Agus Widjojo: Pertahanan Bukan Kerja Sambilan

18 Februari 2019 14:20 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional, Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo. Foto: Jafrianto/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional, Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo. Foto: Jafrianto/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo teguh meyakini, alat pertahanan negara harus profesional dan tak boleh ikut-ikutan dalam ranah sipil. Ia menganggap wacara revisi UU TNI untuk memperluas ruang gerak militer di kementerian atau lembaga negara, bukan solusi untuk mengatasi kelebihan perwira tinggi TNI.
ADVERTISEMENT
Agus ialah salah satu tokoh militer yang turut melahirkan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. UU yang mengandung semangat Reformasi itu mencabut konsep dwifungsi militer yang diterapkan Orde Baru pada ABRI. Aktivitas TNI pun difokuskan sebagai alat pertahanan negara, tak lagi memegang keamanan dan kekuasaan.
Meski begitu ia sadar, ikhtiar menjaga profesionalisme tentara dalam paradigma Reformasi kerap mendapat tantangan. “Sampai sekarang juga kan banyak yang tidak setuju reformasi teritorial tanpa mau terlibat dalam diskusi intens. Bahkan (saya) dianggap pengkhianat,” kata Agus.
Menurutnya, transformasi TNI masih tertatih, sebab tak disertai dengan penataan lembaga dan struktur yang memadai. Akibatnya, yang kini amat terasa, ialah banyak perwira tinggi menganggur.
Angka perwira non-job melonjak cepat, dari 11 jenderal TNI AD pada 2011 menjadi 63 perwira di tahun 2017. Bahkan kini, terdapat 150 perwira dari semua matra—AD, AL, maupun AU—yang tak memiliki posisi formal.
ADVERTISEMENT
Jika kelebihan perwira tersebut ditangani dengan menyalurkan mereka ke kementerian/lembaga negara, maka menurut Agus transformasi TNI justru berjalan mundur. Berikut perbincangan Agus dengan kumparan di kantor Lemhannas, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Jumat (15/2).
Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional, Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo. Foto: Jafrianto/kumparan
Bagaimana pendapat Anda atas wacana revisi UU TNI guna menyediakan posisi baru bagi para perwira non-job?
Penentuan perbantuan personel militer kepada instansi sipil itu pada jabatan-jabatan yang betul-betul membutuhkan kompetensi kepakaran dalam bidang pertahanan. Tapi jangan dipaksakan untuk bisa menduduki jabatan apa pun. Apalagi bidang yang sudah dipersiapkan kepakarannya untuk personel-personel sipil.
Pasal 47 ayat (2) UU TNI berbunyi, “Prajurit aktif dapat menduduki jabatan pada kantor yang membidangi koordinator bidang Politik Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Narkotik Nasional, dan Mahkamah Agung.”
ADVERTISEMENT
Kalau memang personel sipil sekarang belum kompeten dan ada sumber ketidakpuasan dari sipil sendiri untuk mendatangkan TNI, banyak yang kecewa, maka solusinya bukan dengan mendatangkan/memasukkan TNI. Latihlah sipil ini.
Kompetensi itu harus dibangun di kalangan sipil, bukan dengan membawa tentaranya masuk sana, bukan. Tentara sudah punya rumah tetap, tetapi kompetensi tentara ini harus ditularkan kepada sipil supaya sipil kinerjanya menyamai tentara.
(Kalau tentara) mengurus fungsi pertahanan yang secara mutlak belum beres, bagaimana bisa mengurus kepentingan orang lain.
Banjir Perwira Tinggi TNI Infografik: Basith Subastian/kumparan
Apakah reformasi TNI mengantisipasi ledakan jumlah perwira?
Pada waktu itu kami hanya berpikir pada tingkat gagasan. Banyak sih struktur yang diperlukan dalam melaksanakan tugas TNI. Seperti misalnya sekarang struktur komando gabungan wilayah pertahanan yang dibekukan pada 1982 itu memang diperlukan. Karena menurut doktrin TNI, operasi militer hanya bisa dilaksanakan di bawah komando gabungan. Jadi tidak bisa dilaksanakan oleh angkatan sendirian—AD sendiri, AL sendiri, AU sendiri.
ADVERTISEMENT
Nah, itu diperlukan sekarang. Karena waktu dulu dibekukan. Pada waktu dibekukan itu, fungsi dan kewenangan untuk menyelenggarakan dan mengendalikan operasi militer pada Kowilhan (Komando Wilayah Pertahanan). Komando itu dititipkan pada Kodam, yang sebenarnya Kodam itu adalah Komando Pembinaan.
Upacara Gelar Operasi Penegakan Ketertiban dan Yustisi Polisi Militer TNI 2019 di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Tetap intinya adalah kami berpikir peran dan kewenangan. Kami tidak berpikir tentang kebijakan. Karena pada tingkat MPR dan DPR waktu itu, kami berbicara soal UU, peran dan kewenangan. Masalahnya adalah, apakah masih bisa TNI memiliki peran dan kewenangan yang meluas—lebih luas dari fungsi pertahanan nasional? Karena Undang Undang Dasar 1945 tidak pernah mengamanatkan dwifungsi.
Dan seperti kita paham, masa transisi itu berlangsung begitu cepat. Semua dikejutkan dengan pengunduran diri presiden Soeharto sehingga kita tidak punya waktu banyak. Kita memberlakukan prioritas—mana yang paling prioritas, itu kita lakukan dulu.
Soeharto saat menyatakan berhenti sebagai Presiden RI pada Mei 1998. Di belakangnya, terlihat Wiranto di belakangnya. Foto: Reuters.
Pada 2004 kita sudah mulai melaksanakan praktik politik berdasarkan hasil amandemen dengan pemilihan langsung. Maka di situ kewenangan dikembalikan pada otoritas politik untuk melanjutkan dengan kebijakan.
ADVERTISEMENT
Pertentangan apa yang mengemuka ketika wacana reformasi TNI bergulir?
Reformasi TNI dilaksanakan karena Indonesia memasuki sistem politik yang demokratis. Praktik politik harus dilaksanakan dalam kaidah demokrasi, tidak terkecuali fungsi pertahanan. Itu adalah asumsi dasar.
Kita harus melihat secara umum “roh” yang berlaku secara umum di masyarakat. Era Orde Baru ke belakang, masyarakat dimanjakan oleh pemerintahan Soeharto dan ABRI. Soeharto memberikan yang terbaik buat masyarakat. Semua diselesaikan oleh ABRI. Sipil kurang diberi kesempatan untuk membangun pengalaman dan kompetensi.
Nah, ketika terjadi pengunduran diri Presiden Soeharto, kita sadar memasuki era demokrasi. Kita bertanya, sebetulnya, apakah bisa dwifungsi dipaksakan masuk ke dalam demokrasi? Dan juga kalau kita melihat sebuah pertanyaan yang sifatnya lebih esensial, apa sih makna pengunduran diri Soeharto dengan masuknya kita kepada transisi demokrasi?
ADVERTISEMENT
Soeharto adalah figur terakhir dari angkatan ‘45.
Nah, jadi pada waktu itu memang nuansa yang kuat adalah pertahankan ABRI dan dwifungsi. Dari kaum politisi sipil, mereka justru menghendaki pertahankan ABRI di MPR sampai tahun 2009. Padahal kita tahu tahun 2004 sudah harus masuk ke dalam sistem politik berdasarkan amandemen UUD ‘45 yang sudah semakin demokratis melalui pemilihan langsung.
Maka muncul inisiatif untuk melaksanakan reformasi TNI dari dalam TNI sendiri, untuk lebih menyesuaikan TNI pada konteks tentara profesional dalam sistem politik demokratis.
Jokowi mengunjungi Mabes TNI. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Apakah pelaksanaan reformasi TNI melalui UU Nomor 32 Tahun 2004 sudah memenuhi harapan?
Sebenarnya UU TNI itu sudah cukup jelas, tapi orang mungkin melupakan, atau sengaja melupakan, atau pura-pura tidak tahu.
ADVERTISEMENT
Setelah UU membuat daftar tentang tugas-tugas yang bisa dilakukan oleh TNI, baik tugas militer perang maupun tugas militer selain perang, dalam pasal di bawah itu dikunci—semua tugas di atas dilaksanakan berdasarkan kebijakan pemerintah.
Jadi TNI sebagai komponen bangsa sebenarnya dirancang untuk perang, mengatasi ancaman dari luar.
Mengapa tidak dari dalam? Karena dari dalam kita sudah punya sistem hukum nasional. Jadi bukan dengan mengerahkan TNI kalau (ancamannya) dari dalam. Ancaman dari dalam ditepis dengan penegakan hukum yang efektif.
Sehingga ketika tidak ada perang, TNI pun bisa digunakan untuk tugas apa pun yang dipertimbangkan dalam pencapaian kepentingan nasional berdasarkan kebijakan pemerintah. Artinya berdasarkan keputusan politik presiden.
Apakah berarti keputusan (presiden) tidak harus benar? Hal itu akan menjadi bagian dari proses politik yang dikontrol oleh DPR. (DPR dapat) mempertanyakan kepada eksekutif, “Mengapa Anda mengambil keputusan itu?” Jadi sudah lengkap sebenarnya dalam UU
Pasukan TNI menyanyikan yel-yel di apel kesiapan dalam rangka pengamanan Natal, Tahun Baru, Pileg dan Pilpres 2019. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Beberapa waktu belakangan, TNI banyak dilibatkan dalam program pemerintah, mulai dari soal infrastruktur, lingkungan, sampai pertanian. Apakah kompetensi TNI tepat dalam bidang-bidang yang menjadi program pemerintah itu?
ADVERTISEMENT
Masalahnya bukan hanya kompetensi. Pertama adalah prosedur dan mekanisme, apakah itu berasal dari Keputusan Presiden? Kalau berasal dari Keputusan Presiden, sah dia. Tetapi juga kita perlu melihat apakah perlu dilakukan oleh TNI. Lantas di mana kementerian fungsional kok tidak bisa melaksanakan tugas pokoknya.
Semua bermuara kepada Presiden, sebab untuk melaksanakan operasi perang, nggak bisa diputuskan Panglima TNI yang tidak mendapat mandat rakyat karena tidak dipilih oleh rakyat. Dalam demokrasi, pejabat yang dipilih oleh rakyat itu selalu lebih sakti dari pejabat yang diangkat.
Dalam tugas perang mempertahankan kedaulatan dan integritas wilayah nasional, kalau memang ada negara yang menginvasi, itu harus berdasarkan keputusan politik, idahului pernyataan perang presiden yang disetujui oleh DPR.
ADVERTISEMENT
Ada pula tentang tertib administrasi. Anggaran dari mana? Dalam tertib administrasi, anggaran akan selalu ditelusuri kembali—anggaran ini dilaksanakan berdasarkan keputusan siapa; keputusan apakah berada dalam visi misi organisasi?
Anggota TNI membersihkan sampah yang tersangkut di Jembatan Kalijogo, Dusun Karang Wetan, Tegaltirto, Berbah, Sleman, Yogyakarta. Foto: ANTARA/Hendra Nurdiyansyah
Ketentuan Operasi Militer Selain Perang (OMSP) menjadi alasan keterlibatan TNI dalam aktivitas di luar kemiliteran. Bagaimana cara mengontrolnya agar tidak berlebihan?
Dalam demokrasi itu yang penting adalah prosedur dan mekanisme. Selama itu diputuskan oleh presiden, saya katakan sah itu—tugas apa pun yang diberikan oleh presiden kepada TNI. Soal mau dipertanyakan, silakan tanya DPR. Tapi yang pertama, buat TNI yang penting adalah keabsahan perintah. Mau buat apa (perintah tersebut), itu hak prerogatif presiden.
Tapi kalau yang memerintahkan misalnya Kodam Jaya, walaupun itu benar, nggak bisa. Tidak sah. Karena Kodam Jaya, Pangdam Jaya, tidak punya kewenangan untuk membuat keputusan politik. Panglima TNI juga tidak bisa. Itu harus datang dari presiden.
Anggota TNI dan Polri dibantu warga mengubur jenazah korban bencana tanah longsor di Kecamatan Manuju, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Foto: ANTARA/Abriawan Abhe
Ada kekhawatiran jika peran TNI meluas lagi, ia akan kembali ke masa Dwifungsi ABRI. Pendapat Anda bagaimana?
ADVERTISEMENT
Wajar kekhawatiran seperti itu, apabila ini menjadi lepas kendali. Wajar, karena ini sudah menyimpang dari roh tata negara demokratis. Dan supaya kita menjadi negara yang semakin maju, kita harus lebih tertib administrasinya, harus lebih memikirkan kompetensi profesionalisme dalam bidang masing-masing.
Tentara itu dilatih sejak awal untuk berperang, membunuh musuh. Bukan untuk menangani fungsi-fungsi kementerian. (Kalau untuk) itu, PNS bisa lebih dilatih dengan mengikuti pendidikan berjenjang.
Jadi, banyak pertimbangan yang perlu diperhatikan yang akan berpengaruh ke situ. Mana ada sih negara yang semaunya saja menempatkan tentara di jabatan-jabatan sipil? Nggak ada, karena mereka memikirkan efisiensi.
Presiden Jokowi (tengah, berjas hitam) didampingi Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto dan KSAD Jenderal TNI Mulyono,berfoto bersama ribuan Bintara Pembina Desa (Babinsa) pada Apel Besar Babinsa di hanggar KF-X PT DI, Bandung. Foto: ANTARA/M Agung Rajasa
Ketika tentara beraktivitas di luar kemiliteran, apakah itu membebani tugas TNI selaku alat pertahanan negara?
ADVERTISEMENT
Ya jelas. Kaidah organisasi mengatakan kita harus fokus kepada tupoksi (tugas, pokok, fungsi). Nggak ada tupoksi profesionalisme yang sifatnya sambilan. Kalau gitu nanti, pertahanan itu bisa dijadikan kerja sambilan. Belum lagi tertib administrasi, anggaran, dari mana kalau TNI melaksanakan tugas-tugas di luar fungsi pertahanan?
Karena konstitusi mengamanatkan tugas, peran, dan kewenangan pertahanan nasional kepada TNI. Kalau TNI mengerjakan fungsi-fungsi lain, maka menurut tertib anggaran, anggaran siapa itu? Kalau anggaran dari luar, bagaimana bisa dipakai oleh TNI? Kalau anggaran TNI, bagaimana kok bisa digunakan untuk melaksanakan kegiatan di luar tupoksi TNI?
Semua itu harus konsisten, sesuai tatanan yang berlaku dalam adminstrasi kenegaraan.
ADVERTISEMENT