Hanung Bramantyo Sebut 'Sultan Agung' sebagai Karyanya Paling Epik

29 April 2018 12:29 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:09 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Hanung Bramantyo. (Foto: Munady)
zoom-in-whitePerbesar
Hanung Bramantyo. (Foto: Munady)
ADVERTISEMENT
Membuat film biopik menjadi passion tersendiri bagi Hanung Bramantyo. Beberapa film yang ia buat diangkat dari kisah hidup para pahlawan, seperti film 'Kartini' dan 'Soekarno'. Tahun ini, sutradara berusia 42 tahun itu tengah mempersiapkan film biopik ter-epic versinya. Film itu berjudul 'Sultan Agung'.
ADVERTISEMENT
Film mengangkat kisah tentang Sultan Agung ini masih dalam tahap editing. Menurut Hanung, film 'Sultan Agung' merupakan film yang paling ribet dan paling epic dari semua film yang ia buat.
Hanung berani menyebut kata 'epic' karena dirinya mengaku mendapatkan aktor dan lokasi syuting yang keren. Selain itu, ia juga menyebut bahwa banyak hal-hal di luar ekspektasi yang terjadi saat proses produksi film ini.
Hanung Bramantyo. (Foto: Munady)
zoom-in-whitePerbesar
Hanung Bramantyo. (Foto: Munady)
Awalnya, suami Zaskia Adya Mecca itu menyikapi film ini seperti film drama biasa. Berlatar kerajaan dengan segala intrik politik yang terjadi. Namun, semuanya berubah ketika ia mulai menggarap adegan peperangan.
"Serbuan ke Batavia mau tidak mau melibatkan 500-600 orang figuran, yang mana masih dikloning, itu bisa menjadi 14 ribu pasukan. Itu saja setelah melihat hasilnya, sudah, ini ternyata epic sekali," kata Hanung ketika ditemui di Plaza Senayan, Jakarta Pusat, Sabtu.
ADVERTISEMENT
"Mungkin ini bisa dianggap film saya yang paling kolosal, lebih kolosal dari film yang (sebelumnya) saya buat," lanjutnya.
Proses pengerjaan naskah film membutuhkan waktu kurang lebih tujuh bulan. Untuk proses pengambilan gambar dilakukan selama 40 hari. Tahap editing sendiri memakan waktu yang lebih lama dari biasanya.
Menggarap film biopik yang terkesan serius dan tidak begitu banyak diminati, menjadi tantangan tersendiri bagi sutradara film 'Jomblo' ini. Biasanya, sutradara akan menyiapkan dua versi, yaitu versi pop yang biasa tayang di bioskop, dan versi director's cut yang biasa diputar di kantor kedutaan.
"Tantangannya ketika kita membuat film biopik, kayak 'Sultan Agung', saya tidak berpikir film ini akan diputar di kantor-kantor kebudayaan. Saya pengin 'Sultan Agung' diputer di mal, itu makanya harus ringan. Enggak boleh berbicara tentang yang berat, enggak bisa," bebernya.
ADVERTISEMENT
Kendati demikian, ia mengemas film ini agar dapat dinikmati oleh generasi milenial. Namun, tetap memperhatikan beberapa aspek di dalamnya, seperti situasi pada masa itu, bahasa dan kostum. Banyak syarat-syarat yang harus dipenuhi tapi packaging-nya tetap ringan.
"Membuat film sejarah kita harus terpatok pada riset yang akurat. Misal Sultan Agung tinggalnya di Keraton Mataram pada saat itu tidak ada HP, ya tentunya enggak mungkin (ada scene) pakai HP. Dari aspek bahasa, kostum, enggak mungkin pakai jeans," tandasnya.