Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Maju menjadi calon anggota legislatif di tanah kelahiran, tak membuat Jansen Sitindaon melenggang dengan mudah. Ia justru menghadapi dilema antara basis pemilih di daerahnya dan pilihan politik yang berbeda.
“Aku lahir di Dairi, basis pemilihnya Pak Jokowi. Sedangkan aku hampir 7 bulan terus tampil di media—baik di televisi nasional maupun media cetak dan online, dibungkus paling depan, membela Pak Prabowo,” cerita Jansen kepada kumparan, Rabu (24/4).
Pemilu Legislatif 2019 adalah pemilu pertama yang ia ikuti setelah sembilan tahun mengabdi di Partai Demokrat , salah satu partai pendukung Prabowo-Sandi. Jansen, yang dielu-elukan sebagai ‘pengganti’ Ruhut Sitompul, maju menjadi Caleg DPR RI dari Daerah Pemilihan III Sumatera Utara, salah satu dapil terluas di Indonesia.
Ia harus berkampanye mulai dari pinggir pantai Tanjung Balai di sebelah selatan, lalu Asahan, Batubara, Simalungun, Siantar, Dairi, Pakpak Bharat, Binjai, Tanah Karo hingga Langkat di bagian utara. Luasnya daerah pemilihan itu berbanding lurus dengan beragamnya etnis yang ada, dari Batak Toba, Batak Simalungun, Batak Karo, Jawa, Melayu, dan Pakpak.
Besar dapil dan beragamnya target pemilih cuma bagian kecil dari tantangan yang dihadapi Jansen. Bagian lainnya adalah polarisasi pemilih dan politik identitas.
Pilihan politik yang diambil Partai Demokrat membuat Jansen diberondong beragam tanya dari teman-teman masa kecilnya. “Waktu aku pulang kampung, teman SD-ku mengatakan, ‘kenapa tidak pilih Pak Jokowi? Kenapa kau jadi ke Prabowo?’,” ujar Jansen dengan logatnya yang kental.
Tak hanya itu, ia bahkan mesti berhadapan dengan berbagai serangan negatif di media sosial dan serangan darat seperti perusakan baliho. “Aku inikan Batak Toba dan Kristen. (Suku Batak) Itu memang die hard-nya pendukung loyal dan setia Pak Jokowi. Aku dianggap mengambil pilihan politik di luar kelaziman.”
Akibatnya, secara tidak langsung ia merasa seolah tak diterima di kampung halamannya sendiri. “Jadi lebih diterima Pak Djarot (Djarot Saiful Hidayat) ketimbang Jansen yang anak kampung Dairi sendiri karena persoalan beda pilihan di pilpres,” ucap Jansen getir.
Tak mendapat suara dari kalangan pemilih Jokowi, Jansen juga kesulitan mendapat suara dari basis pemilih Prabowo. Ia terjebak di tengah. Sebab, pemilih Prabowo yang kebanyakan berasal dari kelompok muslim lebih memilih caleg-caleg dari partai Islam seperti PKS dan PAN.
“Yang minoritas nonmuslim tidak memilihku karena menganggap aku melawan mainstream dengan memilih Pak Prabowo (yang diidentikan dengan kelompok muslim konservatif). Pemilih Pak Prabowo juga lebih memilih caleg dari partai Islam,” ucap Jansen yang juga Ketua DPP Partai Demokrat ini.
Meski berulang kali tampil di media massa membela kubu 02, Jansen tak dapat mencicipi efek ekor jas alias coattail effect Prabowo. “Efek ekor jasnya itu jadi efek ekor kaos oblong,” selorohnya.
Hal serupa dialami pula oleh Ferdinand Hutahean, Ketua Divisi Hukum dan Advokasi Partai Demokrat. Maju dari Dapil V Jawa Barat, Ferdinand diprediksi tidak lolos masuk Senayan.
Juru Bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi ini menyatakan bahwa politik identitas menjadi salah satu faktor kekalahannya. Ia pun tak ambil pusing jika pencalegannya untuk kali pertama ini diprediksi gagal.
“Tidak adanya efek ekor jas yang kita dapat selama pilpres ini, karena politik identitas kuat. Sementara itu, Demokrat tidak mau masuk di segmen politik identitas,” kata Ferdinand saat ditemui kumparan di kantor DPP Demokrat, Jumat (26/4).
Demokrat, kata Ferdinand, sudah memprediksi soal minimnya coattail effect Prabowo-Sandi untuk Demokrat. Oleh karenanya, sejak awal Demokrat membebaskan pilihan capres kepada kader-kadernya.
Misalnya, Jhoni Allen Marbun. Anggota Majelis Tinggi Partai Demokrat ini maju melalui Dapil II Sumatera Utara. Jika dapil tempat Jansen bertarung jadi salah satu dapil terluas, maka Dapil II Sumut ini merupakan dapil dengan jumlah terbanyak mencakup 19 kabupaten/kota.
Ia dengan berani menunjukkan dukungan kepada paslon 01, Jokowi-Ma’ruf Amin, melalui baliho dan spanduk kampanyenya. “Dulu saya tidak memberikan suara, karena keduanya (dinilai) lemah. Tapi setelah lima tahun saya lihat, ‘Oh boleh juga ini Jokowi',” ucap Jhoni saat dihubungi kumparan, pada 26 April 2019.
Lagipula, dapil tempatnya mendulang suara merupakan basis pendukung Jokowi. Dari 19 kabupaten/kota, dipredikisi hanya dua wilayah saja yang menjadi daerah pendukung Prabowo.
Maka dalam spanduknya itu dengan jelas ia memasang tulisan, “Bersama Jokowi-Ma’ruf Amin Kita Lanjutkan Membangun Indonesia. Untuk mewujudkan Provinsi Tapanuli.” Jhoni tak menyangka spanduknya itu akan jadi viral dan jadi bahan perbincangan.
“Saya kan tidak menyangka itu akan viral. Saya cuma ingin menunjukkan eksistensi saja bahwa saya tidak (mendukung) Prabowo. Itu aja sebenernya. Artinya Demokrat itu tidak murni ke Prabowo,” ujar Jhoni.
Menurutnya, beda pilihan antara capres yang ia dukung dengan keputusan partai tak bermasalah. Sebab, dalam kacamata Jhoni, dukungan Demokrat kepada Prabowo hanya bersifat administratif demi taat aturan semata.
Aturan yang dimaksud Jhoni yakni Pasal 235 Ayat (5) Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Pasal tersebut berbunyi, “Dalam hal partai politik atau Gabungan Partai Politik yang memenuhi syarat mengajukan Pasangan Calon tidak mengajukan bakal Pasangan Calon, partai politik bersangkutan dikenai sanksi tidak mengikuti Pemilu berikutnya.”
“Karena hanya (mendukung) secara administratif, dari awal juga tidak bulat, maka timbullah (politik) dua kaki,” ucapnya. Ia juga menambahkan bahwa Demokrat memang dalam perjalanannya sudah terpecah. “Tidak murni ke kubu 02. Terus terang saja, dalam konstelasi politik (pilpres) Demokrat tidak mendapat apa-apa,” imbuh Jhoni.
Menurut politikus senior Demokrat, Andi Alfian Mallarangeng, partainya tidak bisa mengabaikan aspirasi berbeda di daerah-daerah.
“Ada beberapa daerah yang memang nyata-nyata mendukung Jokowi. ‘Kalau kami di sini secara frontal mengatakan kita pendukung Prabowo, habis kita, Pak. Kalau kita nggak mendukung jokowi, kami para caleg gak dapet suara pak’,” ujar Andi ketika ditemui kumparan di rumahnya, Sabtu (27/4).
Rilis survei nasional Split Ticket Voting dalam Pilpres yang dikeluarkan oleh Indikator Politik pada Desember 2018 mengamini bahwa pilihan calon presiden di antara pemilih Demokrat memang terbelah. Sekitar 54 persen memilih Prabowo, namun ada 40,5 persen lebih memilih Jokowi. Sementara 5,4 persen lainnya tidak menjawab atau tidak tahu.
Kondisi tersebut kian menunjukkan tidak penuhnya dukungan Demokrat untuk Prabowo. Apalagi sebagai partai nasionalis-religius, seperti kata Ferdinand, Demokrat tidak mau terjebak dalam politik identitas yang kental dimainkan sebagian tim sukses Prabowo-Sandi.
“Sayang sekali dalam kampanye Prabowo pada di GBK (kampanye akbar pada 7 April 2019), nuansa Islamnya terlalu kental—Islam yang lebih ke kanan,” ucap Andi. Tak heran jika kemudian SBY mengeluarkan kritik dengan menyatakan bahwa kampanye tersebut tidak lazim dan tidak inklusif.
Bagi Ferdinand, kritik yang dilontarkan SBY sudah sepatutnya disampaikan dan sesuai fakta di lapangan. “Koalisi ini kan koalisi partai politik, harusnya yang dominan di situ adalah partai politik. Tapi ternyata lebih dominan kelompok politik Islam. Yang orasi juga kita lihat lebih banyak dari kelompok mereka, bukan dari parpol,” ucapnya.
Dalam gelaran pileg kali ini, persentase suara yang diraih Demokrat diprediksikan menurun. Jika lima tahun lalu ia masih bisa memperoleh 10 persen suara, kini Demokrat kemungkinan hanya akan meraih 7-8 persen suara saja.
Menurut Ferdinand, turunnya persentase suara Demokrat adalah hal yang wajar. “Permasalahan yang paling utama adalah Pak SBY tidak bisa hadir secara fisik. Sementara ketokohan AHY belum bisa menyamai SBY,” ucapnya.
Selain itu, Demokrat juga tidak memperoleh efek ekor jas dari Prabowo. “Pemilih muslim lari ke PKS dan PAN, sementara pemilih nasionalis lebih banyak di Gerindra.”
Meski telah menduganya sedari awal, namun awan keraguan bercampur harapan mendapat tambahan suara dari massa pendukung Prabowo masih menggantung. “Ternyata berubah terlebih setelah ada seruan dari Habib Rizieq untuk memilih PKS. Kita melihat ada perubahan segmentasi pemilih para pendukung Pak Prabowo,” ucap Ferdinand.
Perubahan tersebut, menurut Ferdinand, jauh di luar dugaan Demokrat. “Setelah ada seruan dari HRS, terlihat sekali gerbong itu bergeser ke PKS dan PAN,” imbuhnya.
Sementara itu, meski secara persentase menurun, Andi meyakini jumlah suara Demokrat tidak turun justru sedikit bertambah berkat kerja-kerja kampanye AHY sedari tahun lalu.
“Perkiraan kami, total suara Demokrat tetap bahkan naik. Karena partisipasi pemilih itu naik, dari 70 persen menjadi 80 persen, maka faktor pembagi menjadi lebih besar. Sehingga persentase kita turun,” ucap Andi.
Pada 2014, jumlah pemilih Demokrat ada di kisaran 12,7 juta. Kini dengan prediksi sebesar 7-8 persen dari sekitar 190 juta pemilih dengan tingkat partisipasi mencapai 80 persen, jumlah suara Demokrat diperkirakan masih tetap berada di kisaran 12 juta.
Sebab, menurut Andi, partainya itu telah memiliki massa nasionalis-religius yang loyal. “Kelemahan kami adalah tidak punya calon presiden, tidak punya calon wakil presiden, dan logistik pas-pasan,” ucapnya diiringi tawa.
Partai ini pun merasa cukup puas dengan hasil yang diperolehnya. “Berat sekali menjadi partai tengah di dalam kontestasi seperti ini, memang berat sekali,” kata Ferdinand.