Tentang Perubahan Aura Derbi Manchester yang Makin 'Biru'

13 November 2018 19:29 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sergio Aguero melakukan perayaan setelah striker Manchester City tersebut membobol gawang Manchester United. (Foto: Jason Cairnduff/Reuters)
zoom-in-whitePerbesar
Sergio Aguero melakukan perayaan setelah striker Manchester City tersebut membobol gawang Manchester United. (Foto: Jason Cairnduff/Reuters)
ADVERTISEMENT
Sejak 23 Oktober 2011, Derbi Manchester tidak sama lagi. Bertahun-tahun sebelumnya, ranah sepak bola Inggris hampir selalu tentang Manchester United. Tangan dingin, kerja keras, kekerashatian, dan kegilaan Sir Alex Ferguson menjadi salah satu penyebab.
ADVERTISEMENT
Ia membangun United di atas pondasi yang dibentuk Sir Matt Busby yang terlebih dulu memungut puing-puing reruntuhan Old Trafford mengantarkan Setan Merah sebagai setan yang sebenar-benarnya di ranah sepak bola Inggris. Keperkasaan mereka menjadi hantu yang menakutkan, keperkasaan mereka menimbulkan luka yang diperam sehebat-hebatnya oleh deretan lawan yang pernah dihajar dengan brutal.
Dominasi United di ranah sepak bola Inggris menyingkirkan tetangga mereka, Manchester City. Walau berstatus sebagai tim sekota, City di tahun-tahun lima hingga enam musim sebelum derbi itu belum pantas disebut sebagai rival. Kalau ada tim yang layak buat disebut sebagai rival, maka itu adalah tim-tim dari kota lain: Liverpool, Arsenal, atau mungkin Chelsea.
Namun, tetangga yang jarak stadionnya hanya dipisahkan selama 30 menit perjalanan dengan mobil itu (kami hanya mengeceknya dengan GoogleMaps, ha) mulai berubah rupa sejak 2008. Penyebabnya, apa lagi kalau bukan orang kaya Timur Tengah, Sheikh Mansour.
ADVERTISEMENT
Kedatangannya pada 2008 tak sekadar melengserkan siapa pun yang menduduki kepemimpinan terdahulu. Mansour datang membawa uang dan ambisi. Apa-apa yang dilakukannya membuktikan bahwa segala perubahan dapat diawali dengan gelontoran uang.
Apa-apa yang dikerjakannya membuktikan bahwa modernisasi di ranah sepak bola bukan dosa. Karena modernisasilah yang membuat orang-orang Manchester Timur yang selama ini tersisih dari ranah sepak bola Inggris dan Eropa mendapatkan tempatnya. Menjadi yang disegani. Tak menjadi olok-olok melulu.
City tak hanya berbenah, tapi membangun ulang. Apa-apa yang tak ada, segera dibangun. Segala hal yang tak sesuai dengan realitas sepak bola modern disingkirkan jauh-jauh. Maka, City menjadi tetangga yang berisik bagi United. Setidaknya, itulah yang dikatakan oleh Sir Alex.
ADVERTISEMENT
Berisiknya City bukan riuh kosong tanpa isi belaka. Dua tahun pertama memang belum memperlihatkan hasil yang mencolok. Namun, begitu berhasil merengkuh gelar juara Piala FA pada 2010/11, ranah sepak bola Inggris mulai mengalihkan pandangannya pada City.
Ini bukan kompetisi liga. Namun, Piala FA adalah turnamen sepak bola paling tua. Ia adalah turnamen yang sophisticated, yang sarat dengan tradisi dan kekhasan sepak bola Inggris. Bahasa sederhananya, Piala FA adalah turnamen yang Inggris banget. Maka, gelar juara City di gelaran Piala FA itu secara simbolis menjadi penanda bahwa sudah saatnya Manchester Biru diperhitungkan.
David Silva, jelang laga City melawan United pada Minggu (12/11/2018) itu berbicara tentang apa yang terjadi di tubuh City. Ia menyetujui bahwa sebelum-sebelumnya, Derbi Manchester tidak bisa dibandingkan dengan pertandingan antara klub papan atas Premier League lainnya. Maklum, saat United dan tim-tim besar lain sudah sibuk mencari cara untuk mempertahankan gelar juara bahkan mendulang prestasi di Eropa, City masih bertungkus-lumus supaya tetap dapat berlaga di Premier League.
ADVERTISEMENT
Silva dan Milner di Derbi Manchester 23 Oktober 2011. (Foto:  Laurence Griffiths/Getty Images)
zoom-in-whitePerbesar
Silva dan Milner di Derbi Manchester 23 Oktober 2011. (Foto: Laurence Griffiths/Getty Images)
Semuanya beralih rupa setelah Derbi Manchester 23 Oktober 2011 itu. Berlaga di Old Trafford, City menutup laga dengan kemenangan ekstravaganza 6-1 atas sang tuan rumah.
Semuanya tampak normal-normal saja di 20 menit awal laga itu. City masih sulit membobol gawang yang dikawal David de Gea. Sampai pada akhirnya, Mario Balotelli memantik pekik-sorak dari tribune tamu pada menit 22.
Proses gol itu bermula dari David Silva yang berhasil mengecoh dua kepungan pemain bertahan United yang entah mengapa tak berusaha merebut bola, hanya mengepung. Silva yang begitu liat sejak awal laga itu dapat melepaskan diri dengan mudah memberikan bola kepada James Milner yang sudah mengambil posisi di area kanan pertahanan lawan. Alih-alih melepaskan bola ke tiang jauh, Milner mengirim bola ke Balotelli yang ada di tengah kotak penalti lawan.
ADVERTISEMENT
Lantas, siapa pula yang menyangka tendangan pelannya yang menyusur tanah itu tidak dapat dibendung oleh David De Gea yang sudah mengarahkan tangkapannya ke sudut yang benar, ke sudut kiri bawah gawang? Gol yang effortless itu disempurnakan dengan perayaan yang dingin. Balotelli yang kerap menelan kritik akibat kelakuan ajaibnya itu mengangkat jersi dan memperlihatkan kaus dalamnya yang bertuliskan: WHY ALWAYS ME?
Sir Alex belum bangkit dari kursinya setelah gol perdana itu lahir. Ia masih duduk di bench, melipat kedua tangan, dan memperlihatkan gesture mengunyah permen karet. Pemandangan serupa terlihat hingga turun minum. Pertahanan United menjadi keropos di menit 47. Jonny Evans yang bertugas sebagai bek tengah diusir dari lapangan karena kedapatan mendorong Balotelli.
ADVERTISEMENT
Akibatnya fatal, City tambah menjadi-jadi, Balotelli mencetak gol keduanya pada menit 60 dan disusul oleh Sergio Aguero sembilan menit berselang. Pesta gol tak berhenti walau laga sudah di ujung. Di injury time saja, City mencetak gol tambahan via Edin Dzeko (dua kali) dan David Silva. Sementara, gol balasan tuan rumah hanya menampakkan wujudnya di menit 81 via Darren Fletcher.
Terlepas dari kartu merah itu, permainan City memang membuat mereka pantas untuk keluar sebagai pemenang di laga tersebut. Bila diperhatikan, pemain-pemain City tak gentar untuk menerobos masuk hingga kotak penalti United. Tak peduli ada berapa banyak pemain United yang mengadang di sana, penyerang-penyerang Roberto Mancini tetap berani mati. Padahal, sekalipun menghitung kucuran uang Mansour itu, siapa sih, City kalau dibandingkan dengan United?
ADVERTISEMENT
Suporter Manchester City di Derbi Manchester 23 Oktober 2011. (Foto: Laurence Griffiths/Getty Images)
zoom-in-whitePerbesar
Suporter Manchester City di Derbi Manchester 23 Oktober 2011. (Foto: Laurence Griffiths/Getty Images)
Kekerashatian pemain-pemain City di laga tersebut mengingatkan banyak orang tentang sekeras apa Mancini kepada para pemainnya. Sosok asal Italia ini bahkan pernah berkata bahwa hal yang paling disukainya dalam melatih adalah marah-marah kepada pemain. Ia menegaskan bahwa kemenangan mutlak menjadi tujuannya di setiap pertandingan.
“Saya selalu selalu sama. Saya punya mentalitas yang sama bahkan sejak masih main bola dengan teman-temanku di SD. Saya ingin menang. Saya cuma mau menang. Saya tak suka ambil bagian pada apa pun, tapi tidak menjadi juara,” jelas Mancini dalam wawancara eksklusifnya kepada Daniel Taylor untuk The Guardian pada 2013.
“Sejak kami menang 6-1 atas United, aura Derbi Manchester berubah.” Kalimat Silva itu pada dasarnya menunjukkan bahwa Manchester tidak-serta membiru setelah kemenangan ekstravaganza mereka. Yang ditekankan Silva adalah perubahan atmosfer. Bahwa City tak pantas lagi dikerdilkan di hadapan kedigdayaan United. Bahwa City pun bisa tampil sebagai pasukan berani mati di markas United. Bahwa City pun layak buat diperhitungkan sebagai tim papan atas, bahkan kelas Eropa.
ADVERTISEMENT
Mancini mendidik City dengan mentalitas Italia yang menempatkan kekalahan sebagai perkara paling najis di dalam timnya. Mancini tak ragu untuk menjadi sosok yang keras dan menuntut para pemainnya untuk menaruh hormat padanya.
Di musim itu, Carlos Tevez tak bisa bertingkah. Bangku cadangan menjadi kawan karibnya di sepanjang musim. Tepat setelah City mematri kemenangan 2-0 atas Everton pada pekan ke-11, Mancini menegaskan bahwa ia tidak akan memainkan Tevez. Penyebabnya, di pertandingan melawan Everton itu, Tevez menolak untuk melakukan pemanasan saat diminta Mancini untuk masuk di menit 65.
Yang ditunjukkan oleh Mancini adalah untuk menjadi tim pemenang kau harus bermental profesional. Ego adalah hak setiap pemain, tapi jangan coba-coba untuk merawat ego sampai lebih besar ketimbang kepentingan klub.
ADVERTISEMENT
Mental City sebagai pemenang sudah terlihat bahkan sebelum laga melawan United yang dihelat pada pekan kesembilan itu. Di delapan laga sebelumnya, City tak tersentuh kekalahan dengan rincian tujuh kemenangan dan satu hasil imbang. Bahkan, setelah kemenangan 3-0 atas Wigan Athletic di pekan kelima, City berhasil menjejak ke puncak klasemen. Sayangnya, mereka tak lama ada di sana karena di pekan yang sama, United sukses mengandaskan perlawanan Bolton Wanderers dengan skor 5-0.
Sebelum Premier League dimulai pun, City sudah menunjukkan perlawanan trengginas bagi United di final Community Shield pada 7 Agustus 2011. Pada akhirnya, laga itu memang berakhir dengan gelar juara untuk United. Namun, kemenangan mereka bukan kemenangan yang mudah. CIty memberikan perlawanan sejak awal laga yang ditunjukkan dengan keunggulan 2-0 di babak pertama. Baru di paruh kedualah United sanggup membalikkan kedudukan menjadi 3-2.
ADVERTISEMENT
Usai derbi yang berkakhir dengan kekalahan 1-6 untuk United itu, City memang tampil sebagai tim yang disegani, termasuk di derbi selanjutnya. Bahkan Derbi Manchester kedua di Premier League musim itu kembali menjadi milik City. Kali ini, skornya tak mencolok, hanya kemenangan tipis 1-0. Namun, kemenangan tipis tetap jauh lebih baik ketimbang kekalahan tipis.
Walau perkataan Silva merujuk pada atmosfer jalannya laga Derbi Manchester, tapi catatan pertandingan pertemuan kedua tim di kompetisi Premier League memang menunjukkan bahwa usai derbi 2011 tersebut, City-lah yang mendominasi kemenangan. Dari 14 laga (termasuk derbi terakhir), City membukukan delapan kemenangan, dua hasil imbang, dan empat kekalahan. Bahkan dari delapan kemenangan itu, lima di antaranya berupa laga tandang di Old Trafford.
ADVERTISEMENT
Bos Manchester City, Syekh Mansour (tengah), dalam sebuah pertandingan Premier League. (Foto: AFP/Andrew Yates)
zoom-in-whitePerbesar
Bos Manchester City, Syekh Mansour (tengah), dalam sebuah pertandingan Premier League. (Foto: AFP/Andrew Yates)
Sejak kedatangan Mansour, City menjadi tim modern yang jauh lebih stabil. Mereka bukannya tidak berganti pelatih sama sekali, tapi pergantian pelatih dilakukan dengan pertimbangan masuk akal. Sementara di sisi lain, keputusan manajemen United terlihat lebih berantakan.
Sepeninggal Sir Alex, keputusan mereka lebih terlihat sebagai keputusan 'yang penting ada'. Yang penting punya pelatih, maka kami menunjuk David Moyes, Ryan Giggs, Louis van Gaal, dan Jose Mourinho. Nama terakhir memang punya pengalaman segudang, memang berbekal rentetan gelar juara.
Namun celakanya, ego setinggi langit Mourinho yang dibarengi kinerja kolot manajemen United menjadikan tim ini kerap terlihat sebagai tim yang tak bermental juara. Perhatikanlah sejumlah konferensi pers Mourinho usai laga yang tak berakhir dengan kemenangan. Mulai dari masalah transfer pemain hingga pertandingan lawan yang lebih ringan, semua dijadikannya sebagai tameng.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, United pun bersikap kelewatan. Mereka seolah tidak mengindahkan apa yang menjadi keluhan Mourinho sebagai pelatih. Padahal, Mourinho-lah yang bersinggungan langsung dengan permasalahan di lapangan. Ya, lengkap sudah.
Sementara di sisi lain, tetangga mereka yang katanya berisik itu juga punya kelemahan. Kegagalan Josep Guardiola mempersembahkan gelar juara di musim perdananya direspons dengan kedatangan pemain-pemain yang tepat guna. Kekurangan-kekurangan pemain individu dituntaskan Guardiola dalam sesi-sesi latihan, baik secara tim maupun individu.
Pada intinya, yang bekerja bukan hanya pemain dan pelatih di setiap pertandingan, tapi juga manajemen. Kegagalan tim di kompetisi direspons dengan keputusan manajemen yang tepat yang bisa diibaratkan sebagai tulang punggung yang menopang tubuh agar tetap dapat tegak.
ADVERTISEMENT
Langsung menyebut Manchester membiru seusai derbi 2011 itu adalah perkara naif. Namun, setidaknya, setelah derbi tersebut, City memang membuktikan bahwa mereka layak buat diperhitungkan sebagai tim berkualitas tinggi.
Kemenangan 6-1 tidak hanya membuka jalan bagi City untuk mulai menancapkan hegemoninya, tapi menjadi penanda bahwa modernisasi bisa menjadi senjata untuk meraih kejayaan di ranah sepak bola. Dan bila ini yang terjadi secara kontiniu, bukan perkara mustahil Manchester akan benar-benar membiru.