news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Capim Tanak Kritik OTT KPK: Kalau Tunggu Transaksi, Itu Penjebakan

12 September 2019 16:33 WIB
comment
7
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Johanis Tanak mengikuti uji kepatutan dan kelayakan calon pimpinan KPK di Komisi III DPR RI, Jakarta, Kamis (12/9). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Johanis Tanak mengikuti uji kepatutan dan kelayakan calon pimpinan KPK di Komisi III DPR RI, Jakarta, Kamis (12/9). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
ADVERTISEMENT
Calon pimpinan (capim) Johanis Tanak mengkritik kinerja operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan oleh KPK. Menurut dia, apa yang dilakukan di KPK cenderung menunggu adanya tindak pidana baru kemudian ditangkap. Menurut Tanak, hal tersebut merupakan penjebakan dan bukan OTT.
ADVERTISEMENT
"Dari kata OTT, yang dikatakan operasi tentunya adalah kegiatan terencana untuk melakukan apa, kepada siapa dilakukan, dan tanggal berapa, dan seterusnya. Itu sudah direncanakan sebelumnya," kata Tanak dalam fit and proper test di Komisi III DPR RI, Kamis (12/9).
"Sedangkan yang dikatakan, menurut teori hukum, yang dikatakan tangkap tangan adalah suatu peristiwa yang terjadi dan seketika itu pelakunya ditangkap. Ini ditunggu-tunggu dulu, disadap-sadap, ada penyerahan sesuatu barang, barulah ditangkap," jelasnya.
Menurut teori hukum, Tanak menjelaskan apabila seseorang mengetahui akan adanya tindak pidana seharusnya melaporkan hal itu. Sedangkan, kata dia, KPK membiarkan itu sehingga ada tindakan pidana yang disusul dengan penangkapan.
"Bukan kemudian membiarkan dan kemudian menangkap. Ini suatu penjebakan. Yang idealnya tidak terjadi dalam suatu tindak pidana," ungkapnya.
ADVERTISEMENT
Selain itu, Tanak juga menyinggung mengenai adanya tindakan KPK yang dinilainya melampaui kewenangan, yakni eksekusi terpidana dari rutan ke lapas. Menurut dia, KPK tidak bisa melakukan eksekusi karena tidak diatur dalam UU. Sehingga, KPK perlu berkoordinasi dengan kejaksaan bila akan melakukan eksekusi.
"Ketika melakukan eksekusi, eksekusi dilakukan sendiri oleh KPK, sedangkan UU baik UU pemberantasan tindak pidana korupsi sendiri maupun UU KPK tidak pernah ada kewenangan KPK untuk lakukan eksekusi dari perkara tindak pidana korupsi," ungkapnya.
"Eksekusi dilakukan KPK padahal dalam UU, tidak pernah diberikan kewenangan ke KPK untuk melakukan eksekusi terhadap perkara tindak pidana korupsi. Ini adalah suatu penyimpangan melampaui batasan kewenangan UU," tegasnya.
Idealnya, kata Tanak, pimpinan KPK meminta bantuan Jaksa Agung dalam proses eksekusi. Hal itu sebagaimana diatur Undang-undang tentang Kejaksaan bahwa jaksa adalah eksekutor.
ADVERTISEMENT
"Nah Pimpinan KPK minta Jaksa Agung, kemudian Jaksa Agung memerintahkan Jaksa di KPK untuk eksekusi terhadap perkara tersebut. Itu yang kelihatan jelas yang dilakukan pihak KPK. Hal lain yang saya lihat, ada perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh KPK yang tidak sesuai dengan prinsip hukum atau asas hukum dalam hukum pidana," tutupnya.