news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Timnas Wanita Indonesia dan Upaya Mendobrak Keterasingan

1 April 2019 19:22 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pemain Timnas Sepak Bola Wanita Indonesia, Putri Rizki Amalia, menutupi wajahnya usai dikalahkan Korea Selatan 0-12. Foto: ANTARA/INASGOC/Zabur Karuru
zoom-in-whitePerbesar
Pemain Timnas Sepak Bola Wanita Indonesia, Putri Rizki Amalia, menutupi wajahnya usai dikalahkan Korea Selatan 0-12. Foto: ANTARA/INASGOC/Zabur Karuru
ADVERTISEMENT
Tertindas. Sebuah diksi yang tampaknya paling tepat untuk menggambarkan kondisi perempuan pribumi pada zaman penjajahan Belanda dahulu. Tak memiliki hak mengenyam pendidikan, apalagi untuk bekerja. Mereka seperti tercengkram di dalam sunyi, hanya bisa melihat dunia luar dari sempitnya jendela.
ADVERTISEMENT
Alur kisah kemudian berubah manakala Kartini lahir. Ketika beranjak dewasa, Kartini kerap melahirkan sejumlah pemikiran "liar" terhadap kondisi perempuan pribumi kala itu. Melalui pena, ia menjadi corong nyaring dari para perempuan pribumi yang mencoba merebut kembali haknya.
Harus diakui, Kartini adalah salah satu sosok sempurna keterwakilan perempuan di Indonesia. Mendobrak sekat guna menuntut hak setara dengan lelaki. Dasar pemikiran itu pula yang terejawantahkan ke atas lapangan hijau.
Ya, sepak bola memang dikenal dengan permainan yang mengandalkan fisik, tetapi bukan berarti tak ada perempuan yang bernyali melakoninya. Di Indonesia, meski belum banyak terlihat, terselip sejumlah talenta pesepak bola wanita. Bakat-bakat itu kini tergabung ke dalam Timnas Wanita Indonesia.
ADVERTISEMENT
Skuat 'Garuda Pertiwi' mulai kembali menggeliat pada tahun lalu seiring komitmen Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) untuk menghidupkannya. Padahal, Timnas Wanita Indonesia telah tertidur nyenyak selama beberapa tahun belakangan ini.
Jangankan di ajang dunia dan Asia, di regional Asia Tenggara saja, Indonesia tampak tak konsisten mengirimkan wakilnya. Di Piala AFF, Timnas Wanita Indonesia tercatat tiga kali tak ikut berpartisipasi yakni pada edisi 2006, 2012, dan 2016.
Lantas, bagaimana mau menelurkan prestasi bila kontinyuitas saja menjadi barang langka?
Berbicara sepak bola wanita di Tanah Air memang pelik. Bakat-bakat terpendam akan selamanya terpendam karena tak ada kompetisi reguler yang berjalan. Padahal, liga menjadi syarat mutlak untuk menjadikan bibit unggul berbuah manis.
ADVERTISEMENT
Karena itu, terlalu naif rasanya mengharapkan datangnya prestasi dari Timnas Wanita Indonesia yang berjuang di tengah sunyi. Sama sunyinya seperti stadion-stadion setiap mereka main.
Suka tak suka, Timnas Wanita Indonesia adalah anomali bagi pecinta sepak bola nasional. Ketika dukungan melimpah diberikan untuk tim putera, mereka bak tertelan bumi manakala skuat wanita turun gelanggang.
Simak saja pemandangan yang terjadi saat Timnas Wanita Indonesia berlaga di ajang Asian Games 2018. Bertanding di Palembang, Gelora Sriwijya Jakabaring tampak lengang. Tak ada gemuruh yang terdengar, begitu pula dengan nyanyian pembakar semangat. Deretan bangku kosong membisu menjadi pemandangan umum.
Meski demikian, di tengah segala kondisi tak memihak itu, Zahra Muzdalifah dan kolega tak pernah berhenti mengejar bola. Kini, Timnas Wanita Indonesia tengah merajut mimpi menembus Olimpiade 2020.
ADVERTISEMENT
Skuat asuhan Rully Nere itu berhasil melewati rintangan di babak kualifikasi pertama. Mereka saat ini akan segera bertarung di kualifikasi kedua dengan menghadapi tuan rumah Myanmar, India, dan Nepal dimulai pada Rabu (6/4) mendatang.
Begitulah. Kartini dan para pesepak bola wanita menjadi dua entitas yang serupa tapi tak sama. Jika Kartini dahulu menggunakan pena sebagai corong perlawanan, maka kini Timnas Wanita Indonesia menjadikan sepak bola sebagai alat pendobrak sekat keterasingan.