Baby Blues: Ancaman Bagi Ibu Muda

7 Februari 2017 14:08 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Ilustrasi baby blues (Foto: Thinkstock)
Suara tangis bayi memecah keheningan malam di sudut rumah Mutia Rahmah, Yogyakarta. Tangis yang ternyata tak kunjung berhenti itu lantas membuat perempuan yang baru melahirkan itu kebingungan.
ADVERTISEMENT
Mutia tidak tahu harus berbuat apa agar sang buah hati tak lagi menangis. Usahanya untuk menggendong, memberikan susu, hingga meninabobokan si bayi rasanya sia-sia. Bayi kecil di tangannya tetap saja menangis.
Sebagai ibu baru yang belum berpengalaman mengurus anak, Mutia sering kali menangis tanpa sebab. Rasa sakit pascamelahirkan, lelah fisik dan pikiran, menambah beban hati perempuan asal Lampung itu.
"Waktu itu lahiran normal, magrib. Awalnya mungkin kecapean. Mau istirahat di rumah, tamu banyak yang datang jadi nggak bisa istirahat," kata Mutia kepada kumparan, Jumat (4/2).
Mutia berusaha agar bisa menjadi ibu yang baik untuk anaknya, namun perasaan marah dan kecewa pada diri sendiri terus menggelayuti pikirannya.
"Kayak capek sendiri, terus selama beberapa minggu nangis terus. Kadang mikir, kok saya belum bisa jadi ibu yang baik. Ini anak mau diapain? Nangis kok didiamkan nggak bisa?" ucap Mutia, mengenang tumpukan rasa stresnya kala itu.
ADVERTISEMENT
Ilustrasi bayi menangis (Foto: Thinkstock)
Perasaan bersalah itu berlangsung selama kurang lebih satu bulan. Mutia sering emosi dan menangis tanpa sebab.
"Bingung. Nggak tahu harus apa. Dikit-dikit saya jadi ingin nangis," katanya.
Bersyukur, Mutia dapat dukungan penuh dari suami dan keluarganya. Masa-masa suram itu berhasil ia lalui. Bersama mereka, Mutia berhasil memberikan motivasi kepada dirinya sendiri untuk bisa menerima kondisi dia apa adanya, dan menjalani peran barunya sebagai ibu.
"Jadi healing diri sendiri. Kalau kayak gini terus, nanti kasihan bayinya," ujar Mutia.
Masa-masa sukar itu dialami Mutia 3,5 tahun silam saat melahirkan anak pertamanya. Kini Mutia tengah mengandung anak kedua. Usia kehamilannya mamasuki bulan ke-6. Ia merasa, di kehamilannya yang ke-2 ini, dia lebih siap menyambut sang buah hati. Dia sudah banyak belajar bagaimana menjadi ibu yang baik agar bisa merawat dan membesarkan anak dengan penuh kasih sayang.
ADVERTISEMENT
Senada dengan Mutia (30), Bilkis (28) juga mengalami hal serupa. Bedanya, Bilkis melahirkan secara caesar saat kandungannya masih berusia 32 minggu --kurang dua bulan dari waktu kelahiran normal-- karena didiagnosis preeklamsia, yakni tekanan darah meningkat secara drastis.
Bilkis dan anaknya, Gibran. (Foto: Dokumentasi pribadi)
Belum pernah terpikirkan oleh Bilkis bahwa ia akan melahirkan sang buah hati, Gibran, secara prematur dengan berat 1,40 kg dan panjang 35 cm. Dia merasa harapan hidup anaknya tipis. Hampir setiap hari dia harus bulak-balik ke rumah sakit untuk mengecek kondisi anaknya yang dirawat intensif di inkubator. Perasaan sedih dan khawatir acap kali hadir dan membuat dia menangis.
"39 hari Gibran dirawat di RSCM. Lelah karena harus pompa jam 5 pagi dan merasa produksi ASI nggak banyak. Sedihnya, saya harus bulak-balik rumah sakit dan tahu kalau Gibran kena infeksi usus dan kuning," kenang perempuan asal Makassar itu.
ADVERTISEMENT
Satu malam yang paling diingat Bilkis adalah saat dia sendiri di rumah. Malam itu pikirannya mulai melayang-layang tak jelas, memikirkan berbagai hal negatif, hingga membayangkan kondisi terburuk yang bakal menimpa anaknya.
"Ada satu masa di mana saat itu saya berpikir macam-macam, bagaimana kalau Gibran meninggal. Terus saya langsung nangis sekencang-kencangnya," kata Bilkis.
Bilkis lalu mencoba menghubungi temannya yang kebetulan seorang dokter. Kepada temannya itu, Bilkis menceritakan semua gundahnya.
"Teman saya bilang, jangan sendirian di kontrakan soalnya bisa banyak pikiran setan."
Setelah itu Bilkis rutin mengunjungi anaknya, sekedar untuk melihat sang buah hati yang berada di inkubator, atau mengobrol dengan sesama ibu yang bernasib sama dengannya di RSCM. Hingga akhirnya Gibran diizinkan pulang.
ADVERTISEMENT
Ilustrasi bayi di inkubator (Foto: Thinkstock)
Berharap semua kondisi akan lebih baik setelah sang buah keluar dari RS, namun ternyata ada hal lain yang membuat dia harus berjuang lebih keras. Mengurus anak, begadang, mencuci dan melakukan pekerjaan rumah lainnya.
"Pas Gibran pulang, saya merasakan drama begadang dan mompa setiap 2 jam. Masalahnya lebih ke stamina, jadinya kecapean. Bisa dibilang saya tidur cuma 1 jam doang. Ada satu malam saya drop. Gibran nangis sekencang-kencangnya terus saya cuma terbaring, blank. Rasanya capek, sudah nggak bisa apa-apa lagi," katanya.
Ilustrasi ASI (Foto: Thinkstock)
Masa-masa sulit itu berlangsung lebih dari 3 bulan. Untungnya semua bisa dilewati meski dengan perjuangan tak mudah. Dukungan suami, orang tua, dan teman-teman membuat Bilkis yakin semua masalah akan selesai.
ADVERTISEMENT
Sekarang, Gibran sudah berumur 10 bulan dan tumbuh dengan sehat. Bilkis juga sudah bisa menikmati perannya sebagai ibu dengan perasaan bahagia.
"Support suami, konsul ke teman yang lebih pengalaman, sama harus keras hati (untuk bangkit). Kalau ibu nggak keras hati, ya susah juga," kata Bilkis.
Apa yang dialami Mutia dan Bilkis banyak juga dialami perempuan lain yang baru melahirkan, meski tak semua kasusnya sama.
Perasaan marah, kecewa, dan merasa tak bisa menjadi ibu yang baik sering membuat seorang ibu menangis dan sedih tak berkesudahan tanpa alasan jelas.
Dalam dunia kedokteran, kondisi itu disebut dengan Baby Blues Syndrome. Kondisi ini, menurut Ketua Umum Sentra Laktasi Indonesia, Dokter Wiyarni Pambudi, SpA, IBCLC, terjadi ketika seorang perempuan tidak siap beralih peran dari istri menjadi ibu.
ADVERTISEMENT
"Baby blues syndrome itu kondisi perasaan tidak nyaman atau tidak siap beralih peran. Dia harus menanggung kesejahteraan orang lain, yakni bayinya sendiri," ucap dr Wiryani saat berbincang dengan kumparan di BJ Specialist Medical Centre, Jakarta Barat, Rabu (31/1).
Dokter Wiyarni Pambudi, SpA, IBCLC (Foto: Salmah Muslimah/kumparan)
Baby blues ada yang bersifat ringan dan berat. Baby blues ringan misalnya ibu merasa lelah mengurus bayi, merasa tidak punya waktu untuk diri sendiri, dan sering mengeluh.
Sedangkan Baby blues berat bisa mengarah ke depresi. Normalnya, baby blues berlangsung selama 2 minggu. Bila sudah lewat dari masa itu, harus segera berkonsultasi dengan dokter.
"Itu masuk ke kondisi patologis, sudah tidak bisa ditolerirlah, butuh bantuan. Kami menyebutnya depresi postpartum," ucap Wiryani.
Menurut dr Wiryani, sindrom baby blues bukan penyakit fisik, tetapi mental. Sehingga cara pengobatannya juga harus didukung dari diri pasien sendiri, suami, dan keluarganya. Pasien harus memiliki pemahaman bila perannya sudah berubah.
ADVERTISEMENT
"Kembali lagi ke persiapan, bayi itu nanti gimana sih. Bayi itu bakal nangis loh, bakal bikin begadang loh, persalinannya bakal menyakitkan loh. Kalau dia siap dengan kemungkinan baik dan jeleknya, baby blues bisa diredam," kata Wiryani.
Maka, jika kamu melihat seorang ibu yang seperti tak tahu harus berbuat apa hingga anaknya seakan terlantar, jangan lantas menghakimi.
Ulurkan tanganmu, mari saling membantu.
Bagaimana denganmu, wahai para ibu:
Ibu menyusui (ilustrasi). (Foto: Pixabay/gdakaska)