Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
ADVERTISEMENT
Tak ada yang pasti dalam politik. Awal 2018, Susilo Bambang Yudhoyono masih mengisyaratkan Partai Demokrat akan berkoalisi dengan Presiden Joko Widodo untuk Pilpres 2019. Namun pertengahan tahun, Demokrat beralih ke kubu Prabowo.
ADVERTISEMENT
Bergabungnya Demokrat dan Gerindra jelas menumbuhkan dinamika baru—jika tak mau disebut gejolak—dalam penentuan pasangan capres-cawapres poros oposisi.
Sebelum Demokrat merapat, nama yang dinarasikan akan mendampingi Prabowo didominasi kader-kader PKS. Maklum, partai tersebut sedari awal secara terbuka meminta jatah pos RI-2.
Tapi kini cerita jadi lain. Demokrat—yang perolehan suaranya di parlemen lebih besar dari PKS—tentu tak akan semudah itu melepaskan kursi cawapres. Ini bukan cuma soal ‘Prabowo ingin siapa’, tapi ‘kompensasi’ untuk Demokrat yang bakal membantu signifikan Gerindra dalam kampanye pemilu.
Banyak hal jadi pertimbangan: soal logistik besar yang jelas akan keluar, perkara coattail effect dan capaian legislatif yang anjlok jika tak menampilkan sosok siapa pun di Pilpres 2014, sampai kenyataan bahwa kader merekalah (AHY) yang punya elektabilitas paling tinggi dibanding calon-calon lain di koalisi.
ADVERTISEMENT
Meski di muka umum SBY mengatakan kursi “cawapres bukan harga mati”, sungguh tidak mungkin Demokrat melepaskan kesempatan ini begitu saja.
Lihat saja bagaimana konferensi pers usai pertemuan Prabowo-SBY digelar pada Selasa (24/7). Agus Harimurti Yudhoyono , anak emas Demokrat itu, meski berdiri di belakang, ditempatkan gagah di antara SBY-Prabowo. Maksudnya subtil, tapi terang benderang: Kami, SBY-Prabowo, sepakat anak ini yang jadi calon wakil presiden di Pilpres 2019. Titik.
Tentu, banyak hal mesti dikerjakan agar kesepakatan itu berjalan sesuai rencana. Utamanya memastikan partai koalisi—PAN dan PKS—tetap nyaman dan tak ke mana-mana meski ‘tak dapat apa-apa’.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya, bagaimana peluang AHY untuk mendampingi Prabowo di Pilpres 2019 nanti? Apa yang terjadi sehingga Demokrat, yang sudah sangat dekat bergabung dengan kubu Jokowi atau berniat membentuk poros ketiga, tiba-tiba menyeberang ke Prabowo?
Para petinggi Demokrat menjawab persoalan-persoalan ini. kumparan, dalam beberapa kesempatan, mewawancarai Ketua Dewan Kehormatan Demokrat Amir Syamsuddin, serta Wasekjen Demokrat Rachland Nashidik dan Didi Irawadi Syamsuddin.
Demokrat hampir pasti menyeberang ke Gerindra. Kenapa batal ke koalisi Jokowi?
Rachland: Dengan mendengarkan aspirasi dari para pengurus, DPP merumuskan tiga opsi. Satu, berkoalisi (dengan) Jokowi; dua, berkoalisi dengan Pak Prabowo; tiga, bila mungkin, poros ketiga.
Tapi, kebijakan politis Jokowi—presidential threshold—menghalangi kami untuk opsi ketiga. Apalagi ada coattail effect—kalau tidak mengusung sendiri tidak bisa mendapat suara di Pemilu Legislatif Serentak.
ADVERTISEMENT
Sementara buat pilihan pertama, setahun kemarin Partai Demokrat mencoba mengikuti permintaan PDIP. Tapi mereka banyak rahasia soal cawapres. Mau kami ada mutual respect, ada kesetaraan kesepahaman, soal prioritas negara, soal (situasi) ekonomi politik saat ini.
Kami tidak minta mesti AHY (sebagai cawapres Jokowi), meski di dalam survei (elektabilitasnya) tinggi. Tapi sama Pak Jokowi malah ditutup (dirahasiakan) nama cawapresnya. Maksudnya memang menyandera biar tidak ada partai yang loncat. Itu memang bisa dipahami dari sudut pandang strategi politik. Tapi buat demokrasi nggak baik.
Megawati disebut sebagai salah satu faktor kegagalan Demokrat berkoalisi Jokowi. Apakah tidak ada upaya untuk memulihkan hubungan SBY-Mega?
Amir: Sejak Pemilu 2004, kalaupun ada upaya keras, itu dari almarhum (Taufiq Kiemas), suaminya Bu Mega. Sekarang kalau saya lihat, sebetulnya Bapak (SBY) cukup intens berkomunikasi dengan Pak Jokowi. Tidak pernah ada hambatan dan kesulitan
ADVERTISEMENT
Pada awalnya ada niat baik untuk melihat dan menjajaki bersama. Tetapi itu tidak cukup. Pendukung Pak Jokowi yang paling menentukan itu kan Ibu Mega .
Bagi saya, alasan Ibu Mega yang menganggap bahwa Demokrat akan menjadi pesaing yang potensial kalau bersama-sama, itu sangat manusiawi secara politik. Jadi tidak perlu ada alasan untuk menyalahkan kalau ada sikap seperti itu. Karena pasti melihat ke depan (Pemilu 2024).
Persoalannya, kalau kami tidak begitu diterima oleh koalisi yang mendukung pemerintah sekarang, di mana yang dominan adalah PDIP, itu tidak perlu menjadikan Pak SBY menjadi marah atau kecewa. Dia kan realistis saja.
Akhirnya sekarang Demokrat merapat ke kubu Gerindra. Lebih karena pragmatis atau ada kesamaan visi misi?
ADVERTISEMENT
Didi: Saya kira pertemuan (Prabowo-SBY 24 Juli) kemarin itu sangat kondusif. Terbangun chemistry yang baik. SBY dan Prabowo tidak hanya bicara soal kursi jabatan capres-cawapres. Kedua belah pihak memulainya dengan manakala terbentuk koalisi itu, persoalan yang dihadapi bangsa ini bisa ada solusinya.
Ada pemikiran-pemikiran untuk membangun solusi terbaik atas problem-problem yang terjadi pada bangsa ini. Seperti kita lihat, ada persoalan ekonomi yang kurang baik seperti pengangguran, hukum yang masih bermasalah, sampai yang tren belakangan ini soal rupiah yang makin melemah.
Jadi membangun koalisi karena ada persamaan pemikiran, visi, untuk mencari solusi bersama menuju yang lebih baik.
Prabowo kan kalah di Pemilu 2014. Elektabilitasnya jauh dari Jokowi. Bagaimana cara Demokrat memastikan diri tak berada di gerbong yang salah?
ADVERTISEMENT
Didi: Berdasarkan survei, Pak Prabowo memang tertinggal oleh Pak Jokowi. Kalau nggak salah Pak Jokowi di antara 35-50 persen, Pak Prabowo antara 30-40 persen. Tapi coba kita perhatikan baik-baik, ternyata masa mengambang masih besar sekali, hampir 50 persen.
Situasi saat ini berbeda dengan yang lalu. Sangat dinamis. Meskipun berdasarkan survei, Pak Prabowo sekarang masih di bawah Pak Jokowi, tetapi segala kemungkinan itu masih bisa terjadi dengan mempertimbangkan adanya 40-50 persen.
Oleh karena itu, masuknya Partai Demokrat ini menjadi faktor penentu.
Pada 2014 ketika Jokowi dan Prabowo bertarung, Demokrat netral posisinya. Mungkin kalau kami bergabung dengan Pak Jokowi, dia bisa lebih banyak lagi pemilihnya. Atau kalau kami mendukung Pak Prabowo saat itu, Pak Jokowi belum tentu menang.
ADVERTISEMENT
Ini tentu patut dipertimbangkan oleh siapa pun yang bergabung dengan kami. Dua kali masa jabatan (capres-cawapres) yang dipilih langsung tentu sesuatu yang menarik. Dan suara kami yang 10 persen lebih ini bukan sekadar menjadi penyeimbang, tetapi juga bisa menjadi penentu dalam kontestasi pilpres yang akan datang.
Seberapa besar kans AHY menjadi cawapres Prabowo?
Amir: Kami sangat bersyukur jika kader kami, Agus Harimurti Yudhoyono, diakomodir dengan tempat paling mulia di dalam koalisi.
Sangat bagus kalau dia duduk di kursi pemerintahan untuk menjadi ajang persiapan ke depan. Kalau duduk di pemerintahan sebagai apapun itu sangat manfaat. Tidak harus menentukan, “Saya harus jadi cawapres.” Kalau mendapatkan posisi itu, alhamdulillah.
Yang menentukan siapa cawapres itu capresnya. Dan tentunya mempertimbangkan koalisi yang lain. Kami masih bersama-sama. Kedekatan Prabowo ke Demokrat tidak berarti meninggalkan koalisi yang sudah setia mendampingi Gerindra selama ini, yaitu PKS dan PAN.
ADVERTISEMENT
Dan Demokrat tidak mentang-mentang, “Sudah dengan kita saja, yang sana ditinggal.” Kami perlu tetap bersama-sama, bahu-membahu dengan mitra koalisi yang ada.
Jadi nanti kalau dihadapkan dengan deadline pendaftaran, di situlah peran dari capres yang sangat menentukan, yaitu Prabowo sendiri.
------------------------
Simak aksi Para Penantang Jokowi di Liputan Khusus kumparan.