Sejarah di Balik Sajian Nasi Tumpeng Penuh Makna

11 September 2018 15:15 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tumpeng (Foto: Flickr/Matthew Kenwrick)
zoom-in-whitePerbesar
Tumpeng (Foto: Flickr/Matthew Kenwrick)
ADVERTISEMENT
Sejak dulu, tumpeng merupakan salah satu sajian wajib saat syukuran atau upacara adat. Terutama di pulau Jawa, tumpeng hampir tak pernah absen dalam acara peresmian gedung, rumah baru, ulang tahun, kelahiran anak, hingga malam tirakatan pada hari Kemerdekaan.
ADVERTISEMENT
Tumpeng sendiri biasanya terbuat dari nasi kuning yang dicetak membentuk kerucuk yang diletakkan di atas tampah bambu lalu disajikan dengan beragam lauk tradisional seperti ayam goreng, tempe, tahu, ikan teri, urap, dan masih banyak lainnya.
Tak hanya sebagai pelengkap dalam acara syukuran maupun upacara adat, ternyata tumpeng juga sarat akan makna serta doa kepada Yang Maha Kuasa. Menurut pakar kuliner, Arie Parikesit, tumpeng ternyata sudah ada sejak dulu, bahkan sebelum masuknya ajaran agama di Nusantara.
"Sudah cukup lama (adanya tumpeng), sebelum masuknya agama-agama ke Nusantara sebagai bagian dari perwujudan rasa syukur kepada kekuatan besar yang satu itu mereka sembah," ujar Arie Parikesit saat dihubungi kumparanFOOD Senin (10/9).
ADVERTISEMENT
Dalam bahasa Jawa, tumpeng merupakan sebuah akronim dari kata, 'yen metu kudu sing mempeng' yang artinya 'kalau keluar harus yang sungguh-sungguh'. Akronim tersebut bermakna bahwa setiap pekerjaan harus dilakukan dengan serius dan sungguh-sungguh sehingga hasil yang diperoleh pun akan maksimal.
Tumpeng (Foto: Flickr/Yosika (happyholiday.travel))
zoom-in-whitePerbesar
Tumpeng (Foto: Flickr/Yosika (happyholiday.travel))
Selain itu, bentuk kerucut pada nasi tumpeng merupakan representasi dari kondisi geografis Indonesia yang memiliki banyak gunung dan perbukitan. Pada zaman dahulu, gunung dianggap sebagai tempat suci bersemayamnya para Dewa dan arwah para leluhur.
Sajian tumpeng beserta aneka lauk biasanya digunakan sebagai persembahan atau sesaji untuk Dewa atau arwah leluhur. Namun, lambat laun arti tumpeng yang mengerucut mulai bergeser sebagai makna dari harapan agar hidup selalu sejahtera dan penuh berkah.
ADVERTISEMENT
"Bentuknya yang segi tiga melambangkan gunung, yang erat hubungannya dengan sesuatu yg bersifat spiritual. Bentuk segitiga juga merupakan hubungan antara manusia, alam, dan Sang Pencipta," tambah Arie Parikesit.
Bila dilihat lebih seksama, dalam satu sajian tumpeng, pasti selalu dihidangkan dengan tujuh jenis lauk yang berbeda. Ternyata, jumlah lauk yang diletakkan di sekeliling tumpeng tersebut juga memiliki arti tersendiri, lho.
Angka tujuh dalam bahasa Jawa disebut dengan istilah pitu, atau pitulungan yang berarti adalah pertolongan. Dalam penjelasannya, Arie menjelaskan bahwa tujuh jenis lauk yang dihidangkan bersama tumpeng merupakan simbol doa dan memohon pertolongan kepada Sang Pencipta agar diberi kelancaran dalam melaksanakan segala sesuatu.
Ayam ingkung (Foto: Flickr/Yugo Purwanto)
zoom-in-whitePerbesar
Ayam ingkung (Foto: Flickr/Yugo Purwanto)
Jenis-jenis lauk dalam tumpeng pun memiliki arti dan harapan yang berbeda-beda. Salah satunya adalah ayam ingkung, yakni sajian dari ayam jantan utuh yang dimasak dengan bumbu opor yang kaya rasa.
ADVERTISEMENT
Masyarakat Jawa mengartikan kata 'ingkung' sebagai belenggu yang mengikat, sehingga ayam ingkung dimaknai sebagai sikap pasrah atas kekuasaan Tuhan. Selain itu, pemilihan ayam jantan merupakan doa agar terhindar dari sikap angkuh, congkak, pemarah, dan tidak mendengarkan perkataan orang lain.
Pada zaman dahulu, segala sesuatu harus dilakukan dengan memperhatikan peraturan dan norma yang berlaku di masyarakat. Tak terkecuali, saat akan menyantap sajian tumpeng usai kegiatan upacara adat tradisional.
Biasanya, saat akan menyajikan tumpeng, bagian puncak akan dipotong terlebih dahulu untuk diberikan kepada orang yang paling dihormati atau orang yang tengah melaksanakan hajat besar. Padahal, cara yang benar saat menyantap tumpeng adalah 'mengeruk' nasinya dari bawah hingga ke atas. Hal ini memiliki arti bahwa setiap makhluk hidup akan kembali ke Sang Pencipta yang disimbolkan dengan puncak tertinggi nasi tumpeng.
ADVERTISEMENT