Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Mengenal dan Menikmati Teh Dari Negeri Sendiri di House of Tea
6 Februari 2019 15:06 WIB
Diperbarui 21 Maret 2019 0:05 WIB
ADVERTISEMENT
Bila berbincang soal tempat ngopi favorit, tentu kamu bisa dengan mudah menyebutkan banyak coffee shop dengan kopi yang luar biasa nikmatnya. Namun, bagaimana bila pertanyaannya diubah menjadi tempat ngeteh favorit? Mungkin kamu perlu sedikit berpikir untuk menentukannya.
ADVERTISEMENT
Memang bila dibandingkan dengan kopi, teh agak sedikit tertinggal. Mungkin kita terlalu sering menganggap teh identik dengan refill atau minuman paling murah di sebuah tempat makan. Hayo, siapa yang kalau makan pasti minumnya teh karena ingin berhemat?
Keberadaan teh khas Indonesia pun jadi pertanyaan. Penggemar teh tentu tahu kalau teh terbaik ada di pucuknya. Namun, apakah kita sudah benar-benar menikmati teh dari bagian terbaiknya?
Semua pertanyaan itu pun terjawab ketika kumparanFOOD mampir ke House of Tea yang belakangan ramai karena mulai dilirik influencer. Rupanya, tidak hanya bermodal spot menarik untuk berfoto, tapi House of Tea justru menawarkan sensasi minum teh terbaik dengan cara paling tepat.
Sore itu, kami bertemu dengan Satria Gunawan Suharno, pemilik tempat ngeteh yang agak tersembunyi itu. House of Tea menggunakan bagian belakang rumah laki-laki yang akrab disapa Pak Gun tersebut.
“Sempat berpikir apakah mungkin karena tempatnya sangat ngumpet. Namun, anak-anak dukung. Daripada kita tidak mulai, mending kita mulai dari yang ada saja. Di awal tahun memang harus kuat mental, tapi sehabis itu alhamdulillah baik. Tahun kedua mulailah hampir setiap hari ada. Semua dimulai dari apa yang kami suka, termasuk pemilihan menu tanpa MSG untuk teman minum teh,” kenang laki-laki yang mengenakan baju petani --pecinta teh asli negeri-- ini.
ADVERTISEMENT
Gunawan telah lama jatuh cinta dengan teh dari Tanah Air. Walaupun pendidikannya jauh dari pertanian atau perkebunan --lebih tepatnya pilot helokopter-- ia jatuh cinta kepada alam saat terpaksa mengurus kebun orang tuanya.
“Saya masuk ke dunia teh sebetulnya musibah membawa berkah. Saat itu orang tua saya sakit dan mereka memiliki kebun. Usaha harus berjalan dan kami juga tujuh bersaudara. Awalnya saya disuruh jadi karyawan, tapi seiring berjalannya waktu entah kenapa saya jatuh cinta mbak sama alam,” jelasnya kepada kumparanFOOD.
Ajak Masyarakat untuk Cinta Teh Indonesia
Kecintaan terhadap teh itu yang akhirnya ditularkan Gunawan dalam House of Tea. Ia lebih suka menghabiskan waktunya di kedai teh itu sembari mengajak ngobrol orang yang datang. Uniknya, tidak semua yang datang ingin mencicipi teh di sana. Agak aneh memang, namun Gunawan punya caranya sendiri untuk mengajak orang setidaknya mencoba terlebih dahulu.
ADVERTISEMENT
“Ada yang datang, suka kopi dan memesannya kopi. Saya bilang, coba dulu. Awalnya dia tidak mau, tapi saya tawarkan gratis dan saya bikinkan. Akhirnya dia setiap ke sini pesannya teh dan suka beli yang belum diseduhnya. Ketagihan, begitu. Kalau mbak tidak keberatan, kita mengobrol sambil saya seduhkan teh,” ungkapnya kepada kumparanFOOD.
Saya diajak untuk mencicipi teh dari yang paling ringan hingga agak berat. Varian pertama yang adalah single origin white tea. Teh ini dibuat dari ujung daun teh yang belum mekar. Inilah yang dibilang sebagai pucuk teh terbaik.
“Teh ini dibuat hanya dari ujung daun. White tea ini dipanen pada saat matahari belum terbit karena kita mengejar bulu halusnya. Bulu itu pada saat daun itu sudah mekar sedikit saja akan mulai berkurang. Di dalamnya kamu akan lihat hitamnya, kalau mekar dan makin menghitam, kualitasnya juga akan menurun. Kita tidak akan bisa menyebutnya white tea silver needle. Walaupun white tea itu banyak sekali jenisnya, yang paling tinggi adalah white tea silver needle ini,” jelas Gunawan sambil menuangkan teh ke cangkir.
Lebih lanjut, Gunawan menjelaskan bahwa white tea terbaik itu dipetik sebelum jam setengah tujuh pagi. Sementara untuk suhu pengolahannya tidak boleh lebih dari 30 derajat. Menjemur tehnya juga tidak boleh melebihi jam 12.00 karena bisa rusak karena sinar matahari siang.
ADVERTISEMENT
Setelah mencoba memahami rasa dari white tea, Pak Gun mengajak kami untuk mencicipi beberapa teh dengan peningkatan rasa yang signifikan. Kami menjajal green tea special dari House of Tea.
“Kenapa ini saya katakan green tea special? Teh, budaya, dan seni itu tidak bisa dipisahkan. Bentuknya long firm, dan panjang-panjang. Pembuatannya juga sangat manual, tanpa alat modern. Memasaknya juga menggunakan tembikar. Nah, nanti aromanya lebih soft, dan rasa daunnya lebih ke luar, mbak,” jelasnya.
Berbeda dengan yang spesial, green tea punya rasa yang agak lucu di lidah karena kamu tidak akan merasakan pahit sama sekali. Agak berbeda dengan rasa green tea yang pernah saya coba sebelumnya.
Dari green tea, kami menjajal teh dengan rasa yang lebih kuat yaitu varian black tea. Kami mencoba dua jenis; black tea dan black tea special. Jenis tehnya sama hanya saja yang spesial diproduksi dengan tembikar sementara yang standar diproduksi mesin. Memang keduanya punya after taste yang berbeda; yang diolah dengan mesin rasanya habis di mulut sementara dengan tembikar punya after taste dengan wangi yang unik.
ADVERTISEMENT
“Semua individu experience-nya pasti berbeda, yang mempengaruhi adalah kebiasaan makan atau minumnya. Sensitivitas orang pasti berbeda-beda. Maka itu, biasa kalau mereka yang ikut auction, pencicip teh biasanya tidak perokok, bukan peminum, dan tidak makan pedas,” jelas Gunawan menanggapi rasa yang saya utarakan.
Lebih lengkap Gunawan menuturkan bahwa black tea berperan baik untuk mood booster sebab di dalamnya ada nutrisi yang dibutuhkan otak. Dengan rutin meminumnya, tingkat stres juga bisa berkurang.
Varian teh terakhir yang saya coba terbuat dari Camelia sinensis sinensis. Jenis ini belum dikeluarkan Gunawan namun sedang dalam tahap persiapan.
“Camelia sinensis sinensis dari China. Aromanya juga agak asam. Kalau di auction, varian ini banyak yang berasal dari tanaman teh yang usianya sampai ratusan tahun. Saya bersyukur petani kecil pun masih punya jenis ini,” ungkapnya seraya menyeduh teh teh tersebut.
ADVERTISEMENT
Sesaat setelah di seduh aroma teh ini pun menyeruak. Tidak hanya sekadar aroma, kamu bisa merasakan wanginya dalam after taste teh tersebut. Saya menutup sesi minum teh itu dengan teh yang paling tepat.
Pucuk Terbaik yang Dipetik Petani Lokal
Semua produk di House of Tea menggunakan pucuk daun --istilahnya peko-- plus dua daun di bawahnya. Bila masih muda, bisa sampai ke lapis ketiga. Kebun untuk produksi teh yang dijual di House of Tea sudah dibedakan. Kebun khusus white tea hanya diambil atasnya saja
.
“Bukan berarti kalau kita sudah ambil tanaman itu untuk white tea, terus bawahnya boleh dipakai untuk green tea dan black tea. Itu tidak boleh. Apakah mbak mau membeli green tea saya, pada saat pekonya sudah diambil? Rasanya seperti mengambil hak orang,” ungkap Pak Gun.
ADVERTISEMENT
Biasanya para produsen teh menggunakan bahan-bahan yang ada di bawah terlalu banyak. Perbandingan antara teh terbaik dan yang sudah kurang baik juga jadi terlalu besar. Itu yang menyebabkan kualitas teh yang dihasilkan juga tidak terlalu baik, dan kurang beraroma. Nutrisinya juga jadi berkurang.
Kebun House of Tea ada di daerah Purwakarta. Namun, sekarang kelompok taninya sudah sampai ke Jogja dan Malang. Kebun teh untuk memproduksi House of Tea dibuat ekslusif.
"Proses membuat teh seperti mata rantai yang tak boleh putus. Bila dari awal tidak memperlakukannya dengan benar maka hasilnya pun belum tentu benar.
Ini juga yang unik dari mengolah teh. Bila orang yang mengolah beda, rasa juga pasti berubah,” ungkapnya.
ADVERTISEMENT
Sama seperti kopi, tentu yang jadi perhatian kita adalah apakah para petani teh sudah dapat edukasi yang layak. Gunawan bercerita soal kisahnya masuk ke petani teh lokal. Para produsen menengah ke bawah punya sudut pandangnya tersendiri; tidak memerlukan prosedur standar, cenderung cari yang mudah dengan keuntungan cepat.
“Kita kasih pengertian bahwa menghitungnya harus satu tahun. Kalau satu tahun jumlah perharinya jadi beda. Kita arahkan untuk menuju organik walau agak sulit. Bila kebun tetangga masih pakai anorganik, kita kena. Kemudian daun teh yang diambil tidak mungkin dicuci, harus langsung diolah,” tutur Gunawan.
House of Tea sendiri telah berjalan selama tujuh tahun. Sebelum kedai teh di kawasan Gandaria ini muncul, Gunawan memasarkannya sendiri. Barulah sekitar empat tahun yang lalu, beliau dan keluarga menggagas ide tempat ngeteh di belakang rumahnya.
Selain di House of Tea, Gunawan juga memasok tehnya ke beberapa restoran dan kafe. Sejauh apa pun ia mempromosikan House of Tea, Gunawan adalah seorang petani teh Indonesia yang mencoba menularkan kecintaannya kepada para pengunjung kedai ngeteh yang ia buat di belakang rumahnya.
ADVERTISEMENT
“Ini adalah aset kita, maka kita harus mengapresiasidan menikmati ini. Karena teh di Indonesia itu enak banget,” ungkapnya menutup obrolan kami di House of Tea.