Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Polemik RUU Permusikan: Antara Proteksi dan Idealisme yang Terancam
7 Februari 2019 16:04 WIB
Diperbarui 21 Maret 2019 0:05 WIB
ADVERTISEMENT
Industri musik Tanah Air mendadak riuh. Bukan karena kontroversi akan goyangan seorang penyanyi yang lebih sensasional dari Goyang Ngebor atau goyang Belah Duren. Musisi, baik mereka yang bergerak secara independen maupun mainstream, akademisi maupun pengamat musik, tiba-tiba menoleh ke arah yang sama. Fokus yang sama.
ADVERTISEMENT
Riuhnya penonton, teriakan encore di penghujung konser, ataupun kerasnya distorsi musik, berganti dengan "teriakan" pikiran. Topiknya adalah soal Rancangan Undang-Undang Permusikan atau RUU Permusikan.
Kehadiran RUU Permusikan yang telah masuk dalam Prolegnas DPR tahun 2015-2019 ini tiba-tiba memantik respons yang kuat dari para musisi. Mereka, yang saat ini banyak bersuara, rata-rata dengan gamblang menyatakan menolak hadirnya RUU tersebut.
Alasan utamanya adalah adanya pasal karet yang dinilai bisa menjadi penghalang musisi berkarya dan berkreasi. Beberapa pasal di dalamnya juga dianggap tumpang tindih dengan UU yang berlaku.
Komisi Nasional Tolak Rancangan Undang Undang Permusikan (KNTL RUUP) kemudian muncul sebagai wadah para musisi untuk menyuarakan penolakan. Lebih dari 260 musisi (jumlahnya terus bertambah) menanamkan pikirannya untuk sama-sama menolak Rancangan Undang-Undang tersebut.
ADVERTISEMENT
Sebut saja seperti Danilla Riyadi, Polkawars, Jason Ranti, Mondo Gascaro, dan masih banyak nama lainnya, yang banyak dari kalangan musisi independen.
KNTL RUUP dalam pernyataanya merasa musisi tidak pernah dilibatkan dalam penyusunan rancangan undang-undang permusikan. Sehingga apa yang kemudian tertulis dalam RUU, tidak mencerminkan musisi terlindung.
Pasal-pasal yang ada dalam RUU sebagian besar tidak sesuai dengan kajian, diskusi dan partisipasi aktif para pekerja musik di Indonesia.
"Menegaskan bahwa menolak draf RUU Permusikan ini justru karena kami peduli dan tidak mau solusi untuk menjamin perkembangan dan kemajuan ekosistem musik di Indonesia prematur dan tidak berdasar pada kajian, diskusi dan partisipasi aktif para pekerja musik di Indonesia," tulis KNTL RUUP dalam pernyataanya.
ADVERTISEMENT
Pasal-Pasal di RUU yang Dinilai Musisi Merugikan
Para musisi yang tergabung dalam KNTL RUUP merasa punya alasan yang kuat untuk menolak rancangan tersebut. Setidaknya, ada 19 pasal yang dianggap bermasalah.
Dari belasan pasal tersebut, yang paling dianggap bermasalah adalah Pasal 5 yang dianggap sebagai pasal karet. Yakni berbunyi bahwa "Dalam melakukan Proses Kreasi, setiap orang dilarang:
ADVERTISEMENT
KNTL RUUP menyatakan, pasal tersebut dianggap merepresi musisi karena tidak membebaskan musisi dalam hal kreativitas, terutama mereka yang berkarya di jalur independen.
Mereka menganggap pasal ini juga bertentangan dengan UU Pemajuan Kebudayaan dan Pasal 28 UUD 1945 yang menjunjung tinggi kebebasan berekspresi dalam negara demokrasi.
Cholil Mahmud 'Efek Rumah Kaca' adalah salah satu musisi yang bersuara soal pasal karet tersebut. Ia menilai pasal tersebut membuka ruang bagi kelompok penguasa atau siapa pun untuk mempersekusi proses kreasi yang tidak mereka sukai.
"Pasal karet ini membukakan ruang bagi kelompok penguasa atau siapa pun untuk mempersekusi proses kreasi yang tidak mereka sukai," ucapnya.
Pasal 5 dinilai memuat kalimat yang penuh dengan multi interpretasi dan bias, seperti “mensita, melecehkan, menodai, dan memprovokasi.”
ADVERTISEMENT
KNTL RUUP berpendapat, sudah sejak lama lagu sebagai medium komunikasi menjadi salah satu media penyampai pesan yang tepat. Karena itu banyak musisi membuat lagu yang didasari kritik terhadap pemerintahan suatu negara. Iwan Fals adalah salah satu contohnya.
Iwan terkenal sebagai 'wakil rakyat' dalam dunia musik. Beberapa lagunya seperti 'Rekening Gendut', 'Politik Uang', dan 'Untukmu Negeri' yang menyinggung soal pemerintahan Indonesia. Begitu juga Slank dengan lagu 'Gosip Jalanan'.
Selain Iwan Fals, beberapa musisi independen juga kerap membuat lagu dengan tema serupa hingga kritik terhadapan kehidupan sosial. Barasuara dengan 'Masa Mesias Mesias', Tashoora dengan 'Sabda', dan Polkawars dengan 'Rekam Jejak'.
Jika Pasal 5 dilanggar, sesuai dengan Pasal 50 tentang Ketentuan Pidana dalam naskah RUU Permusikan, pelaku musik akan dikenai pidana berupa penjara atau diharuskan membayar denda.
ADVERTISEMENT
Selain Pasal 5, ada juga Pasal 32 hingga Pasal 35 dalam Bab III dalam Pengembangan Pelaku Musik. Pasal-pasal ini membahas tentang uji kompetensi untuk para musisi.
KNTL RUUP menilai uji kompetensi untuk para musisi dianggap mendiskriminasi musik. Musik bersifat universal dan menilai kemampuan seseorang dalam bidang melalui uji kompetensi dianggap menguntungkan pihak tertentu dan bias.
Bagian uji kompetensi dan sertifikasi dalam RUU Permusikan, dinilai KNTL RUUP sebagai cerminan pemaksaan kehendak dan berpotensi mendiskriminasi musisi.
Di banyak negara, praktek uji kompetensi bagi pelaku musik memang ada, namun tidak ada satupun negara dunia ini yang mewajibkan semua pelaku musik melakukan uji kompetensi. Tetapi hanya pilihan atau opsional.
Pasal-pasal terkait uji kompetensi ini berpotensi dinilai mendiskriminasi musisi autodidak untuk tidak dapat melakukan pertunjukan musik jika tidak mengikuti uji kompetensi.
ADVERTISEMENT
Menurut Sandy 'PAS Band', uji kompetensi ini harus dicari tahu parameternya. Mulai dari lembaga yang akan menguji hingga hal-hal apa saja yang harus diuji.
"Apakah musisi yang sekolah musik lebih hebat dibanding musisi yang otodidak? Kan enggak," kata dia.
Sandy mengatakan, banyak musisi besar yang lahirnya dari kampung, kemudian memiliki kemampuan bermusik secara otodidak. Maka kemudian akan tidak adil jika ia harus menjalankan uji kompetensi.
"Ya, karena berkarya dari apa yang dia dengar, yang dia rasa, yang dia lihat. Enggak adil kan kalau gitu?," ucapnya.
Kemudian soal distribusi karya musik yang diatur dalam Pasal 10 dan 12. Pasal ini dianggap tidak memberikan ruang pada musisi independen untuk mendistribusikan karyanya secara mandiri.
ADVERTISEMENT
Distributornya pun harus sesuai dengan Pasal 12, dimana wajib memiliki izin usaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal tersebut dinilai KNTL RUUP menggambarkan bahwa industri besar berperan penuh dalam urusan distribusi karya musik. Pasal ini seakan melarang pelaku musik untuk melakukan distribusi secara mandiri, dan hal ini tentu dipermasalahkan oleh para musisi indie.
"Ini kan curang," jelas Jason Ranti dengan singkat, padat, dan jelas.
Ia mengatakan, beberapa musisi memilih jalur independen karena bebas berkarya. Alasannya, label musik besar memiliki kepentingan untuk menguntungkan musisi di bawah naungan mereka dan pihak mereka sendiri, terutama dari segi keuntungan berdasarkan nominal untuk menyuburkan kedua belah pihak secara materil.
Ada beberapa aturan jika seseorang masuk ke dalam major label. Mereka harus menyesuaikan musik mereka dengan pasar, meski sekarang ini beberapa label tidak mengharuskan hal itu dan memilih untuk membebaskan musisinya berkarya sesuai norma dan aturan yang berlaku.
Menurut Jason Ranti, dengan mengatur tentang cara distribusi musik melalui ketentuan yang hanya bisa dijalankan oleh industri besar, maka pasal ini menegaskan praktek distribusi karya musik yang selama ini dilakukan oleh banyak musisi yang tidak tergabung dalam label atau distributor besar.
ADVERTISEMENT
Ada juga Pasal 13 yang berbunyi, "Pelaku usaha yang melakukan Distribusi wajib menggunakan atau melengkapi label berbahasa Indonesia pada kemasan produk Musik yang didistribusikan ke masyarakat."
Pasal ini disebut masih tidak jelas substansinya apakah label berbahasa Indonesia dalam kemasan musik itu berhubungan dengan lirik lagu atau informasi-informasi dalam sebuah album yang harus menggunakan bahasa Indonesia?
Billy Saleh 'Polka Wars' mengambil Peraturan Pemerintah Nomor 69 tahun 1999 tentang Iklan Label dan Pangan. Peraturan tersebut menjelaskan bahwa aturan bahasa Indonesia diperlukan untuk menginformasikan kandungan (gizi) produk pangan, serta tata cara konsumsinya untuk menghindari risiko kesehatan badan.
"Kalau bahasa di produk musik, apakah bahaya jika kita enggak tahu bahasanya? Karena musik sejatinya adalah bahasa, bahkan bahasa yang paling universal. Jadi, ketentuan tersebut enggak jelas peruntukannya," katanya pada kumparan baru-baru ini.
ADVERTISEMENT
Begitu juga dengan pasal yang mengatur hak cipta dan royalti sebagaimana Pasal 16 ayat 1 dan Pasal 41 mulai dari poin A hingga poin E.
Pasal ini dianggap tumpang-tindih dengan UU Hak Cipta yang sudah ada dan hanya tinggal disempurnakan. RUUP akan memproteksi hak cipta adan royalti musisi, dan ini sudah tanggung jawab Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).
Pernyataan KNTL RUUP
Secara keseluruhan RUU Permusikan dinilai KNTL RUUP menunjukkan kegagalan tim penyusun naskah akademik dan RUU Permusikan dalam merumuskan naskah akademik dan menyusun RUU yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Naskah akademik yang secara fundamental tidak memenuhi standar ilmiah sehingga tidak layak digunakan sebagai basis RUU.
ADVERTISEMENT
"Kekurangannya yang begitu fatal membuat merevisi adalah sebuah upaya yang sia-sia karena yang dibutuhkan adalah membuat ulang naskah ini agar dapat menjawab kebutuhan, melindungi, serta mendukung ekosistem permusikan di Indonesia," tulis KNTL RUUP dalam pernyataanya.
KNTL RUUP menemukan bahwa terdapat permasalahan pada hampir keseluruhan pasal yang ada. Masalah yang ditemukan mulai dari masalah substansi, disharmonisasi dengan peraturan perundang-undangan lain, potensi penafsiran ganda, hingga ketidakcermatan dalam perancangan pasal.
"Hampir semua pasal yang kami sisir di Daftar Inventarisasi Masalah (lebih dari 80 persen) problematis sehingga harus ditolak," tulis KNTL RUUP.
Pasal-pasal di dalam RUU ini tidak menjawab identifikasi masalah tentang kesejahteraan pekerja musik/pengaturan pemerintah dalam menjamin ekosistem musik yang adil. Justru pasal-pasal di dalam RUU ini berpotensi membatasi ruang gerak dan menyensor kebebasan berekspresi musisi.
ADVERTISEMENT
"Menimbang semua poin di atas, proses ini akan membutuhkan waktu dan partisipasi banyak pihak sehingga tidak bisa dilakukan secara terburu-buru. Ada baiknya juga sebagai konstituen kita memprioritaskan RUU yang lebih memiliki urgensi untuk segera dibahas di Prolegnas," tulis KNTL RUUP.
"Sekali lagi. Menegaskan bahwa menolak draft RUU Permusikan ini justru karena kami peduli dan tidak mau solusi untuk menjamin perkembangan dan kemajuan ekosistem musik di Indonesia prematur dan tidak berdasar pada kajian, diskusi dan partisipasi aktif para pekerja musik di Indonesia," tulis KNTL RUUP.
Tidak Paham Dunia Musisi Independen
Dari kuatnya penolakan yang disampaikan para musisi, rata-rata memang datang dari mereka yang bergerak secara independen. Ini artinya, menurut, Endah Widiastuti 'Endah n Rhesa' bahwa naskah RUU Permusikan tidak paham dunia para musisi independen.
ADVERTISEMENT
"Referensi pembuatan RUU (Permusikan) ini tidak paham gerakan dan napas kelompok bawah tanah," tuturnya.
Penyanyi Danilla Riyadi juga mengutarakan pendapat yang sama. Menurutnya Rancangan Undang-Undang yang ada justru membatasi dan menghambat proses kreasi dan justru merepresi para pekerja musik di Tanah Air.
"Memarjinalisasi musisi independen dan berpihak pada industri besar," ujar Danilla. Jika musisi independen lantang bersuara, berbeda dengan mereka yang bernaung dalam major label.
Lalu, kenapa suara para musisi independen jauh lebih terdengar dibandingkan mereka yang berkarya di jalur komersial?
Pengamat musik Bens Leo punya pendapat. Bens adalah orang yang mengawal perumusan RUU Permusikan sejak awal. Tak hanya dia, ada juga musisi lainnya seperti Ian Antono dan Ahmad Albar 'God Bless'.
Bisa dibilang, Bens Leo pro dengan kehadiran RUU Permusikan. Asal, RUU tersebut direvisi. Hal itu juga berlaku untuk musisi-musisi mainstream yang bungkam lainnya.
ADVERTISEMENT
"Saya kira yang menyetujui itu lebih banyak. Mereka yang enggak komentar soal RUU Permusikan sebenarnya mendorong untuk dilakukan revisi. Dibuang (pasal) yang enggak perlu dan ditambahkan yang penting," ucapnya pada kumparan.
Bens pun menjelaskan mengapa para musisi itu memilih untuk tidak berkomentar. Pertama, mungkin mereka tidak mengerti dari awal dan tidak mau secara frontal menyetujui.
"Armand Maulana sendiri sudah bicara kalau kita harus kumpul semuanya. Intinya, kalau kalimatnya seperti itu, teman-teman musisi ingin (RUU Permusikan) jangan di-drop karena ini menarik," jelasnya.
"Jika dari 50 pasal, ada 19 pasal bermasalah, sisanya kan bagus. Yang masalah banget itu kan sekitar 5-6 pasal yang sangat bermasalah. Pasal 5 itu kalau enggak perlu dihilangkan saja, itu kan yang paling sensitif," lanjut Bens.
Bens melanjutkan, kata 'wajib' dalam pasal juga sebaiknya dihilangkan. "Kata 'wajib' itu keliru, sebaiknya dihilangkan saja. 'Wajib' itu untuk siapa?" tuturnya.
ADVERTISEMENT
Bahkan, Bens memuji Anang dan menyebutnya sebagai seorang pejuang di dunia musik.
"Ini prestasi bagus untuk karena dia musisi yang banyak bicara di Komisi X. Anang itu berjuang untuk ini (RUU Permusikan), kalau gagal, kita rugi ini. Butuh UU untuk memayungi para musisi.
Selain itu, kata Bens, draft RUU Permusikan tidak sepenuhnya berisi pasal-pasal yang bermasalah. Malah, masih bisa ditambahkan beberapa pasal yang mengatur hak cipta aransemen sebuah karya musik.
Bens mengatakan hal ini karena ingat kasus Jerinx dengan Via Vallen yang terjadi beberapa waktu lalu. Kala itu, Via membawakan lagu 'Sunset di Tanah Anarki' yang diaransemen menjadi lagu dangdut tanpa meminta izin pada pihak Superman Is Dead terlebih dahulu.
ADVERTISEMENT
"Kasusnya Via Vallen dan Jerinx itu perlu diakomodasi menjadi suatu pasal. Musisi atau penyanyi tidak boleh mengaransemen uang tanpa izin penciptanya, itu harus masuk. Menurut saya, dicuri itu, dan belum ada pasal kayak gitu," kata Bens.
Demikian dengan Armand Maulana. Mewakili para personel Gigi, dia menyampaikan bahwa ada pasal-pasal di draft RUU Permusikan yang bagus untuk kemaslahatan musisi, seperti peraturan tentang perlindungan hak cipta.
Namun, Armand merasa DPR RI harus turut serta melibatkan musisi dalam proses penggarapannya agar tidak ada pasal karet atau tumpang tindih dengan undang-undang lain yang sudah ada di Indonesia.
“Iya, revisi dengan cara ngomongin lagi ke kita sampai sempurna. Sosialisasi deh, mau dibuat peraturan atau undang-undang apapun, sosialisasinya itu dari kemarin lemah banget. Setelah ramai (diperbincangkan), baru deh. Apa harus diramaikan dulu baru semuanya aware? Kan enggak lucu,” katanya.
Glenn Fredly sepakat dengan pendapat Armand dan menuturkan bahwa dalam proses penggarapan RUU Permusikan musisi harus lebih banyak dilibatkan. Ia pun mengimbau agar setiap pelaku industri musik, baik yang menginginkan revisi atau menolak RUU Permusikan, bisa terus mengawal proses terbentuknya RUU Permusikan.
ADVERTISEMENT
“Saya juga enggak setuju dengan pasal-pasal yang ada, tapi lihat semangatnya untuk bisa melihat ini mau ke mana nih? Berbicara tata kelola industri musik atau apa nih ke depan. Ini momentum yang baik untuk membicarakan tentang musik indonesia hari ini mau pun ke depan. Karena kalau bicara Indonesia dengan potensi yang ada, kalau enggak dikelola bagaimana kedaulatan musik Indonesia di negaranya sendiri,” ujar Glenn.
Seno M Hardjo, pemerhati musik dan produser, punya pendapatnya sendiri soal musisi independen akan suara lantang mereka terhadap RUU Permusikan.
"Musisi independen yang relatif lebih muda dan lagi on fire, punya reaksi yang lebih taktis, cepat, lantang, dan bebas bicara.
Namanya juga anak muda, menggelegak. Sangat bersemangat.
Mereka inilah musisi masa depan kita. Jangan pernah
memandang mereka dengan sebelah mata!" ujarnya.
ADVERTISEMENT
RUU Permusikan Dinilai Terlalu Dini untuk Ditolak
Dr. Inosentius Samsul, S.H., M.HUM., Kepala Pusat Perancangan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI, salah satu dari tim yang merumuskan RUU Permusikan, mengatakan naskah RUU Permusikan bukanlah kebenaran mutlak yang harus disahkan menjadi UU.
Membuat RUU dikatakannya sangat penuh dinamika, pandangan, dan kepentingan. Karena itu wajar jika dikritik, dan justru menjadi hal yang positif ketika mendapat respons besar.
"Kami membuat rangka dan kalian sebagai stakeholder utama (musisi) tinggal mengisi. Kalau ada kekurangan silakan bilang dan kami buka diri untuk berdiskusi dan memperbaiki naskah. Proses ini masih panjang. Ini hanya satu contoh UU di DPR RI," kata Inosentius.
Ia mengatakan, RUU Permusikan masih menjadi rencana. Sehingga jika dinilai masih ada yang kurang, bisa diperbaiki. Sehingga terlalu dini RUU Permusikan untuk diresahkan.
ADVERTISEMENT
"Intinya, ini masih rencana dan kalau ada yang kurang, bisa dicoret saja. Karena UU itu ada visinya, ada nasionalismenya. Ini masih produk awal, proses masih panjang," sambungnya.
Menurut Bens Leo, draft RUU Permusikan ini tidak perlu ditolak di DPR RI. Selain itu, Anang juga berjasa karena sudah menginisiasi RUU Permusikan pada DPR RI.
"Kasihan Anang. Anang telepon saya, "Mas, bantuin aku ngomong," ya, saya ngomong di mana-mana. Saya bicara juga itu keliru. Undang-undang itu penting sekali untuk melengkapi undang-undang hak cipta dan undang-undang kebudayaan," jelas Bens.
"(RUU Permusikan) masih bisa dibahas dan direvisi bersama, ada pasal yang dibuang dan ditambahkan. Ini bicara bersama, kumpul dulu, diundang rapat dengan DPR RI, revisi barengan," kata Bens.
Hal senada dikatakan Kepala Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) Triawan Munaf. Menurutnya perjalanan draft tersebut masih membutuhkan proses yang sangat panjang untuk hingga disahkan.
ADVERTISEMENT
"Menurut kami, dari pengamatan saya, draft kemarin beredar telalu awal, too early, masih jauh dari 'diketok'. Saya tentu tidak setuju dengan pasal-pasal yang membatasi kreativitas. Tidak akan lolos dari saya, lah. Khawatir boleh, tapi ini masih jauh, kok," jelas Triawan.