Sebenarnya, Perlu Nggak Sih Anak Mahir Matematika? Ini Kata Pakar

11 November 2018 13:52 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi anak berpikir berusaha memecahkan masalah. (Foto: Thinkstock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi anak berpikir berusaha memecahkan masalah. (Foto: Thinkstock)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Matematika kerap dijadikan tolok ukur prestasi seorang anak. Anak yang bisa matematika sejak dini sering dibangga-banggakan orang tuanya, karena dianggap pintar. Namun benarkah demikian?
ADVERTISEMENT
Nyatanya, kemampuan anak bermatematika tak hanya diukur dari kemampuan berhitung, Moms.
“Orang yang bisa berhitung belum tentu bisa matematika. Itu karena matematika juga mencakup soal menjelaskan nalar, idenfitikasi masalah, klasifikasi dan sebagainya,” kata Dhitta Puti Sarasvati, dosen matematika di Universitas Sampoerna kepada kumparan, di acara deklarasi dan diskusi panel 'Berantas Darurat Matematika', di Depok, (10/11).
Ya, menurut Dhitta, matematika yang sesungguhnya ialah bernalar, menjelaskan gagasan, dan menyelesaikan masalah. Bukan sekadar hitung-hitungan dan menghafal rumus saja.
Kemampuan matematika dasar seperti pertambahan, pengurangan, pembagian, dan perkalian memang perlu dipelajari oleh anak. Namun, pelajaran matematika lanjutannya (seperti aljabar, geometri, dan sebagainya) bukan berarti pula jadi hal yang wajib dipelajari anak.
Semua anak pada dasarnya punya kemampuan untuk bermatematika. Namun, kadangkala yang dipelajari di sekolah kurang sesuai dengan makna matematika itu sendiri.
Ilustrasi pelajaran matematika. (Foto: Thinkstock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pelajaran matematika. (Foto: Thinkstock)
Matematika yang diajarkan di kelas terpaku pada kurikulum, yang membuat seakan-akan matematika hanya soal angka dan hitungan semata. Dengan kata lain, pelajaran ini hanya berpusar pada angka dan rumus-rumus. Selain itu, ketika guru lebih mengutamakan hasil daripada nalar cara menjawab anak, itu juga bukanlah matematika yang sesungguhnya. Hal ini yang kerap disebut 'tidak ada matematika di kelas matematika yang biasa'.
ADVERTISEMENT
Contoh matematika yang sesungguhnya itu bisa dengan pemberian contoh kasus yang mampu membuat anak bernalar. Misalnya, pemberian materi soal tambah dan kurang, menggunakan kacang merah. Contohnya guru akan berkata, "ibu punya kacang merah 3, lalu ayah memberikan lagi 4. Berapa kacang merah yang ibu punya?"
Alasannya karena hal terpenting dalam belajar matematika adalah membuat anak paham dan dapat memaknai matematika dari berbagai sisi. Juga dapat menganalisa mengapa suatu masalah punya jawaban ini dan itu. Yang tak kalah penting lagi ialah bagaimana cara anak bisa memahami masalah di sekitarnya.
Penggunaan contoh kasus juga terbilang lebih menyenangkan, ketimbang sekadar menghafal rumus, Moms. Untuk itu, cara mempelajari matematikanya juga perlu disesuaikan agar anak lebih mudah mengerti dan tertarik.
Simbol Matematika (Foto: Pixabay/Pixapopz)
zoom-in-whitePerbesar
Simbol Matematika (Foto: Pixabay/Pixapopz)
Di sisi lain, seiring bertambah usianya anak dan tingkatan kesulitan mata pelajaran matematika, kerap membuat anak dan orang tua berpikir untuk tidak masalah, bila tidak terlalu mempelajari matematika karena tidak akan relevan dengan dunia pekerjaan kelak.
ADVERTISEMENT
Nah, hal itu kurang tepat juga, Moms. Itu karena ilmu matematika mungkin tidak langsung bisa dirasakan oleh anak.
Matematika tidak bisa diaplikasikan secara praktis. Kemampuan belajar matematika adalah kemampuan berpikir abstrak, jadi tidak harus selalu ada aplikasi praktisnya. Pengaplikasian matematika tidak bisa langsung, bisa saja baru diaplikasikan satu, dua, atau bahkan sepuluh tahun kemudian. Tapi, kemampuan dasar matematika dibutuhkan anak-anak dalam keseharian.
Penulis: Nanda Saputri