERTISEMENT
Apa yang dicatatkan Piatek bersama Genoa ini akhirnya membawa dirinya ke Timnas Polandia. Sejauh ini, dia sudah turun dalam dua pertandingan dan mencetak satu gol, yakni ke gawang Portugal pada ajang UEFA Nations League. Tak cuma itu, nama Piatek pun kini dikait-kaitkan dengan klub-klub raksasa Eropa mulai dari Chelsea, Roma, Barcelona, sampai Juventus.
Catatan Piatek di awal Serie A 2018/19 ini memang mencengangkan banyak pihak, tetapi tidak dengan pelatihnya di KS Cracovia, Michal Probierz. Menurutnya, Piatek memang 'memiliki gol di dalam darahnya serta penempatan posisi yang fantastis'. Pria 46 tahun ini juga mengaku terkejut kenapa tim-tim besar Eropa sampai bisa melewatkannya begitu saja.
Krzysztof Piatek merayakan gol untuk Timnas Polandia. (Foto: Reuters/Radoslaw Jozwiak)
zoom-in-whitePerbesar
Krzysztof Piatek merayakan gol untuk Timnas Polandia. (Foto: Reuters/Radoslaw Jozwiak)
"Tanpa mengurangi rasa hormat kepada Genoa, tim-tim elite Eropa pasti sekarang menyesal karena tidak lebih cepat mendapatkan Piatek," kata Probierz kepada Tuttomercatoweb.
ADVERTISEMENT
Probierz benar. Pasalnya, untuk mendapatkan Piatek, Genoa tidak perlu mengeluarkan dana besar; cukup 4,5 juta euro. Menurut data dari Transfermarkt, harga tersebut sudah berlipat ganda menjadi 31,5 juta euro. Tentunya, jika nanti terjadi perang penawaran antara klub-klub raksasa Eropa tadi, nilai jual Piatek bisa semakin membengkak.
Bagi Genoa, Piatek punya tiga arti. Pertama, sebagai langkah putus asa untuk meningkatkan produktivitas. Musim lalu, mereka cuma mampu mencetak 33 gol dari 38 pertandingan, di mana Gianluca Lapadula yang jadi topskorer klub cuma mampu melesakkan 6 gol. Ketika presiden Genoa, Enrico Preziosi, dipertontonkan video permainan Piatek, dia langsung memberi lampu hijau untuk realisasi transfer.
Kedua, Piatek adalah pembayaran dosa atas kegagalan mereka mendapatkan jasa Lewandowski pada 2010. Ketika itu, La Republicca dan Sky Italia sudah memberitakan bahwa Lewandowski akan berlabuh ke Luigi Ferraris. Kenyataannya pun memang seperti itu karena kontrak telah disepakati dan sang striker yang saat itu bermain di Lech Poznan sudah diundang untuk menonton laga Derby della Lanterna.
ADVERTISEMENT
Namun, di detik-detik akhir, transfer tersebut dibatalkan. Usut punya usut, Preziosi meragukan kemampuan Lewandowski karena si pemain saat itu masih terlalu kerempeng. Genoa boleh saja gagal mendatangkan Lewandowski yang asli, tetapi mereka kini punya Lewandowski yang baru.
Ketiga, bagi Genoa, Piatek adalah masa depan. Ini, tentu saja, bisa dilihat dari berbagai sisi, meskipun yang paling realistis bagi klub berjuluk Grifoni itu adalah menjual Piatek dengan harga setinggi-tingginya. Jika Piatek mampu meneruskan performa menawannya, secara otomatis harganya akan terus meningkat dan keuntungan yang diraih Genoa akan semakin besar.
Piatek sendiri punya kans untuk terus meningkatkan pencapaiannya. Seperti yang dikatakan Ballardini, Piatek adalah paket komplet. Dia punya kontrol bola, daya ledak, dan determinasi bagus. Selain itu, dia mampu mencetak gol dengan kaki kanan, kaki kiri, maupun kepalanya.
ADVERTISEMENT
Tak heran jika saat ini, dengan 9 gol dari 29 tembakan, tak cuma yang paling produktif, Piatek juga menjadi penyerang paling efisien nomor dua di Serie A. Lorenzo Insigne butuh 30 tembakan untuk mencetak 6 gol, Ciro Immobile perlu 20 tembakan untuk menghasilkan 5 gol. Cristiano Ronaldo, bahkan, harus menembak 47 kali untuk bisa menceploskan 4 gol. Piatek hanya kalah dari Gregoire Defrel yang hanya butuh 11 tembakan untuk mengemas 5 gol.
***
Sabtu (20/10/2018) malam mendatang, Piatek akan menghadapi lawan berat bernama Juventus. Sejauh ini, 'Si Nyonya Tua' (kebobolan 5 gol) adalah tim dengan pertahanan terbaik kedua di Serie A setelah Sampdoria (4 gol).
Sampai sekarang, ketajaman Piatek di Serie A praktis baru dijajal oleh tim-tim yang tak memiliki rekor defensif bagus. Di antara tim-tim yang gawangnya sudah dibobol Piatek, hanya Lazio yang angka kemasukannya masih berada di bawah sepuluh, tetapi 'di bawah sepuluh' yang dimaksud adalah sembilan. Juventus, bisa jadi, adalah tim yang bakal menghentikan romansa Piatek dengan Serie sejauh ini.
ADVERTISEMENT
Meski demikian, pemain yang dibesarkan oleh klub Lechia Dzierżoniów ini sudah berhasil menunjukkan kegarangannya kala membobol gawang Portugal di Nations League. Gol yang dicetak lewat sundulan kepala itu semestinya bisa jadi modal untuk membuktikan bahwa Piatek tidak cuma gahar ketika berhadapan dengan tim-tim gurem, tetapi juga tim-tim juara.