LIPSUS, Pemindahan Ibu Kota, Jakarta

Bambang Brodjonegoro: Jakarta Pusat Segalanya, Memanggul Beban Berat

6 Mei 2019 12:21 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Alat berat pengeruk sampah di Teluk Jakarta. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Alat berat pengeruk sampah di Teluk Jakarta. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Pindah ibu kota bukan wacana baru di Indonesia. Namun, gagasan itu tampak diseriusi oleh Presiden Jokowi yang menggelar Rapat Terbatas tentang Tindak Lanjut Rencana Pemindahan Ibu Kota, Senin (29/4).
“Ketika kita sepakat akan menuju negara maju, pertanyaan pertama yang harus dijawab adalah: apakah di masa yang akan datang, DKI Jakarta sebagai ibu kota negara mampu memikul dua beban sekaligus, yaitu sebagai pusat pemerintahan dan layanan publik, sekaligus pusat bisnis?” ujar Jokowi ketika membuka rapat kabinet terbatas itu seperti dimuat dalam situs resmi Sekretariat Kabinet RI.
Menurut Jokowi, Jakarta tak dapat lebih lama lagi memikul semua beban itu. Sementara Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Bambang Brodjonegoro menjelaskan, ada tiga problem utama Jakarta yang menjadi pertimbangan, yakni kepadatan populasi, kemacetan lalu lintas, dan rawan banjir.
Berdasarkan kajian Bappenas, lembaga itu mengajukan tiga opsi soal rencana pindah ibu kota. Pertama, ibu kota negara tetap di Jakarta, tapi Indonesia punya distrik khusus pemerintahan. Kedua, pusat pemerintahan pindah ke wilayah penyangga Jakarta seperti Depok, Bogor, Tangerang, atau Bekasi. Ketiga, ibu kota negara pindah ke luar Pulau Jawa.
“Pesiden memilih alternatif ketiga, yaitu memindahkan ibu kota ke luar Jawa,” kata Bambang.
Rencana pindah ibu kota sudah tentu ditanggapi beragam—pro dan kontra. Mereka yang menentang khawatir bila kota yang “beruntung” menjadi ibu kota baru itu bakal menghadapi berbagai persoalan.
“Butuh membangun (infrastruktur), membuka lahan. Belum lagi kalau ada konflik lahan,” kata Direktur Rujak Center for Urban Studies, Elisa Sutanudjaja.
Jadi, bagaimana sesungguhnya urgensi pindah ibu kota bagi Indonesia? Berikut wawancara per telepon wartawan kumparan Johanes Hutabarat dengan Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro, via Kepala Biro Bappenas Parulian George Andreas Silalahi, di sela Pertemuan Tahunan Asian Development Bank di Fiji, Rabu (1/5).
Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro saat konferensi pers rencana pemindahan ibu kota negara. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Kenapa harus pindah ibu kota, dan sejak kapan rencana ini bergulir?
Wacana pemindahan ibu kota sebenarnya sudah muncul sejak zaman Presiden Sukarno di pertengahan tahun 1950-an. Beliau punya ide Palangka Raya sebagai ibu kota, dan kemudian wacana tersebut bergulir, tapi tidak terlalu bergaung.
Di masa pemerintahan Soeharto, ada ide menjadikan salah satu wilayah di luar Jakarta, Jonggol, sebagai pusat pemerintahan.
Yang kemudian kencang bergulir adalah inisiatif Bapak Presiden Jokowi yang juga menginginkan alternatif untuk memindahkan ibu kota, khususnya ke luar Jawa.
Jadi kita bisa katakan bahwa wacana pemindahan ibu kota ini bukan hal yang baru. Tampaknya wacana ini selalu bergulir karena banyak pihak menganggap Jakarta—yang sekarang menjadi ibu kota—adalah ibu kota yang berasal dari pemerintahan kolonial Belanda.
Sehingga, ada keinginan untuk mempunyai ibu kota yang benar-benar merupakan ibu kota dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, tidak hanya sekadar meneruskan apa yang menjadi warisan pemerintah kolonial Belanda.
Bagaimana hasil kajian Bappenas soal pemindahan ibu kota?
Kajian yang saat ini sedang berlangsung dan kemarin sudah dibawa ke rapat terbatas, pada intinya sudah sampai kepada kriteria lokasi pada pendalaman mengenai strategi pemindahan ibu kota. Bahkan sudah sampai kepada skenario pembiayaan meskipun belum (pasti) lokasi yang dipilih.
Liputan Khusus: GoodBye, Jakarta ?. Foto: Basith Subastian/kumparan
Kriteria ideal ibu kota baru seperti apa?
Pertama, lokasi. Kalau bisa mendekati pusat atau daerah, jadi di Indonesia tengah. Tidak di sisi barat atau sisi timur, tetapi di tengah Indonesia, sehingga rentang kendali ke berbagai tempat di Indonesia juga menjadi lebih kecil (terjangkau).
Kedua, punya risiko bencana paling kecil, karena Indonesia adalah negara yang rawan bencana. Dari peta kebencanaan yang kami lihat, memang tidak banyak daerah seperti itu di Indonesia—yang relatif bebas bencana atau risiko bencananya kecil.
Dari sejarahnya, bencana tidak terlalu banyak di Pulau Sumatera bagian timur, seluruh Pulau Kalimantan, dan Pulau Sulawesi bagian selatan. Jadi, boleh dibilang, hanya pada tiga daerah tersebut kemungkinan ibu kota akan ditentukan.
Hampir semua pulau besar di Indonesia berada di lingkar api Pasifik, tempat sebagian gempa dunia terjadi. Hanya Kalimantan satu-satunya pulau besar di Indonesia yang berada di luar ring of fire tersebut.
Ketiga, harus ada lahan cukup luas, minimum 50 ribu hektare, untuk bisa dibangun menjadi kota baru. Karena ini membangun kota baru, bukan menggunakan kota yang sudah ada.
Meski kota baru, kami menginginkan kota baru ini terletak tidak terlalu jauh dari kota yang sudah ada dan sudah punya fasilitas seperti bandara, pelabuhan, atau jalan-jalan penghubung. Sebab, konektivitas membuat ibu kota baru itu tidak terlalu sulit menjangkau kota-kota lain di sekitarnya, maupun ke berbagai tempat di indonesia.
Keempat, terletak tidak jauh dari pantai meski tidak harus di pinggir pantai. Ini karena Indonesia negara maritim. Kelima, menyediakan kebutuhan dasar kota seperti air bersih dengan kualitas dan kuantitas memadai untuk melayani masyarakat yang tinggal di ibu kota baru tersebut.
Pindah ibu kota, nih? Ilustrator: Indra Fauzi/kumparan
Perkiraan biaya mungkin sekitar USD 30 miliar atau setara Rp Rp 400 triliun. Hitungan awalnya 50 persen atau fifty-fifty ditanggung oleh swasta dan pemerintah.
Yang pasti, pemerintah bisa mengurangi beban APBN (untuk memindahkan ibu kota) dengan cara mengelola aset, baik aset di ibu kota baru tersebut seperti tanah, maupun aset dalam bentuk gedung dan fasilitas pemerintahan yang ada di Jakarta.
Jadi kami harus—dan meyakini—bisa menemukan cara untuk meminimumkan penggunaan APBN dengan mengedepankan kerja sama pemerintah-badan usaha, mendorong peran BUMN, dan paling penting juga mendorong peran swasta yang lebih besar dalam proses pembangunan ibu kota baru.
Soal lama waktu yang dibutuhkan tentunya tergantung pada, pertama, dukungan politik dalam bentuk undang-undang atau revisi undang-undang terhadap Daerah Khusus Ibu Kota; kedua, pada komitmen dari pemerintahan yang akan datang.
Artinya, kalau Bapak Presiden sudah memutuskan untuk bergerak, maka kami harapkan tahun 2020 sudah harus mulai kegiatan (pemindahan ibu kota) tersebut. Dengan demikian, perkiraan kami paling cepat lima tahun, dengan kerja keras yang luar biasa. Atau mungkin seperti banyak negara lain, pemindahan ini bisa memakan waktu 10 tahun atau lebih. Yang pasti tidak akan bisa selesai dalam satu masa pemerintahan.
Kemacetan di Jalan Gatot Subroto, Jakarta. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Apa hambatan memindah ibu kota negara?
Hambatan yang paling banyak dirasa: banyak pertanyaan dari masyarakat kenapa harus ada pemindahan ibu kota kalau ibu kota yang sekarang—Jakarta—sudah memadai.
Ini yang kemudian memicu perdebatan, karena ada pihak yang menganggap seharusnya pusat pemerintahan terpisah dari pusat bisnis maupun keuangan. Tapi ada juga yang menganggap tidak masalah pusat pemerintahan dan pusat bisnis menjadi satu, dengan alasan efisiensi.
Masing-masing pendekatan tentu punya kelebihan dan kekurangan. Di dunia ini, keduanya berjalan. Ada yang dengan tingkat keberhasilan cukup tinggi, dan ada yang tidak terlalu tinggi.
Jokowi ingin memindah ibu kota. Infografik: Indra Fauzi/kumparan
Kembali ke soal alasan pemindahan ibu kota—kenapa? Apa alasan utamanya? Untuk efisiensi pemerintahan, atau untuk menyelamatkan Jakarta?
Seperti saya sebut tadi, tentunya kita ingin punya ibu kota yang menggambarkan NKRI, tidak hanya meneruskan tradisi dari pemerintah kolonial Belanda, tapi ibu kota yang bisa membuka kegiatan ekonomi baru, khususnya di luar Pulau Jawa.
Kami melihat saat ini perputaran ekonomi Indonesia dominan di Jawa, sebesar 58 persen dari PDB. Nomor dua adalah Sumatera, 22 persen PDB. Praktis ekonomi Indonesia hanya ada di Jawa dan Sumatera. Karenanya kami juga perlu melirik pulau dan wilayah lain yang barangkali kalau menjadi tempat dari pemerintahan ini akan menimbulkan kegiatan ekonomi baru.
Contoh yang boleh dibilang berhasil mengenai penciptaan ibu kota baru dengan tingkat ekonomi cukup besar di tempat yang sebelumnya tidak ada kota sama sekali, adalah di Brasil.
Pemindahan ibu kota dari Rio de Janeiro ke Brasilia pada 1950-an berhasil menjadikan Brasilia kota terbesar ketiga di Brasil saat ini dengan penduduk 2,5 juta jiwa. Lebih hebatnya, kota Brasilia itu terletak di daerah yang tergolong remote di Brasil—sangat jauh di tengah negara Brasil, dibanding Rio de Janeiro atau São Paulo yang terletak di pantai. Praktik itu barangkali bisa diterapkan di Indonesia.
Brasilia yang semula dirancang menampung 500.000 orang, kini dihuni 2,2 juta jiwa. Alhasil, lalu lintas jadi lebih padat, permukiman kumuh menjamur, dan kejahatan merebak. Hal tersebut membuat arsitek kota itu, Oscar Niemeyer, dilanda waswas. Menurut Niemeyer, Brasilia semestinya sudah berhenti bertumbuh.
Brasilia, ibu kota Brasil. Foto: AFP
Soal apakah pemindahan ibu kota ada kaitanya dengan Jakarta, tentu ada karena Jakarta saat ini menjadi pusat segalanya dengan kepadatan penduduk tinggi.
Penduduk Jakarta ini berjumlah 10,3 juta orang. Padahal kota kedua terbesar di Indonesia, Surabaya, penduduknya hanya 3 juta orang. Dan kota-kota besar berikutnya, penduduknya di bawah angka itu.
Artinya, konsentrasi penduduk dan kegiatan ekonomi di Jakarta memang sudah terlalu besar. Ditambah lagi dengan kondisi fisik Jakarta di mana terjadi kemacetan yang relatif parah, gangguan banjir, menurunnya permukaan tanah di pantai utara Jakarta, serta meningkatnya permukaan air laut.
Boleh dibilang, Jakarta memanggul beban yang luar biasa berat. Padahal kita menginginkan tidak terlalu terganggu dengan permasalahan-permasalahan yang masih muncul di Jakarta sampai hari ini.
Jakarta harus berbenah diri tanpa harus dibebani sebagai pusat pemerintahan. Biarkan pusat pemerintahan ada di tempat lain sehingga memberikan efisiensi di bidang pemerintahan, dan memisahkan antara pemerintah dengan dunia usaha.
Apakah permasalahan yang dihadapi Jakarta bisa diatasi bila ibu kota pindah?
Dengan memindahkan ibu kota, tentunya ini akan mengurangi beban Jakarta. Dan kalau terus dilakukan pembenahan di bidang transportasi umum, aliran sungai, pantai utara Jakarta, maka kami meyakini berbagai permasalahan Jakarta pelan-pelan akan berkurang. Tetapi tentunya ini bukan alasan kenapa ibu kota harus dipindahkan dari Jakarta.
Bagaimanapun, kita harus punya yang namanya sistem perkotaan di Indonesia, di mana kota-kota itu mempunyai peran dan fungsi masing-masing. Dalam persaingan global yang luar biasa ketat ini, mau-tidak mau Jakarta harus tampil sebagai kota bisnis dan keuangan utama Indonesia yang harus bisa bersaing atau disejajarkan dengan kota bisnis negara lain.
Gedung bertingkat di Petamburan, Jakarta Pusat. Foto: ANTARA/Aprillio Akbar
Ada anggapan bahwa biaya memperbaiki Jakarta lebih murah dibanding memindahkan ibu kota. Bagaimana tanggapan Bappenas?
Nah, perlu kami tekankan bahwa ini bukan hanya sekadar masalah di Jakarta. Kita juga harus berpikir, beban Jakarta sudah sangat berat. Beban Jabodetabek atau wilayah metropolitan Jakarta juga luar biasa berat dan cenderung membuat perekonomian kita terkonsentrasi di Pulau Jawa, Jabotabek, dan terutama Jakarta.
Kita ingin tingkat konsentrasi itu—meskipun wajar—tidak terlalu tinggi. Karena, sekali lagi, kita tetap mendorong Jakarta sebagai pusat bisnis, tapi tidak harus dibarengi dengan fungsinya yang merangkap sebagai pusat pemerintahan. Dan tentunya ide untuk mendorong perekonomian ke luar Pulau Jawa salah satunya bisa dibantu dengan pemindahan ibu kota.
Jadi pemindahan ibu kota bisa memeratakan ekonomi dan pembangunan?
Berpotensi membantu pemerataan ekonomi, khususnya pemerataan antarwilayah. Memang ini bukan solusi satu-satunya untuk mengurangi kesenjangan antarwilayah. Tapi dengan membangun kota baru yang memiliki basis ekonomi, yaitu kegiatan pemerintahan yang jumlahnya tidak kecil, maka ini akan membuka perekonomian baru, baik di kota itu maupun di kota sekitarnya.
Kembali saya ambil contoh Brasilia, yang ketika tahun 1950-an didesain hanya untuk 500 ribu penduduk, dan awalnya memang sangat sepi. Tapi kota yang terletak di daerah terpencil dekat Amazon itu akhirnya bisa menggerakkan ekonomi kawasan sekitarnya.
Nah, kami harapkan hal yang sama terjadi di Indonesia, di mana ibu kota baru bisa menggerakkan ekonomi di sekitarnya, dan dengan aglomerasi (pemusatan) maupun sinergi dengan kota-kota sekitarnya, kami harapkan nanti ibu kota baru bisa menjadi pusat pertumbuhan baru, khususnya di luar Jawa.
Kami ingin benar-benar pelan-pelan bisa mengurangi, bahkan menghilangkan, kesenjangan antara Jawa dengan luar Jawa.
Pemindahan ibu kota sudah lama bergaung, tapi timbul-tenggelam, dan belum pernah terealisasi? Kenapa demikian?
Karena kegiatan memindahkan ibu kota memakan waktu panjang dan sumber daya tak sedikit. Sehingga, dibutuhkan ketegasan dan komitmen penuh dari pemerintah yang saat itu menggulirkan ide pemindahan ibu kota, untuk menjadikannya sebagai kegiatan yang berkesinambungan, bahkan melewati beberapa masa pemerintahan.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten