Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Mahkamah Agung (MA) merespons upaya terdakwa kasus pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Ekonomi (UU ITE) Baiq Nuril, yang ingin mengajukan permohonan pengampunan hukuman atau amnesti kepada Presiden Joko Widodo. Permohonan diajukan setelah MA menolak Peninjauan Kembali yang diajukan Nuril.
ADVERTISEMENT
Juru bicara MA Andi Samsan Nganro menyatakan, Nuril punya hak untuk mengajukan amnesti. MA tidak akan terlibat dalam proses pertimbangan pemberian amnesti untuk mantan pegawai honorer itu.
"Kalau itu menempuh permohonan amnesti atau abolisi hakiyah atau hak pemohon Ibu Baiq Nuril mengajukan itu haknya, dan itu diatur sebagai hak presiden, wewenang sebagai kepala negara dia bisa mencampuri urusan yudikatif," ujar Andi di gedung MA, Jakarta, Senin (8/7).
Dia menerangkan, dalam amnesti yang dimohonkan Nuril kepada Jokowi, nantinya akan sepenuhnya keputusan Jokowi. Namun, sebelum memutus hal tersebut, Jokowi perlu mendengar pertimbangan dan penilaian DPR.
"Itu diatur. Kalau grasi dan rehabilitasi, itu pertimbangan hukum sebelum presiden, itu membaca dan memperhatikan MA, tapi kalau amnesti dan abolisi tidak ada lagi pendapat di MA karena UU menunjuk itu ada di DPR kemudian bersama berkas itu menyertai ke presiden. Jadi kalau menempuh amnesti yang berikan pendapat atau pertimbangan adalah DPR," terangnya.
ADVERTISEMENT
Dia menjelaskan, PK Baiq Nuril ditolak lantaran dinilai bahwa putusan sebelumnya yakni kasasi MA telah sesuai menurut hukum. Menurut dia, tidak ada kekhilafan hakim atau kekeliruan hakim dalam putusan kasasi. Putusan kasasi dinilai sudah tepat dan benar dalam pertimbangan hukumnya.
Majelis hakim menilai Baiq telah terbukti melanggar UU ITE dengan menyebarkan rekaman percakapan diduga asusila dengan Kepala SMAN 7 Mataram, Muslim.
Kasus Baiq Nuril mencuat pada Desember 2014. Saat itu, seorang rekan Baiq Nuril bernama Imam Mudawin meminjam telepon genggamnya dan menemukan rekaman pembicaraan yang diduga ada percakapan asusila antara Nuril dan Muslim, lalu menyalinnya.
Setelah disalin, rekaman itu seketika menyebar luas ke sejumlah guru maupun siswa. Muslim yang saat itu berstatus sebagai kepala sekolah, ketar-ketir dan malu lantaran namanya merasa dicemarkan. Dia melaporkan Nuril ke polisi.
ADVERTISEMENT
Atas laporan itu, Nuril sempat menjadi tahanan di Polda NTB. Kasus tersebut kemudian disidangkan di Pengadilan Negeri Mataram. Majelis hakim membebaskan Nuril dari semua dakwaan.
Majelis hakim PN Mataram tidak menemukan unsur pidana pelanggaran UU ITE. Nuril cukup lega dengan hasil putusan pengadilan tingkat pertama itu. Sayangnya, jaksa penuntut umum langsung mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.
Pada 26 September 2018, majelis hakim kasasi mengabulkan permohonan jaksa penuntut umum. Baiq Nuril lalu dijatuhi penjara enam bulan. Tak terima, Baiq Nuril kemudian mengajukan PK pada awal Januari 2019, namun ditolak.
Majelis hakim yang menangani perkara PK, Suhadi sebagai ketua, Margono dan Desnayeti yang masing-masing sebagai anggota. Hakim menyatakan permohonan PK Baiq Nuril tidak memenuhi syarat, dan putusan kasasi MA telah sesuai menurut hukum.
ADVERTISEMENT