Tentang Juru Taktik Italia yang Merantau ke Premier League

13 Juni 2017 15:19 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ranieri dipecat oleh Leicester City. (Foto: Laurence Griffiths/Getty Images)
zoom-in-whitePerbesar
Ranieri dipecat oleh Leicester City. (Foto: Laurence Griffiths/Getty Images)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Italia dan Inggris adalah kedua kutub yang berbeda. Baik itu secara kultur budaya dan juga sepak bola. Tapi perbedaan tersebut tak menutup kemungkinan bagi para pelatih Italia untuk merantau ke klub-klub Inggris.
ADVERTISEMENT
Tak semuanya sukses, memang. Apalagi karakteristik permainan Inggris yang identik dengan kick and rush tentu bebeda dengan gaya taktikal khas Italia. Namun, justru di sini menariknya. Pria-pria Italia yang datang ke Inggris justru memberikan warna tersendiri.
Menjelang akhir 1990-an, Premier League, yang era-nya dimulai sejak 1992/1993 bertambah kosmopolitan dengan hadirnya seorang “profesor” bernama Arsene Wenger plus beberapa pria Italia bernama Gianluca Vialli, Roberto Di Matteo, dan Gianfranco Zola yang kala itu menjadi bagian dari skuat Chelsea besutan Ruud Gullit.
Daftar bertambah panjang kalau mengingat waktu itu ada juga Paolo Di Canio dan Benito Carbone yang memperkuat Sheffield Wednesday serta Fabrizio Ravanelli yang sempat membela Middlesbrough. Beberapa pria Italia di atas kemudian meneruskan karier sebagai pelatih dan menjajakan jasa mereka kepada klub-klub Inggris.
ADVERTISEMENT
Berikut adalah beberapa juru taktik Italia yang mewarnai Inggris selepas era Premier League dimulai.
Gianluca Vialli
Setelah bergabung dengan Chelsea pada musim 1996/1997, Vialli kemudian menjadi pelatih pada pertengahan musim 1997/1998. Uniknya, dirinya memainkan dua peran sekaligus, yakni sebagai pemain dan juga sebagai pelatih setelah pemecatan Ruud Gullit.
Sesungguhnya ada cerita tidak enak di balik pemecatan Gullit dan naiknya Vialli sebagai player-manager. Ketika Vialli masih menjadi pemain, ia sempat cekcok dengan Gullit yang jarang memainkannya. Usut punya usut, Vialli ikut andil dalam pemecetan Gullit setelah berbicara langsung kepada petinggi klub.
Usai dipecat, Gullit mengatakan kepada media bahwa ia merasa ditikam dari belakang. Kelak di kemudian hari, ketika Vialli dipecat oleh Chelsea, Gullit menyindir dengan mengatakan, “what goes around comes around.”
ADVERTISEMENT
Namun, secara kapasitas, Vialli memang layak untuk memimpin The Blues saat itu. Pasalnya, sebagai eks-penyerang Sampdoria dan Juventus yang serba-bisa dan paham taktik, ia menyempurnakan gaya main Eropa daratan Chelsea —yang sebenarnya sudah dimulai dari era Gullit. Prestasi Vialli lumayan mentereng dengan sukses memboyong Piala FA, Piala Liga, Piala Winners, dan Piala Super Eropa.
Claudio Ranieri
Guard of Honour untuk Ranieri di ujung 2015/2016. (Foto: Eddie Keogh/Reuters)
zoom-in-whitePerbesar
Guard of Honour untuk Ranieri di ujung 2015/2016. (Foto: Eddie Keogh/Reuters)
Bisa dikatakan Ranieri adalah salah satu arsitek Italia paling sukses di Inggris. Bagaimana tidak, dia berhasil membuat kejutan saat membawa Leicester City merengkuh trofi Premier League musim lalu —meski akhirnya dipecat juga.
Kata manajer Manchester United, Jose Mourinho, Ranieri sudah menorehkan cerita paling indah sepanjang sejarah Premier League. Bagaimana tidak, sebelum dibawanya menjadi juara liga, Leicester hanyalah tim semenjana yang di musim sebelumnya harus berusah payah menghindari degradasi. Oleh Ranieri, Leicester dibawa naik satu level.
ADVERTISEMENT
Jauh sebelum itu Ranieri telah mengarungi Premier League bersama Chelsea. Tak ada prestasi spesial yang ditorehakannya bersama klub yang bermarkas di Stamford Bridge itu. Bahkan hingga kedatangan Roman Abramovich, yang menggelontorkan dana sebesar 120 juta poundsterling di musim panas 2003, Ranieri masih terbilang gagal mengangkat Chelsea.
Carlo Ancelotti
Ekspresi Carlo Ancelotti (Foto: Axel Schmidt/Reuters)
zoom-in-whitePerbesar
Ekspresi Carlo Ancelotti (Foto: Axel Schmidt/Reuters)
Lagi-lagi Chelsea yang memang gemar memberikan lapangan pekerjaan bagi juru taktik asal Italia. Setelah Vialli dan Ranieri yang gagal mempersembahkan Premier League, kali ini giliran Carlo Ancelotti. Don Carlo jelas bukan pelatih sembarangan. Dia pernah menyumbang delapan trofi untuk AC Milan.
Yang menarik dari Ancelotti adalah ia selalu bisa beradaptasi dengan tanah yang ia pijak dan situasi yang ia temui. Tak heran jika ia bisa sukses di berbagai liga. Seperti apapun kondisi skuat, ia selalu bisa memaksimalkannya dan membawanya meraih trofi.
ADVERTISEMENT
Di luar itu, Ancelotti adalah seorang pelatih yang “kebapakan”. Salah satu kunci suksesnya di berbagai klub adalah menjaga keharmonisan ruang ganti. Dampaknya pun positif, para pemain merasa nyaman dan dengan sukarela menuruti apa yang ia mau.
Ancelotti berhasil menjawab kepercayaan Chelsea di musim pertamanya. Tak hanya berhasil mandatangkan titel Premier League, pelatih yang kini menangani Bayern Muenchen itu sukses meraih Piala FA dan FA Community Shield di tahun yang sama.
Roberto Di Matteo
Kisah perjalanan karier Roberto Di Matteo sebagai pelatih Chelsea bak sebuah dongeng dengan sad ending. Pada musim 2011/2012, dirinya hanyalah asisten dari Andre Villas-Boas yang kemudian diangkat menjadi caretaker usai arsitek asal Portugal itu dipecat.
ADVERTISEMENT
Klimaks dari cerita ini adalah keberhasilan Di Matteo yang sukses menghadirkan trofi Liga Champions untuk pertama kalinya sepanjang sejarah klub. Alhasil, pelatih yang juga mantan penggawa The Blues itu dipercaya menjadi nakhoda tim semusim berselang.
Akan tetapi nasibnya berakhir naas. Pada November 2012, Di Matteo dipecat Chelsea usai menelan lima kekalahan dalam tempo waktu sebulan.
Sebagai pemain, Di Matteo juga merupakan sosok spesial untuk Chelsea. Pada 1996/1997, ia menjadi pahlawan Chelsea pada final Piala FA. Satu gol yang dicetaknya turut membantu kesebelasan asal London Barat tersebut menang 2-0 atas Middlesbrough.
Antonio Conte
Para pemain Chelsea melambungkan Conte ke udara. (Foto: Reuters/Hannah McKay)
zoom-in-whitePerbesar
Para pemain Chelsea melambungkan Conte ke udara. (Foto: Reuters/Hannah McKay)
Sebelumnya kami berjanji bahwa nama kali ini adalah yang terakhir dari Chelsea.
ADVERTISEMENT
Antonio Conte adalah representasi dari keberhasilan terkini pelatih Italia di Inggris. Legenda hidup Juventus itu didatangkan pada awal musim 2016/2017 setelah mengecap kesuksesan bersama "Si Nyonya Tua" serta pengalman membesut Tim Nasional Italia.
Conte hanya membutuhkan waktu semusim untuk menjuarai Liga Premier. Salah satu kunci keberhasilannya adalah adaptasi serta kejeliannya dalam memaksimalkan pemain yang ada.
Titik baliknya adalah ketika dirinya mengaplikasi format tiga bek pada 1 Oktober lalu. Hasilnya luar biasa, dari 39 pertandingan di semua ajang, Eden Hazard dan kawan-kawan hanya lima kali menelan kekalahan.
Roberto Mancini
Jika Anda bertanya kepada pendukung Manchester City tentang pelatih legendaris mereka, mungkin Roberto Mancini adalah orangnya. Mancini adalah pelatih yang berhasil mengakhiri penantian panjang The Citizens dalam meraih gelar Premier League edisi 2011/2012.
ADVERTISEMENT
Bayangkan saja, saat rival sekota mereka, Manchester United, telah mengoleksi 12 gelar selama era Premier League, City bahkan tak sanggup merengkuhnya satu pun. Mantan pelatih Inter Milan itu juga berhasil memboyong FA Cup dan FA Community Shield.
Akan tetapi manajemen City yang masih belum puas dengan kinerjanya memutuskan kontrak dengan Mancini pada Mei 2013 silam.
Paolo Di Canio
Cap bad boy dalam diri Paolo Di Canio memang terlalu kental. Saking kentalnya, keputusan Sunderland saat merekrutnya sebagai pelatih pun mendapat banyak tentangan.
Tentangan-tentangan itu ditandai dengan mundurnya David Miliband selaku wakil presiden klub serta Asosiasi Penambang Durham (DMA) yang mencabut spanduknya di Stadium of Light. Alasan utama mereka tak lain karena Di Canio dikenal terang-terangan mendukung fasisme.
ADVERTISEMENT
Di Canio memang sukses menghindarkan Sunderland dari jurang degradrasi di musim 2012/2013, tapi hanya itu pencapaian terbaiknya. Pada September 2013, The Black Cats mengakhiri kerja sama dengannya usai mencatatkan empat kekalahan dan sekali imbang di lima laga awal Premier League.
Francesco Guidolin
Setelah berkutat di tim-tim medioker Italia, Francesco Guidolin mengembangkan sayapnya ke Premier League untuk membesut Swansea City. Dari segi prestasi, tak ada yang spesial dari pelatih yang kini berusia 61 tahun itu. Sejak berkarier di akhir era 80-an, Guidolin hanya mampu meraih Coppa Italia bersama Vicenza di musim 1996/1997.
Guidolin didatangkan ke Liberty Stadium untuk menggantikan Alan Curtis pada musim 2015/2016. Laga perdananya berakhir mulus saat sukses mempermalukan Everton di kandang dan berhasil membawa The Swans tampil ciamik di 15 laga sisa serta finis di urutan ke-12.
ADVERTISEMENT
Namun seperti para pelatih Italia lainnya, Guidolin gagal mempertahankan tren positif di edisi selanjutnya dan dipecat sebelum pertengahan musim.
Walter Mazzarri
Kepincut melihat performa Walter Mazzari saat menangani Inter dan Napoli, Watford merekrutnya di awal musim lalu. Bersama Napoli, pelatih berusia 55 tahun itu sukses menjuarai Coppa Italia 2012/2012 dan menjadi runner-up Serie A semusim berselang.
Berbekal mantan pemain beken seperti Valon Behrami, Etienne Capoue, dan Heurelho Gomes. Pelatih kelahiran San Vincenzo itu memang berhasil membuat The Hornets bertahan di Premier League. Akan tetapi penurunan perfroma dengan enam kekalahan beruntun di penghujung musim membuat manajemen klub berpikir dua kali untuk memperpanjang masa kerjanya.
ADVERTISEMENT
Gianfranco Zola
Sebagai pemain, gaung Gianfranco Zola di Premier League amat lantang terdengar. Kendati tak sempat mempersembahkan trofi Premier League kepada Chelsea, dirinya sukses memberikan Piala Winners, Piala Liga, dan dua Piala FA. Ditambah dengan permainan magis kaki-kakinya, jadilah Zola idola Chelsea dan salah satu legenda hidup Premier League.
Namun sebagai juru taktik, beda cerita.
Pada awal masa jabatannya di West Ham pada musim 2008/2009, Zola sukses membawa The Hammers merangsek ke posisi sembilan di klasemen akhir. Situasi berbalik semusim berselang. West Ham melorot ke urutan 17, hanya satu satu strip dari zona degradasi. Situasi tersebut yang kemudian membuat pihak klub tak lagi mempercayainya duduk di kursi kepelatihan di musim berikutnya.
ADVERTISEMENT
Attilio Lombardo
Jauh sebelum nama-nama di atas, Attilio Lombardo lebih dulu menjabat sebagai pelatih klub Inggris —kedua setelah Vialli. Uniknya, tak seperti beberapa pelatih lainnya, masa kepelatihan Lombardo hanya seumur jagung.
Pada 1998, ketika ia masih berstatus pemain Crystal Palace, bos klub, Mark Goldberg, memutuskan untuk merombak susunan staf kepelatihan. Steve Coppell, yang menjabat sebagai manajer, naik pangkat menjadi Director of Football.
Kekosongan posisi yang ditinggalkan oleh Coppell kemudian ditempati oleh Lombardo yang dibantu oleh Tomas Brolin sebagai penerjemah. Jabatan Lombardo ketika itu adalah caretaker player-manager dan bertahan selama beberapa bulan —hanya sampai musim 1997/1998 berakhir.