Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.1
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Menurut Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Bidang Hukum dan HAM itu, kebijakan baru pemerintah tersebut kebablasan dan berpotensi besar mengotak-otakkan bahkan memecah belah umat Islam.
“Ini politik belah bambu pemerintah era Jokowi,” tuding Busyro. Artinya, ada pihak yang diangkat, sedangkan yang lain dijatuhkan.
Busyro mencatat empat poin negatif dari kebijakan daftar rekomendasi mubalig, yakni cenderung diskriminatif, berpotensi mengadu domba, menciptakan kecurigaan terhadap mubalig yang tidak disertifikasi, dan karenanya: penuh kepentingan politik.
Mantan pemimpin KPK itu berpendapat, pemerintah mestinya tak terlibat terlalu jauh dalam urusan keagamaan. Ia bahkan membandingan sertifikasi mubalig dengan kebijakan kontrol mubalig pada era Soeharto .
“Ada gejala-gejala pengulangan seperti Orde Baru, dan ini mengerikan,” kata dia kepada kumparan, Rabu (23/5).
ADVERTISEMENT
Busyro bercerita, di era Orde Baru , setiap mubalig yang hendak mengisi ceramah perlu mengantongi surat izin Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban. Kopkamtib pada masa itu macam jantung kekuasaan yang berfungsi sebagai kontrol intelijen.
“Nah, apa bedanya SIM--Surat Izin Mubalig--di era Orde Baru dengan sertifikasi ini? Beda nggak? Sama substansinya,” ujar Busyro.
Tahun 1978, Departemen Agama mengawasi dakwah lewat beberapa regulasi, yakni Peraturan Menteri Nomor 44 Tahun 1978, Peraturan Menteri Nomor 9 Tahun 1978, dan Peraturan Pengganti Nomor 3 Tahun 1978.
Berdasarkan aturan-aturan tersebut, isi khotbah yang akan disampaikan kepada lebih dari 300 orang jemaah, termasuk lewat radio, harus disaring dan diseleksi lebih dulu oleh Departemen Agama dan MUI.
Kecemasan Busyro ditepis oleh Ketua MUI Ma’ruf Amin . “Sertifikasi mubalig itu tidak menjadi semacam SIM (Surat Izin Mubalig di era Orba). Bukan. Hanya tanda bahwa dia seorang mubalig.”
ADVERTISEMENT
Nantinya, untuk beroleh sertifikat dari MUI, seorang mubalig mesti memiliki beberapa kualifikasi tertentu. Pertama, ia memang bersedia memegang sertifikat tersebut. Kedua, memenuhi kriteria khusus, yakni tak bermasalah.
Tak bermasalah, menurut Ma’ruf, yakni memiliki kompetensi keilmuan sebagai mubalig, tak bermasalah dengan pemerintah, dan tak punya perkara hukum.
Sementara Ketua Komisi Dakwah MUI Cholil Nafis menjelaskan sedikit berbeda. Untuk mendapatkan sertifikat, ujarnya, seorang mubalig harus memenuhi tiga kriteria: punya kompetensi keagamaan mumpuni, punya wawasan dan komitmen kebangsaan, serta punya akhlak yang mulia.
Meski kriteria sertifikasi masih belum permanen, syarat ‘kepatuhan’ tersirat di dalamnya. Ma’ruf Amin menyebutnya sebagai “tak bermasalah dengan pemerintah”, dan Cholil Nafis mengistilahkannya lebih halus melalui diksi “punya komitmen kebangsaan”.
ADVERTISEMENT
Yang jelas, ujar Cholil, mubalig yang masih “mengotak-atik masalah kebangsaan” bisa saja masuk kategori mubalig yang tidak direkomendasikan Kemenag dan MUI.
Persoalannya, batasan atas kriteria-kriteria tersebut belum jelas. Syarat “tidak bermasalah dengan pemerintah” misalnya terdengar politis sekaligus ‘kuno’.
Kualifikasi itu malah seolah mengonfirmasi kekhawatiran sejumlah pihak soal kategorisasi mubalig menjadi mubalig ‘pelat merah’ dan ‘pelat hitam’.
Indikasi itu makin kentara menyusul absennya nama-nama mubalig yang berafiliasi dengan Front Pembela Islam dan Aksi 212 macam Rizieq Syihab , Bachtiar Nasir , atau Sobri Lubis, dari daftar rekomendasi Kemenag.
Selama ini, nama-nama tersebut terkesan “punya masalah dengan pemerintah”. Sehingga apabila mengacu pada pernyataan Ma’ruf Amin, ketiadaan mereka di daftar sama sekali tak mengejutkan.
Ma’ruf Amin, Cholil Nafis, dan Lukman Hakim Saifuddin sebagai tokoh-tokoh kunci di MUI dan Kemenag yang menyusun kebijakan soal mubalig ini kebetulan berasal dari Nahdlatul Ulama , organisasi massa Islam terbesar di Indonesia--meski mubalig yang berada dalam daftar jelas tak hanya berasal dari NU.
ADVERTISEMENT
Juru Bicara FPI Slamet Maarif menyatakan tak ambil pusing dengan sertifikasi mubalig. Ia berpendapat sama seperti Busyro, bahwa kebijakan itu seperti politik belah bambu dari pemerintah.
“Kami yakin umat sudah cerdas. Mereka bisa memilih mana dai umat, mana dai pemerintah,” kata dia, justru kian menajamkan kategorisasi tersebut.
Intervensi negara terhadap urusan dakwah tak cuma di Indonesia. Kebijakan yang lebih ketat terjadi di Mesir. Saat itu, rezim militer berupaya melemahkan gerakan Ikhwanul Muslimin yang bergiat di masjid-masjid.
Setelah presiden terpilih Muhammad Mursi dijatuhkan lewat kudeta militer, Mesir segera menutup ruang gerak aktivis-aktivis Ikhwanul Muslimin, tak terkecuali para pemuka agama yang berafiliasi dengan organisasi tersebut.
ADVERTISEMENT
Presiden ad-interim Mesir Adli Mansur mengeluarkan regulasi yang antara lain berbunyi, “Hanya spesialis-spesialis yang ditunjuk Kementerian Agama, dan mubalig yang disahkan Universitas Al-Azhar, yang boleh berceramah di depan publik dan memberikan pelajaran agama di masjid-masjid maupun ruang publik lainnya.”
Tak cukup sampai di situ, urusan penampilan pun ikut diatur. Hanya pejabat dan lulusan Al-Azhar, serta mubalig dari kementerian atau kantor Imam Besar Mesir, yang boleh menggunakan turban dan jubah ala ulama Al-Azhar.
Bila ada ulama ‘tak resmi’ yang nekat berceramah di depan publik, ia akan terancam sanksi satu tahun penjara dan denda USD 7 ribu atau Rp 99 juta. Hukuman serupa akan dijatuhkan untuk mereka yang nekat mengenakan turban dan jubah khas ulama Al-Azhar padahal bukan mubalig resmi.
ADVERTISEMENT
Pendeknya, di Mesir, masjid hingga para ulamanya benar-benar berada di bawah cengkeraman kekuasaan negara.
Selain Mesir, Malaysia juga menerapkan aturan serupa. Di Malaysia, ustaz atau ustazah mesti mendapat izin dari otoritas keagamaan, baik di tingkat pusat maupun daerah, sebelum berceramah di ruang-ruang publik.
Biasanya, izin hanya diberikan kepada ustaz dengan kompetensi keilmuan memadai yang ditunjukkan lewat latar belakang pendidikan Islam di kampus-kampus ternama di dalam negeri atau kampus macam Al-Azhar di Mesir.
Selain itu, isi khotbah salat Jumat di Malaysia ditulis oleh pejabat otoritas keagamaan setempat. Tujuannya, agar pesan yang disampaikan sama.
Sosiolog UGM Muhammad Najib Azca menilai, rekomendasi dan sertifikasi mubalig merupakan ikhtiar pemerintah untuk merebut ruang publik, dalam hal ini masjid.
ADVERTISEMENT
Menurut Najib, selama ini aktivis-aktivis moderat terkesan enggan bergiat di masjid-masjid, termasuk masjid milik instansi pemerintahan dan BUMN. Akibatnya, masjid-masjid diurus oleh aktivis yang cenderung beraliran eksklusif, antikeberagaman, bahkan intoleran dan radikal.
“Pemerintah baru sadar belakangan, ‘Loh kok di masjid-masjid pemerintah atau BUMN, yang mendominasi justru para pembicara yang radikal, yang narasi keagamaannya itu tidak pluralis, tidak merangkup kebinekaan. Itu baru belakangan sadarnya. Terlambat.”
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin sempat mengatakan, salah satu pihak yang meminta kementeriannya merilis nama-nama mubalig yang direkomendasikan adalah majelis taklim di bawah naungan kementerian atau BUMN.
Maka, ujar Najib, kebijakan terbaru Kemenag menjadi upaya pemerintah guna memfasilitasi aktivis-aktivis moderat untuk kembali merebut mimbar-mimbar masjid.
“Ini untuk menarik kembali gerbong atau ruang-ruang publik yang dikuasai oleh kelompok-kelompok ‘lain’. Untuk memberi ruang yang lebih besar kepada ulama-ulama atau tokoh-tokoh yang menampilkan ajaran keagamaan lebih pluralis dan toleran,” kata dia kepada kumparan.
ADVERTISEMENT
Kebijakan yang diumumkan tak berapa lama dari tragedi Bom Surabaya itu dinilai Najib bakal berdampak positif bagi demokrasi di Indonesia, meski terkesan reaksioner.
“(Kebijakan) ini kan tidak melarang-larang, toh. Artinya masih dalam dosis yang oke.”
Busyro bergeming. Menurutnya, standar mubalig ditentukan oleh masyarakat, bukan negara. Ia menyesalkan langkah pemerintah yang terkesan tidak hati-hati dan kurang memikirkan dampaknya.
“Pada soal terorisme, sejak 2001 sampai 2018 di mana peternak-peternak ‘teroris’ masih berkeliaran, negara bersikap minimalis, biasanya represif saja melalui Densus 88. Demikian pula soal korupsi politik yang mengganas, peran negara minimalis. Nah, mengapa untuk (mubalig) ini negara mau urus terlalu dalam?”
Sertifikasi mubalig, ujar Busyro, justru bertentangan dengan prinsip negara hukum yang berdasar pada demokrasi dan hak asasi manusia.
ADVERTISEMENT
“Kalau ada penerapan yang chaos, baru pemerintah turun tangan. Tapi kalau tidak ada indikasi chaos, ini justru pemerintah yang anarkis.”
------------------------
Ikuti rangkaian ulasan mendalam soal Blunder Mubalig Kemenag di Liputan Khusus kumparan.