Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Coverciano, Kawah Candradimuka Pelatih-pelatih Italia
13 Juni 2017 12:54 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:16 WIB
ADVERTISEMENT
"Tidak ada sepak bola yang sempurna. Yang ada hanyalah sepak bola yang tepat untuk saat yang tepat," - Renzo Ulivieri
ADVERTISEMENT
Bertentangan dengan apa yang selama ini dipercayai khalayak, sepak bola Italia sebenarnya tidak memiliki ciri khas. Catenaccio, Zona Mista, semua itu cuma kebetulan yang disengaja. Keduanya merupakan sepak bola yang tepat untuk saat yang tepat.
Bagi Renzo Ulivieri, 76 tahun, haram hukumnya bagi seorang calon pelatih untuk menyebut dua hal. Pertama, "sepak bola saya" dan kedua, "dulu ketika saya masih bermain". Alasannya simpel: karena satu-satunya konstanta dalam sepak bola adalah perubahan.
"Itulah makanya tidak ada buku taktik sepak bola. Ketika sebuah buku selesai ditulis dan akhirnya dirilis, buku itu bakal sudah ketinggalan zaman," kata Ulivieri kepada New York Times.
Nama Renzo Ulivieri mungkin agak asing bagi mereka yang tidak terlalu mengikuti persepakbolaan Italia. Wajar saja, karena Ulivieri bukan Marcello Lippi atau Giovanni Trapattoni, bukan pula Paolo Rossi atau Giuseppe Giannini.
ADVERTISEMENT
[Baca Juga: Conte, Chelsea, dan Jalan Menuju Kesempurnaan ]
Lahir di Pisa, 2 Februari 1941 silam, Ulivieri tak pernah menikmati karier yang cemerlang sebagai pemain. Setelah mengenyam pendidikan di akademi Fiorentina, karier profesional Ulivieri hanya berlangsung semusim di klub antah berantah, Cuoiopelli. Sebagai pelatih pun dia tak pernah mendapat kesempatan membesut klub-klub raksasa. Klub-klub terbesar yang pernah dilatihnya paling-paling hanya mentok di kisaran Torino, Sampdoria, dan Fiorentina.
Namun, nama Renzo Ulivieri punya arti penting bagi pelatih-pelatih kekinian Italia. Tak mengherankan, memang, mengingat sosok satu ini merupakan kepala Scuola Allenatori di Centro Tecnico Coverciano.
Bertempat di tepian kota Firenze, Centro Tecnico Coverciano adalah jantungnya persepakbolaan Italia. Di sini, semua hal tentang sepak bola dipelajari, dikenang, bahkan diprediksi. Di Coverciano inilah segala kejayaan sepak bola Italia dipersiapkan. Di sinilah Antonio Conte, Carlo Ancelotti, Massimiliano Allegri, dan Massimo Carrera, empat pelatih jawara dari liga sepak bola Inggris, Jerman, Italia, serta Rusia, menuntut ilmu.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, seperti yang ditulis Gianluca Vialli dalam bukunya, The Italian Job, Marcello Lippi pernah berkata bahwa di Coverciano, yang dicari bukanlah kebenaran, melainkan kemungkinan. Ilmu di Coverciano tidak mutlak seperti ilmu yang diwariskan Marcelo Bielsa dan Johan Cruyff kepada para pengikutnya. Ilmu, dari perspektif Coverciano, berarti keterbukaan pikiran. Itulah mengapa, sosok yang dipilih untuk mengampu Coverciano adalah sosok seperti Renzo Ulivieri.
Ulivieri adalah sosok yang sudah progresif sejak di alam pikir. Selain sebagai pelatih sepak bola, orang mengenal Ulivieri karena sikap politiknya yang condong ke kiri. Sebagai sosok yang anti terhadap kemapanan, dia dan Coverciano memang berjodoh.
---
Namanya Luigi Ridolfi. Lahir di Galluzzo, 7 November 1895, bangsawan satu ini merupakan sosok di balik kelahiran klub sepak bola Fiorentina. Tak hanya sepak bola, Ridolfi pun terlibat di berbagai cabang olahraga lain seperti atletik serta aktivitas-aktivitas kultural lain seperti festival musik.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, cinta sejati veteran Perang Dunia I ini memang ada pada sepak bola. Dari kecintaannya itu, lahirlah Centro Tecnico Coverciano.
Sebelum Coverciano selesai dibangun pada 1958, sepak bola adalah olahraga paling tidak berbudaya di Italia. Penyebabnya, tentu saja, tingkat pendidikan. Sebagai olahraga yang dimainkan oleh orang-orang kalangan bawah, sepak bola memang dijalankan dengan seadanya dan sebisanya. Lain halnya dengan atletik, misalnya, yang selalu berkembang karena dilakukan oleh orang-orang berpendidikan.
Untuk mencapai lapangan sepak bola di Coverciano, seseorang harus melewati gedung tempat kolam renang berada serta dua lapangan tenis terlebih dahulu. Di sekeliling lapangan sepak bola utama pun ada trek lari yang apik. Desainnya memang sengaja dibuat begini. Secara filosofis, hal ini berarti sepak bola Italia memang dilindungi oleh budaya-budaya dari hal-hal lain, dari olahraga lain.
ADVERTISEMENT
Sepak bola, oleh Ridolfi, memang sengaja diekspos ke pengaruh-pengaruh dari luar karena dengan demikian, sepak bola bakal menjadi berbudaya dengan sendirinya. Kepala Museum Sepak Bola Coverciano, Dr. Fino Fini, kepada Bleacher Report menceritakan bahwa pada akhir dekade 1960-an, ada seorang pengajar bernama Prof. Nicola Comucci yang bertugas mengamati bagaimana para atlet dari cabang olahraga lain bekerja dan mengaplikasikannya pada sepak bola.
Keterbukaan Coverciano ini kemudian memberi identitas bagi sistem pendidikan yang diterima para siswa-siswinya. Entah itu calon pelatih, calon wasit, atau calon analis video, yang terpenting adalah keterbukaan pikiran serta kemauan dan kemampuan untuk melakukan diskursus. Semua orang dituntut untuk menjadi diri mereka sendiri dan tidak mengopi mentah-mentah ide dari orang lain.
ADVERTISEMENT
[Baca Juga: Allegri dan Hegemoni ]
"Ketika orang-orang datang ke sini, seminggu sampai tiga minggu pertama, mereka pasti bakal kebingungan," kata Renzo Uivieri. "Dan itu karena memang saya sengaja buat begitu."
Bagi Ulivieri, untuk benar-benar mempelajari sesuatu, seseorang harus melepas semua pengetahuan yang sudah pernah dia terima. Spiritnya memang agak mirip perguruan kungfu atau Kuil Jedi, tetapi beginilah Coverciano. Hal ini mereka lakukan karena tujuan utama dari pendidikan di sini adalah untuk memprediksi masa depan.
Prediksi ini sendiri kembali pada spirit sepak bola Italia itu sendiri. Tidak ada ciri khas, tidak ada kesempurnaan, yang ada hanyalah ketepatan. Ketepatan itu sendiri bisa dicapai jika seorang pelatih mampu memprediksi berbagai skenario dan menyiapkan solusinya.
ADVERTISEMENT
---
Di Coverciano, seorang calon pelatih harus menulis tesis dan mempertahankannya sebagai syarat kelulusan. Antonio Conte, misalnya, memilih untuk menulis soal formasi 4-3-1-2 dan penggunaan analisis video. Sebelumnya, seorang siswa/siswi harus mengikuti kursus yang diberi nama Il Supercorso selama 900 jam daam dua tahun.
Bobot kursus ini sendiri dua kali lebih berat dibanding kursus UEFA Pro License sekalipun. Selain itu, kewajiban untuk menulis tesis inilah yang menjadi ciri khas Coverciano. Pasalnya, hampir semua kursus kepelatihan tak mewajibkan penulisan tesis sebagai syarat kelulusan. Inilah bukti keberhasilan dari mimpi Luigi Ridolfi untuk menjadikan sepak bola sebagai olahraga yang berbudaya.
Tesis yang ditulis para calon pelatih ini pun tak melulu soal taktik. Claudio Ranieri, pada 1990 lalu, mengumpulkan sebuah diari yang berisikan aktivitas pramusimnya bersama Cagliari. Kemudian, Filippo Inzaghi memilih untuk menuliskan soal motivasi. Sementara itu, Hernan Crespo menulis tentang lunturnya identitas nasional seorang pesepak bola. Macam-macam.
ADVERTISEMENT
Inilah yang membuat Coverciano dan para pelatih yang mentas darinya begitu bervariasi. Inilah yang membuat identitas sejati sepak bola Italia adalah variasi itu sendiri. Inilah yang membuat ada sosok pelatih seperti Antonio Conte dan ada pula sosok seperti Carlo Ancelotti.
[Baca Juga: Harmonis Bersama Carlo Ancelotti ]
Akan tetapi, terlepas dari variasi taktikal dan pendekatan itu, satu hal yang menjadi persamaan adalah bagaimana orang Italia memandang sosok pelatih atau "Il Mister" itu sendiri. Bagi mereka, tujuan adalah segalanya dan itulah mengapa, mereka dengan mudahnya memecat pelatih apabila tujuan tidak tercapai. Bagi Ulivieri sendiri, hal ini wajar karena mengutamakan tujuan adalah bagian dari psike nasional Italia itu sendiri.
"Ini tak ubahnya diskursus dalam keadilan sosial. Dalam politik. Di mana orang kecil bisa menang melawan mereka yang lebih besar. Lewat taktik, hal ini mungkin terjadi," lanjut Ulivieri.
ADVERTISEMENT
Ya, lagi-lagi kata yang keluar adalah diskursus. Dan Ulivieri memang tepat. Pasalnya, sepak bola memang sebuah arena untuk berdiskursus. Satu pihak melempar pertanyaan, pihak yang lain berusaha menjawab dan melontarkan pertanyaan balik. Demikian terus sesudahnya. Hal ini pun tak berakhir hanya karena peluit panjang sudah ditiupkan.
Di Coverciano, semua orang tahu itu.