Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Belakangan, sejumlah informasi sumir beredar di media sosial. Mulai dari kasus ‘ambulans bawa batu’ hingga ‘grup chat anak STM’. Keduanya punya benang merah. Yakni pertama kali disebarluaskan oleh akun-akun yang memiliki banyak pengikut.
ADVERTISEMENT
Kasus pertama berkaitan dengan dugaan ambulans menyuplai batu untuk para demonstran. Informasi ini awalnya diviralkan oleh akun Twitter @dennysiregar7 yang punya sekitar 616 ribu pengikut, sebelum diunggah oleh @TMCPoldaMetroJaya. Cuitan itu lantas dihapus.
Pada kasus selanjutnya, setelah demo Senin (30/9) berakhir ricuh, tersebar tangkapan layar (screenshot) chat anak STM dalam sebuah grup WhatsApp. Screenshot yang disebar pertama kali oleh akun Twitter @yusuf_dumdum (52,8 ribu pengikut) dan @OneMurtadha (4.128 pengikut) itu dibubuhi informasi bahwa anak STM mendapat bayaran untuk ikut aksi demo di Gedung DPR.
Pasalnya, dalam chat tersebut ada percakapan dari sejumlah anggota yang meminta bayaran dari korlap. Namun, penelusuran warganet terhadap nomor-nomor di screenshot itu justru mengarah pada petugas kepolisian.
ADVERTISEMENT
Para buzzer lalu menghapus cuitannya. Polisi pun mengelak dan menyebut, hasil penelusuran warganet itu tidak benar.
"Bahwa nomor-nomor yang masuk ke dalam grup WA tersebut, tidak ada nomor polisi, apalagi polisi sebagai kreator. Sampai saat ini barang bukti masih didalami satu per satu untuk dicek nomor HP di nomor tersebut," ujar Kasubdit II Dit Siber Bareskrim Polri, Rickynaldo Khairul.
Berlindung di balik akun media sosial dan hidup di dunia maya, para buzzer berperan dalam penyebaran informasi sumir tersebut. Mereka tak berprofesi sebagai penyampai berita, tapi cukup update dengan informasi terkini.
Ada buzzer yang menggunakan nama jelas, ada juga yang anonim. Pendengung yang aktif main media sosial ini cukup dipercaya, setidaknya oleh para pengikutnya yang bisa sampai ribuan akun.
ADVERTISEMENT
Karakteristik buzzer ini sebenarnya sudah pernah dibahas dalam The Death of Expertise (2017). Buku karya Tom Nichols ini membahas matinya sebuah kepakaran yang disandang seseorang. Kondisi yang menyebabkan setiap orang bisa mengklaim menjadi pakar apapun, termasuk dalam menginformasikan sesuatu.
“Kita bertemu dengan mereka semua. Mereka rekan kerja, teman, anggota keluarga kita sendiri. Mereka masih muda atau sudah tua, kaya dan miskin. Sebagian berpendidikan, atau yang lain hanya berbekal laptop dan kartu perpustakaan,” tulis Nichols.
Orang-orang yang disebut Profesor di Akademi Perang Angkatan Laut AS dan Harvard Extension School itu dianggap punya satu kesamaan. Nichols berpendapat, mereka adalah orang biasa yang percaya bahwa dirinya paham banyak hal.
“Yakin bahwa mereka lebih terinformasi daripada para ahli, lebih luas pengetahuannya dari para profesor, dan lebih berwawasan daripada massa yang mudah tertipu. Mereka suka menjelaskan dan senang untuk menerangkan kita semua tentang segala sesuatu. Mulai dari sejarah imperialisme hingga bahaya vaksin,” terangnya.
ADVERTISEMENT
Dalam pandangan Nichols, orang-orang ini bisa dipercaya karena mereka dianggap unik. Di luar kebiasaan umum yang kerap menghormati dan mengandalkan para ahli semata.
“Kita menerima orang-orang seperti itu dan bertahan dengan mereka paling tidak karena kami tahu bahwa jauh di lubuk hati, mereka biasanya bermaksud baik. Kita bahkan menaruh kasih sayang dalam kadar tertentu untuk mereka,” jelas Nichols.
Dalam argumennya, Nichols menuding internet dan media sosial sebagai pangkal matinya kepakaran. Sebab di dalamnya percakapan, dilakukan secara tidak disiplin dan untuk memenuhi tuntutan siklus berita/informasi 24 jam semata.
“Setidaknya bagi saya, itu bukan hanya ketidakpercayaan atau mempertanyakan kepakaran atau mengejar alternatif: itu narsisme, ditambah dengan penghinaan terhadap keahlian sebagai semacam latihan aktualisasi diri,” katanya.
ADVERTISEMENT
Peran dalam Politik
Wasisto Raharjo Jati dalam “Aktivisme Kelas Menengah Berbasis Media Sosial: Munculnya Relawan dalam Pemilu 2014” menggarisbawahi peran buzzer. Yakni sebagai salah satu aktor yang bisa membentuk isu maupun preferensi politik masyarakat.
“Dinamakan sebagai buzzer karena berkaitan dengan tugasnya mendengungkan (buzzing) suatu isu atau wacana untuk diterima dan ditangkap publik sebagai konstruksi berpikir,” terang Staf peneliti di Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P-LIPI), itu.
Dalam penelitian itu, Wasisto menyebut, para buzzer inilah yang menciptakan trending topic di jejaring media sosial dengan tagar (#). Sementara, Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG) menyebut dua strategi lain buzzing. Yakni membuat atau memanfaatkan situs berita untuk meningkatkan kredibilitas konten hingga menyebarkan lewat jaringan pribadi di WA atau telegram.
ADVERTISEMENT
Dalam penelitian berjudul “Di Balik Fenomena Buzzer: Memahami Lanskap Industri dan Pengaruh Buzzer Indonesia”, CIPG mencatat bahwa gaduhnya Pilgub DKI Jakarta 2012 dan Pilpres 2014 merupakan cerminan besarnya potensi buzzer membentuk percakapan publik.
“Di satu sisi, ia menjadi alat pendorong perubahan dan partisipasi publik. Di sisi lain, ia menjadi ruang gaduh tempat penyebaran beragam informasi palsu dan hasutan yang membingungkan,” tulis CIPG dalam refleksi penelitiannya.