Lipsus Babat Alas demi Ibu Kota, Cover Collection

Ambisi Jokowi Membangun Ibu Kota Baru

2 September 2019 12:11 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Lipsus Babat Alas demi Ibu Kota. Foto: Indra Fauzi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Lipsus Babat Alas demi Ibu Kota. Foto: Indra Fauzi/kumparan

Empat bulan setelah meminta Bappenas mengkaji calon ibu kota negara baru di luar Jawa, Joko Widodo mengumumkan pilihannya yakni Kalimantan Timur. Ia pun meminta Bappenas dan kementerian terkait untuk segera merampungkan berbagai kajian yang belum tuntas. Apakah keputusan pemindahan ibu kota baru terlampau cepat dan tergesa?

“Saya ingat titik ini di mana Pak Presiden sreg dengan lokasi ini. Maka saya kasih tanda botol, biar ingat. Nantinya, kalau benar akan dibangun pusat ibu kota, akan saya bangunkan monumen di titik botol ini.”
Niat Camat Manuhing, Sugiarto, untuk membangunkan monumen di titik tempat Presiden Joko Widodo berkata mendapat feeling membangun ibu kota baru, gugur sudah. Padahal Sugiarto telah memberi tanda dengan menancapkan botol kosong di salah satu titik lokasi yang dikunjungi Jokowi ketika meninjau salah satu lokasi calon ibu kota di Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, pada awal Mei lalu.
Meski telah menyodorkan tiga pilihan kabupaten beserta luas lahan dan berbagai keunggulan, Kalimantan Tengah kalah oleh Kalimantan Timur yang akhirnya dipilih sebagai lokasi ibu kota baru.
“Pemerintah telah lakukan kajian mendalam dan kita intensifkan studi dalam 3 tahun terakhir. Hasil kajian menyimpulkan lokasi ibu kota baru yang paling ideal adalah di sebagian kabupaten Penajam Paser Utara dan sebagian di kabupaten Kutai Kartanagara Provinsi Kalimantan Timur,” kata Jokowi di Istana Negara pada Senin, 26 Agustus.
Pernyataan tersebut tak ayal membuat Gubernur Kalimantan Timur Isran Noor tampak semringah. Ketika ditemui kumparan dua hari setelah pengumuman, Isran berkata bahwa dirinya kaget karena daerahnya lah yang terpilih. “Baru tahu di situ, pas hari Senin diumumkan Bapak Presiden. Baru tahu di situ,” ucapnya seraya menebar senyum.
Gubernur Kalimantan Timur, Isran Noor di Kantor Pemprov Kalimantan Timur, Rabu (28/8). Foto: Dwi Herlambang Ade Putra/kumparan
Keputusan Jokowi untuk memindah ibu kota memang terbilang cepat, jika tak bisa disebut tergesa. Empat bulan setelah Rapat Terbatas pertama terkait pemindahan ibu kota berlangsung pada 29 April, Jokowi sudah menunjuk daerah mana yang akan dijadikan ibu kota baru.
Ia juga meminta Bappenas dan kementerian terkait untuk segera merampungkan berbagai kajian yang belum tuntas. Mulai dari kajian kebencanaan, daya dukung lingkungan, sosial ekonomi, dan juga pertahanan keamanan. Bersamaan dengan itu, penyusunan naskah akademis undang-undang baru tentang ibu kota dan berbagai revisi undang-undang yang diperlukan pun dikebut.
Semua harus selesai paling telat tahun depan, sebab rencananya pada 2021 ground breaking pembangunan ibu kota baru akan dimulai. Sehingga paling telat pada 2024, pusat pemerintah sudah mulai bisa beroperasi di sana.
Lipsus Ambisi Jokowi Foto: Basith Subastian/kumparan
Cepatnya pengambilan keputusan pemindahan ibu kota ini menuai kritik dari berbagai pihak. Ekonom senior Didik Junaidi Rachbini misalnya berkata bahwa, “Pemindahan ibu kota ini program gagah-gagahan, begitu terpikir langsung diperintahkan. Ini bukan Bandung Bondowoso. Bangun ibu kota ini kan bukan seperti bangun kontrakan, kita nggak boleh mengelola negara seperti ini, ini harus dikritik,” ucapnya dalam sebuah agenda diskusi di Jakarta pada 25 Agustus.
Kritik lainnya muncul dari mantan menteri era Orde Baru Emil Salim yang menilai sebaiknya pemerintah lebih fokus pada peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) demi memanfaatkan bonus demografi di masa mendatang.
“Kalau kita lihat sejarah bangsa maju karena human resources, kenapa kita tidak tempuh jalur ke sana? Nah itu yang saya tidak mengerti,” ucapnya dalam diskusi publik yang digelar oleh Indef (Institute for Development of Economics and Finance) pada Jumat (23/8).
Selain melaksanakan diskusi, Indef sebagai lembaga riset independen di bidang ekonomi dan pembangunan juga melakukan kajian ekonomi terkait dampak dari pemindahan ibu kota. Berdasar hasil kajiannya, pemindahan ibu kota tidak berdampak apa pun terhadap PDB (Produk Domestik Bruto)—salah satu metode menghitung pendapatan nasional berupa nilai pasar semua barang dan jasa yang diproduksi oleh suatu negara dalam periode tertentu.
“Keuntungannya adalah memang untuk regional sendiri, Kalimantan Timur sendiri,” ucap salah satu tim peneliti pemindahan ibu kota Indef, Rizal Taufikurahman. Dalam rilis hasil kajiannya, Indef juga menyimpulkan pemindahan ibu kota belum tentu mengurangi ketimpangan di provinsi tujuan malah memungkinkan terjadinya inflasi. Sebab, konektivitas yang belum terbangun antara daerah ibu kota baru dengan provinsi lain.
“Inilah yang ingin kita sampaikan ke pemerintah, supaya hati-hati terhadap economic loss-nya ini. Dan pemerataan pembangunan yang diharapkan itu, kemungkinan enggak akan terjadi,” ujar Rizal saat ditemui kumparan di sela kesibukannya mengajar, Selasa (27/8).
Ia berharap Bappenas membuka ruang diskusi terkait dampak ekonomi pemindahan ibu kota ini. “Karena dari Bappenas kan dampak positifnya aja tuh yang disampaikan, yang economic loss-nya enggak dibuka.” Baginya, pemindahan ibu kota bukan semata keputusan sepihak dari pemerintah saja.
“Harusnya kan diuji publik, melibatkan akademisi, masyarakat, juga pengusaha. Apalagi ini kebijakan yang sangat strategis untuk masa depan, untuk anak cucu kita,” ucap Rizal. Selain itu, ia berpandangan bahwa resistensi terhadap pemindahan ibu kota tidak akan sedemikian kuat jika perekonomian tengah dalam kondisi mapan dan stabil.
“Ekonomi kita dari sisi makro kan sedang lesu, bahkan target-target APBN juga kan tidak tercapai. Bahkan kemarin Ibu Sri Mulyani menyatakan juga defisit APBN kita membengkak di bulan Juli ini. Lalu tiba-tiba harus pindah ibu kota,” pungkasnya.
Menanggapi berbagai kekhawatiran tersebut, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Bambang Brodjonegoro tampak santai menanggapi. “Kalau melihat dampak perpindahan ibu kota tidak bisa melihat hanya dampak pada satu tahun dan dua tahun pertama. Dampak harus dilihat ada jangka pendek, menengah, dan panjang,” ujarnya saat ditemui di sela agenda rapat bersama DPR, pada Kamis (29/8).
Ia pun mencontohkan Brasilia yang dibangun Brazil untuk menggantikan Rio de Janeiro sebagai ibu kota. “Ketika (ibu kota Brazil) dipindah pertama kali mungkin kelihatannya tidak ada dampak karena penduduknya hanya 130 ribu pada tahun 1960an. Tapi pada tahun 2019, kota itu sudah menjadi kota ketiga terbesar, pusat ekonomi di wilayah Amazon—pedalaman Brazil, dan penduduknya sudah 4,5 juta. Jadi otomatis makin panjang umur kota tersebut dampak ekonominya makin lama makin besar.”
Brasilia yang disebut Bambang kini memang tumbuh makin buas. Sang arsitek, Oscar Niemeyer, bahkan mengungkap keresahannya melihat pertumbuhan Brasilia sejak 2008 pada The Guardian. Ia berkata, “Cara Brasilia berevolusi menyimpan masalah. Seharusnya ia berhenti tumbuh beberapa waktu lalu. Sekarang lalu lintas menjadi lebih sulit, jumlah penduduk telah melampaui target. Batas terlewati.”
Pertumbuhan kota yang tak terkontrol dan sedemikian ganas itu diduga menjadi salah satu faktor pemicu kebakaran besar di hutan Amazon tahun ini. Kegiatan ekonomi mulai dari pertambangan, penebangan kayu, pembukaan ladang baru, hingga perumahan dan pembangunan jalan disebut sebagai salah satu faktor laju deforestasi sedemikian tinggi di paru-paru dunia tersebut.
Potret udara bekas tambang batu bara di Kecamatan Samboja, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Foto: Faiz Zulfikar/kumparan
Kekhawatiran serupa itu kini dirasakan oleh para aktivis lingkungan. Rencana pembangunan ibu kota di lahan seluas 180 ribu hektare di Kalimantan Timur menuai sejumput resah terkait nasib hutan Borneo di masa mendatang.
“Di Kaltim ini sebenarnya kerusakan lingkungan sudah cukup besar… Sudah banyak alih fungsi lahan dari hutan menjadi konsesi tambang atau perkebunan sawit,” ucap Hafidz Prasetyo selalu Kepala Departemen Advokasi Walhi Kalimantan Timur. “Apalagi kalau ditambah dengan pemindahan ibu kota.”
Ia menyayangkan tak adanya jajak pendapat atau kajian yang mendorong partisipasi masyarakat dalam wacana pemindahan ibu kota. “Yang ada justru hanya rayuan dan buaian kalau nanti jadi ibu kota akan ada perbaikan ekonomi dan infrastruktur. Akhirnya warga tak memikirkan dampak-dampaknya.”
Calon Ibu Kota Baru Foto: Basith Subastian/kumparan
Rasa khawatir itu bukan tanpa alasan. Sebab Kajian Lingkungan Hidup Strategis pemindahan ibu kota ini baru akan mulai dikerjakan. “Akan kita kaji secara cepat. Ibu Menteri (Siti Nurbaya) menyampaikan waktu dua bulan untuk preliminary assessment,” ucap Laksmi Wijayanti selaku pelaksana tugas Inspektur Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan kepada kumparan.
Sebagai pelipur resah, pihak pemerintah kerap menyampaikan bahwa konsep ibu kota mendatang adalah green and smart city. Demi meyakinkan janji tersebut, pemerintah berkata bahwa 50 persen area ibu kota berupa ruang terbuka hijau.
Menteri PPN/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Bambang Brodjonegoro di Kantor Kementerian PPN, Jakarta. Foto: ANTARA FOTO/Wahyu Putro
“Kita pastikan bahwa di lokasi yang terpilih tersebut tidak ada pengurangan hutan lindung, kemudian tidak ada gangguan terhadap air segala macam,” ujar Bambang menegaskan.
Ia berjanji pemindahan ibu kota justru menjadi waktu untuk rehabilitasi lingkungan yang rusak dan tercemar di Kalimantan Timur, termasuk ratusan lubang tambang yang masih menganga di sana.
“Rehabilitasi hutan, artinya reforestasi bukan deforestasi,” pungkas Bambang.
Namun keraguan tetaplah timbul, bagaimana caranya ibu kota sebuah negara yang diyakini akan berkembang baik secara organik ataupun tidak mampu menciptakan reforestasi.
“Ya alasan pemerintah kan ya dengan kota hijau. Saya pikir enggak masuk logika. Terkadang pemerintah mengatakan RTH, itu hanya sebuah taman. Kalau bagi kami ya harus hutan, bukan sekadar rimbun tapi hutan dengan segala kerapatan jarak antar pohon dan keanekaragaman hayatinya,” ujar Hafidz.
Apalagi demi mengejar target rampungnya ibu kota sebelum masa pemerintahan Jokowi selesai, pembangunan akan dilakukan dengan prinsip design and build.
“Konsepnya adalah design and build. Jadi tidak menunggu desainnya siap dulu, tapi nanti desain dengan proses konstruksi dilakukan berbarengan. Itu prinsip design and build,” kata Direktur Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Danis Hidayat Sumadilaga, saat ditemui kumparan di kantornya, pada Kamis (29/8).
Presiden Joko Widodo (tengah) didampingi Wapres Jusuf Kalla (kanan) dan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Sofyan Djalil memberikan keterangan pers terkait rencana pemindahan Ibu Kota Negara di Istana Negara, Jakarta. Foto: ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay
Kini, sembari ngebut merampungkan berbagai kajian dan rancangan awal, pemerintah juga menarget segala persoalan regulasi dapat diselesaikan dalam kurun satu tahun. Setidaknya dibutuhkan satu instruksi presiden tentang pemindahan ibu kota, peraturan presiden soal pembentukan badan otorita ibu kota negara, undang-undang baru ibu kota negara, dan revisi minimal lima undang-undang terkait yang diperlukan agar pemindahan ibu kota bisa segera berjalan.
Di tengah karut marut sistem jaminan kesehatan masyarakat, konflik di Papua, ancaman terhadap kredibilitas KPK, lesunya perekonomian, dan intimidasi dalam kehidupan berdemokrasi, ambisi Jokowi mencipta ibu kota baru terus melaju.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten