5 Persoalan Krusial Akibat Lemahnya Penanganan Narkoba di Indonesia

26 Juni 2018 17:10 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:08 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Rilis kasus narkotika ekstasi.  (Foto: Soejono Saragih/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Rilis kasus narkotika ekstasi. (Foto: Soejono Saragih/kumparan)
ADVERTISEMENT
Peringatan Hari Antipenyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika yang jatuh pada tanggal 26 Juni, seharusnya menjadi momentum bagi pemerintah untuk merefleksikan kembali capaian terhadap perang melawan narkoba. Meski gerakan antinarkoba terus digaungkan, masih terjadi sejumlah persoalan menyangkut pemberantasan barang haram tersebut.
ADVERTISEMENT
Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) FHUI dan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) dalam keterangan tertulisnya, Selasa (26/6) mencatat, pada Mei 2018 sebanyak 30.641 penghuni lapas merupakan pecandu narkoba. Hal ini merupakan fakta gagalnya penanganan narkotika.
Mereka menilai, UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika pada praktiknya justru menimbulkan setidaknya lima persoalan krusial.
Pertama, kurangnya sinergi mengenai kebutuhan rehabilitasi. UU Nomor 35 Tahun 2009 secara tegas menempatkan BNN sebagai lembaga koordinasi pelaksanaan kebijakan narkotika dengan Kementerian Kesehatan dan Kementerian Sosial sebagai pelaksana lapangan.
Persoalan kedua adalah lemahnya pengawasan peredaran prekursor atau bahan baku narkotika. Sementara masalah ketiga adalah persoalan penegakan hukum yang dianggap belum mencerminkan keadilan.
Mereka mencontohkan kasus penangkapan 28 pengguna 0.5 gram sabu. Padahal, jumlah minimal untuk melakukan proses peradilan untuk jenis sabu adalah 1 gram. Selain itu, penegak hukum cenderung mengenakan pasal berlapis untuk pengguna. Hal ini menutup peluang pelaku untuk mendapat keringanan hukuman.
ADVERTISEMENT
Alat bukti yang dipakai penegak hukum dalam menjerat pelaku pada umumnya hanya dua orang saksi yang merupakan penyidik dan surat periksa laboratorium. Lalu dalam mengadili kasus narkoba, hakim cenderung mengabulkan tuntutan jaksa tanpa pertimbangan dan analisa yang cukup kuat serta tidak mempertimbangkan pidana alternatif selain pemenjaraan.
Hukuman Mati Terpidana Kasus Narkoba Perlu Pengawasan Ketat
BNN ungkap sabu 25 Kg (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
BNN ungkap sabu 25 Kg (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
Kasus narkotika merupakan jenis perkara yang paling banyak dikenakan tuntutan pidana mati dibandingkan perkara pidana lainnya, yang sangat perlu diawasi. Hal ini menjadi masalah krusial keempat dalam penanganan narkotika di Indonesia.
MaPPI FHUI dan ICJR mencontohkan kasus narkoba WN Nigeria Humprey Ejike Jefferson yang telah dihukum mati pada 29 Juli 2016 silam.
Melalui investigasi Ombudsman, ditemukan adanya maladministrasi dalam pelaksanaan eksekusi mati terhadap Humprey yang tertuang dalam laporan Nomor 0793/LM/VIII/Jkt. Eksekusi mati tersebut dilakukan pada masa proses grasi berjalan, yaitu sebelum masa 72 jam notifikasi berakhir.
ADVERTISEMENT
Persoalan terakhir yang terjadi akibat lemahnya penanganan narkoba di Indonesia adalah overcrowding Lembaga Pemasyarakatan (Lapas). Kini ada 246.602 orang Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) yang menghuni Lapas dan Rutan di seluruh wilayah Indonesia. Padahal kapasitas Lapas dan Rutan hanya 124.162 orang.
Narkotika menyumbang hampir setengah penghuni lapas, padahal overcrowding mengakibatkan beban tinggi pada negara sehingga lapas tak mampu memenuhi hak para terpidana, khususnya pengguna dan pecandu narkotika yang membutuhkan penanganan kesehatan dan lingkungan yang sehat.
Pemerintah dianggap gagal melindungi korban narkotika. Pemerintah berulang kali menyebut, salah satu fokus penanganan narkotika adalah penyelamatan pecandu dan pengguna narkotika. Faktanya praktik penegakan hukum selama ini masih menempatkan pecandu dan pengguna narkotika dalam lapas.
ADVERTISEMENT
Karena berdasarkan data dirjen PAS Kemenkum HAM, pada Mei 2018 terdapat 30,641 penghuni lapas yang merupakan pengguna dan pecandu narkotika.
Oleh karena itu, MaPPI FHUI dan ICJR meminta pemerintah untuk mengevaluasi pelaksanaan UU Narkotika, pemperkuat pengawasan satu pintu untuk izin bahan baku narkoba, dan menghentikan pemenjaraan pengguna narkoba.