news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Benarkah Pihak Istana Pakai Buzzer untuk Manipulasi Publik?

5 Oktober 2019 14:19 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Buzzer Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Buzzer Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
ADVERTISEMENT
Isu mengenai kehadiran buzzer di media sosial kembali menjadi perbincangan publik. Pangkalnya, sejumlah informasi keliru atau hoaks yang diramaikan sejumlah akun berhasil menjadi trending dan memunculkan polemik.
ADVERTISEMENT
Misalnya, informasi seputar kasus ambulans Pemprov DKI bawa batu hingga chat anak STM. Isu yang mewarnai demonstrasi mahasiswa dan pelajar di sekitar Gedung DPR, akhir September 2019 lalu.
Selain akun @MurtadhaOne, informasi serupa juga disebarkan sejumlah akun yang memiliki puluhan ribu, bahkan ratusan ribu pengikut. Sebut aja, @eko_kuntadhi, @yusuf_dumdum, hingga @Dennysiregar7. Walaupun, akhirnya beberapa cuitan dihapus setelah mendapat kontra narasi dari warganet lain.
Apalagi, informasi yang disebarkan oleh akun-akun tersebut ternyata tidak benar atau hoaks. Polisi pun menyebut, kasus 'ambulans bawa batu' itu sebagai sebuah kesalahpahaman.
"Jadi, apa namanya, anggapan anggota Brimob diduga mobil itu digunakan oleh perusuh, tapi bukan. Tapi perusuh yang bawa batu ke mobil berlindung. Clear ya. Jadi enggak ada permasalahan apa-apa," ujar Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Argo Yuwono, Kamis (26/9).
ADVERTISEMENT
Namun, sejumlah warganet sudah kandung berspekulasi. Bahkan ada menyebut, akun-akun tersebut sebagai buzzer istana.
Soal buzzer ini juga turut dikomentari politikus Gerindra Desmond J Mahesa. Dia menyebut, keberadaan buzzer dimulai oleh pemerintah. Namun, kemunculan itu pun berdampak pada munculnya buzzer-buzzer oposisi sebagai tandingan.
"Sebenarnya ini yang memulai buzzer ini pemerintah dalam rangka kekuatan politiknya dengan partai-partai pendukungnya," kata Desmond di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Jumat (4/10).
Sementara itu, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko juga ikut berbicara soal buzzer. Dia menilai, buzzer membangun dukungan politik yang destruktif. Karenanya, pihak Istana sendiri menilai buzzer tidak diperlukan lagi.
"Ya justru itu buzzer ini kan muncul karena perjuangan apa itu menjaga marwah pemimpinnya. Tetapi sekali lagi bahwa dalam situasi ini bahwa relatif sudah enggak perlu lagi buzzer-buzzeran," kata Moeldoko di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (4/10).
ADVERTISEMENT

Riset Oxford: Politikus RI Terlibat Manipulasi Medsos

Samantha Bradshaw dan Philip N. Howard dari Universitas Oxford mencoba menganalisa penggunaan dan peran buzzer di Indonesia. Yakni lewat riset berjudul The Global Disinformation Order 2019 Global Inventory of Organised Social Media Manipulation (2019).
Dalam riset itu, Bradshaw dan Howard menemukan bahwa politikus, partai politik, dan kontraktor swasta di Indonesia terlibat dalam manipulasi media sosial lewat aktivitas pasukan siber (buzzer).
“Aktivitas pasukan siber berada dalam berbagai bentuk organisasi dan beragam aktor yang memanfaatkan media sosial untuk membentuk opini publik, mengatur agenda politik, dan menyebarkan ide,” tulis peneliti di Computational Propaganda Project Universitas Oxford itu.
Indonesia adalah 1 dari 45 negara yang partai politiknya teridentifikasi menggunakan propaganda komputasional selama pemilihan umum. Menurut riset tersebut, akun palsu digunakan oleh para pasukan siber untuk menyebarkan propaganda itu.
ADVERTISEMENT
Ada tiga kategori akun palsu yakni bot, manusia, dan cyborg. Di Indonesia, akun bot dan manusia digunakan, sedangkan cyborg yang merupakan gabungan bot dan kurasi manusia tak ditemukan.
“Bot adalah akun yang sangat otomatis didesain untuk meniru perilaku manusia secara online. Mereka kerap digunakan untuk memperkuat narasi atau menghilangkan perbedaan pendapat politik,” terang Bradshaw dan Howard.
Temuan lainnya, pasukan siber di Indonesia menyebarkan pesan kepada pengguna medsos dengan cara tertentu. Di antaranya menyebarkan propaganda pro pemerintah atau partai politik, menyerang oposisi dan menyebarkan kampanye kotor, serta mendorong perpecahan dan polarisasi.
Sementara, penyebaran disinformasi, manipulasi media, serta mengamplifikasi tagar juga digunakan sebagai strategi komunikasi para buzzer. Mereka menggunakan meme, video, portal berita hoaks atau media yang dimanipulasi untuk membuat para pengguna medsos salah paham akan suatu hal.
ADVERTISEMENT
“Terkadang, konten yang dibuat oleh pasukan siber ditargetkan pada komunitas atau segmen pengguna tertentu. Dengan menggunakan sumber data online dan offline tentang pengguna, dan membayar iklan di platform media sosial populer, beberapa pasukan siber menargetkan komunitas tertentu dengan disinformasi atau media yang dimanipulasi,” tulis riset itu.
Riset Bradshaw dan Howard mengategorikan keberadaan buzzer di Indonesia dalam skala yang rendah (low cyber troops capacity). Prakiraan kontrak yang dibuat untuk membiayainya hanya berada pada rentang Rp 1-50 juta saja.
“Pasukan siber skala rendah melibatkan tim kecil yang mungkin aktif saat pemilu atau referendum tetapi menyetop aktivitasnya hingga pemilu lainnya,” katanya.
Anda wajib mewaspadai keberadaan buzzer di media sosial kesayangan. Sebab, menurut riset ini, para buzzer di Indonesia bercokol di Twitter, WhatsApp, Facebook, dan Instagram.
ADVERTISEMENT