Darurat Pelecehan Seksual dan Ruang Publik

25 Januari 2018 15:43 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Tubuh AM gemetar. Ia masih menangis terisak-isak ketika menghampiri salah satu rumah warga. Di rumah itu, AM ingat betul, terdapat kamera Closed Circuit Television (CCTV) yang menyorot ke badan jalan.
ADVERTISEMENT
Dalam suasana hati yang rusuh--antara kaget dan marah, serta tidak adanya saksi mata, AM membentengi diri dengan harapan. Harapan bahwa rekaman dari kamera CCTV itu akan menjadi alat bukti untuk menghukum Ilham Sinna, pelaku pelecehan seksual terhadapnya.
Lokasi kejadian pelecehan seksual yang dialami AM memang jalan yang sepi, walau hanya berjarak sekitar 150 meter dari rumahnya. Saat itu, Kamis (11/1) sekitar pukul 14.30 WIB, tidak ada seorang pun yang AM lihat, bahkan ketika ia berteriak meminta pertolongan.
“Di situ saya langsung teriak, tunjuk dia (pelaku), tetapi enggak ada orang sama sekali di situ. Akhirnya, saya langsung catat pelat nomornya, terus jalan ke perempatan depan, cari orang di situ. Tetapi di situ enggak ada orang,” kata AM ketika ditemui kumparan, Sabtu (20/1).
ADVERTISEMENT
Kasus AM seolah mengingatkan kembali bahwa pelecehan dan kekerasan seksual bukan hanya bisa terjadi di ruang privat, tetapi juga sangat mungkin terjadi di ruang publik, baik di tempat ramai maupun sepi.
kumparan bersama AM, korban pelecehan seksual. (Foto: Charles B./kumparan)
Sebagian orang yang kerap beraktivitas di ibu kota Jakarta dan sekitarnya mungkin telah cukup banyak mendengar berita pelecehan seksual di ruang publik. Dalam persoalan ini, perempuan merupakan kelompok paling rentan terhadap ancaman pelecehan seksual.
Berdasarkan hasil survei Thomson Reuters Foundation yang diterbitkan Oktober 2017, Jakarta menempati urutan ke-9 dari 10 kota besar di dunia yang paling berbahaya bagi perempuan. Salah satu indikator survei itu adalah risiko kekerasan seksual dalam bentuk pelecehan sampai pemerkosaan.
Menghadapi Pelecehan Seksual (Foto: Lidwina Win Hadi/kumparan)
Sekitar satu tahun sebelum pelecehan seksual yang dialami AM, 8 Januari 2017, seorang aktivis kesetaraan gender yang berdomisili di Jakarta, Kate Walton, mendapati hasil ‘mengerikan’ dari eksperimennya.
ADVERTISEMENT
Kate mencoba menghitung pelecehan seksual yang ia alami ketika berjalan dari rumahnya di dekat Pasar Mayestik, Jakarta Selatan, menuju Plaza Senayan.
Hasilnya, selama berjalan kaki sekitar 35 menit, Kate mengalami 13 kali pelecehan seksual verbal yang dilakukan oleh 15 orang laki-laki. Bentuk pelecehan yang ia alami mulai dari siulan (catcalling) sampai ujaran bernada seksis.
Aktivis perempuan Kate Walton. (Foto: Satrio Rifqi/kumparan)
Percobaan Kate bukan tanpa alasan. Sebagai pejalan kaki, Kate sudah sering mengalami pelecehan seksual di ruang publik. Terlebih, menurutnya, kurangnya infrastruktur yang baik kerap meningkatkan risiko pelecehan seksual.
“Kita sendiri tahu bagaimana kondisi jalan di Jakarta,” kata Kate saat berbincang dengan kumparan, Senin (22/1). “Saya sering sekali mencari (mengecek) tempat yang kurang penerangan, misalnya di Jembatan Penyeberangan Orang (JPO).”
ADVERTISEMENT
Sementara kasus AM terjadi di tempat sepi, percobaan Kate dilakukan di tempat ramai. Sebab sebagai kelompok paling rentan, perempuan sangat mungkin menjadi korban pelecehan seksual dalam ragam situasi di ruang publik.
Kasus AM pun membatalkan simpulan orang-orang bebal yang kerap menyalahkan korban pelecehan seksual dengan alasan: gaya berpakaian yang dianggap tidak senonoh dan berada di luar rumah pada malam hari.
AM berpakaian sopan dan berjalan di siang bolong. Artinya: semua perempuan dapat menjadi korban pelecehan seksual di ruang publik--apapun busana yang mereka kenakan, dan pada waktu kapanpun.
ADVERTISEMENT
Di ruang publik, risiko pelecehan seksual juga kerap terjadi di transportasi publik. Salah dua di antaranya ketika berada di dalam bus dan Kereta Rel Listrik (KRL). Di KRL, misalnya, pada Desember 2017 ramai perbincangan soal kesaksian seorang perempuan bernama Virginia Raap di Instagram terkait peristiwa pelecehan seksual yang ia lihat.
Curhat Penumpang KRL (Foto: Instagram/@virginiaraap)
Virginia menyaksikan seorang laki-laki pelaku pelecehan seksual mengeluarkan bagian genitalnya dan menggesek-gesekkan ke bokong seorang perempuan yang berdiri membelakanginya. Situasi di KRL jurusan Jakarta Kota-Cikarang yang ditumpanginya saat itu tengah ramai. Saat itu jam sibuk pulang kantor sekitar pukul 19.00 WIB.
“Gue langsung menjauh pelan-pelan dan geser ke kanan, dan dia semakin ngeliatin gue karena dia sadar kalau gue tahu dia lagi ngelakuin pelecehan seksual,” tulis Virginia, Kamis 7 Desember 2017.
ADVERTISEMENT
Contoh kasus-kasus tersebut menunjukkan bahwa persoalan pelecehan seksual di ruang publik tidak dapat dilepaskan dari kualitas infrastrukturnya. Seperti CCTV dalam kasus AM, pengamatan Kate soal penerangan jalan, dan transportasi publik dalam kesaksian Virginia.
Infrastruktur Berbasis Kesetaraan Gender
Ruang Publik dan Pelecehan Seksual. (Foto: Lidwina Win Hadi/kumparan )
Menyoal risiko pelecehan seksual di ruang publik dalam kaitannya dengan infrastruktur, memang belum banyak diperbincangkan dan oleh karenanya tak cukup diperhitungkan. Selama ini kajian kritis tentang infrastruktur publik cenderung terbatas pada penekanan aspek ramah lingkungan.
Menurut National Program Officer dari UN Women, Iriantoni Almuna, wacana pembangunan infrastruktur berperspektif perempuan dan kesetaraan gender dalam konteks urban planning merupakan wacana yang masih cukup baru di Indonesia.
“Selama ini kita melihat ada aspek yang memang mungkin missing di dalam perencanaan kota, yaitu perspektif perempuan dan perspektif kesetaraan gender. Kalau misalnya tata ruang kota ada perspektif perempuan dan gendernya, kecenderungannya lebih aman,” kata Iriantoni ketika berbincang dengan kumparan, Selasa (23/1).
ADVERTISEMENT
Melalui laporan hasil penelitian UN Women bertajuk Scoping Study Audit Keamanan di Tiga Wilayah Jakarta yang dirilis November 2017, sebuah langkah progresif dimulai untuk memperhitungan ruang publik dan fasilitas publik yang aman dari risiko pelecehan seksual terhadap perempuan.
Laporan hasil penelitian yang dikerjakan bersama Yayasan Pulih itu menyebutkan bahwa dari skala 5, Jakarta hanya mendapat skor 2,5. Skor ini, kata Iriantoni, di tingkat yang cukup baik meski di bawah rata-rata dan memerlukan banyak sekali perbaikan.
ADVERTISEMENT
Walaupun scope study itu hanya dilakukan di tiga wilayah Jakarta (Jakarta Barat, Jakarta Selatan, dan Jakarta Timur yang merupakan tiga wilayah dengan kasus pelecehan/kekerasan seksual paling banyak di ibu kota), namun menurut Jackie Viemilawati--psikolog klinis dan peneliti di organisasi nirlaba Yayasan Pulih yang terlibat dalam penelitian tersebut, hasilnya “cukup bisa memberikan gambaran tentang kekerasan atau pelecehan seksual yang terjadi di ruang publik”.
“Area publik adalah wilayah di mana perempuan juga sebenarnya sudah terlibat di dalamnya, tapi tidak pernah terpikir mereka nyaman atau tidak di situ,” kata Jackie saat ditemui kumparan, Selasa (23/1).
ADVERTISEMENT
Infrastruktur buruk dilihat sebagai salah satu faktor yang berkontribusi terhadap terjadinya kekerasan seksual. Ruang publik di kota dengan penerangan kurang baik, trotoar yang buruk pemeliharaannya, dan kurangnya rambu-rambu jalanan, membuat perempuan lebih merasa tidak aman, khususnya di sore dan malam hari.
Tempat-tempat di ruang publik yang diaudit keamanannya antara lain trotoar, terminal, pasar, taman, dan tempat lain yang banyak digunakan masyarakat untuk beraktivitas.
Secara keseluruhan, data penelitian dikumpulkan melalui 10 focus group discussion, 13 wawancara narasumber kunci, dan 23 audit partisipatif bernama Safety Walk. Selama Safety Walk tersebut, 442 titik telah diaudit.
Hasil audit keamanan ruang publik itu mengemukakan lima aspek penting kelemahan infrastruktur di ruang publik, yakni penerangan, trotoar, angkutan umum, keamanan, dan jarak pandang.
Infografis indikator resiko keamanan Kota Jakarta (Foto: Chandra Dyah Ayuningtyas/kumparan)
Dalam aspek penerangan, 2 persen dari lokasi yang diaudit dinilai sebagai tempat gelap tanpa penerangan sama sekali, sedangkan 24 persen dari titik-titik yang diaudit masuk kategori kurang penerangan.
ADVERTISEMENT
Untuk trotoar, sebanyak 18 persen dari titik-titik yang diaudit tidak memiliki trotoar. Sementara pada 21 persen titik-titik audit terdapat trotoar namun kondisinya kurang baik, sehingga sulit untuk digunakan.
Mengenai angkutan umum, 43 persen dari lokasi audit tidak memiliki akses moda angkutan umum dalam radius 400 meter atau dalam jarak 10 menit berjalan kaki. Pada 19 persen lokasi audit lainnya, halte bus dapat dijangkau setelah berjalan kaki selama 5-10 menit.
Sementara aspek keamanan--yang parameternya ditentukan oleh ada atau tidaknya polisi maupun petugas lainnya lokasi tertentu--menunjukkan bahwa 63 persen lokasi tidak memiliki petugas keamanan sama sekali. Sementara pada 26 persen lokasi lainnya terdapat patroli polisi atau penjaga keamanan pribadi/swasta.
Terakhir, aspek jarak pandang (visibilitas). Dalam menilai jarak pandang, yang diperhatikan adalah adanya pengawasan alamiah. Misalnya, jendela dan rancangan gedung yang menghadap ke jalan dengan pembatas jendela rendah. Hal tersebut memengaruhi rasa aman perempuan saat berjalan melalui suatu daerah.
ADVERTISEMENT
Hasil audit yang dilakukan menunjukkan angka lumayan baik untuk parameter jarak pandang. Sebanyak 50 persen lokasi audit memiliki visibilitas yang cukup baik. Hanya 17 persen lokasi audit yang dinilai rendah visibilitas.
Bukan berarti pada tempat-tempat yang memiliki infrastruktur lebih baik, dapat dikatakan aman, misalnya tempat yang sudah terang atau dengan penjagaan petugas keamanan.
“Tapi, sebisa mungkin infrastruktur dibangun untuk seminimal mungkin menimbulkan risiko terjadinya kekerasan seksual,” ujar Jackie.
Mengintervensi tata ruang kota dan infrastruktur yang berpersperktif perempuan dan keadilan gender menjadi penting, mengingat prinsip yang menyebutkan bahwa ruang memengaruhi kondisi alam pikir manusia di dalamnya.
ADVERTISEMENT
Demikian pula sebaliknya. Ketika perempuan menjadi kelompok paling rentan mengalami pelecehan seksual di ruang publik, bisa jadi ruang publik itu sendiri merepresentasikan tidak diakomodasinya kepentingan perempuan. Hal ini sangat mungkin disebabkan oleh perencanaan tata ruang dan infrastruktur yang didominasi oleh laki-laki.
“Ruang itu akan mempengaruhi psikologi atau kegiatan atau karakteristik orang yang ada di sana,” kata pakar tata ruang kota UGM, M. Sani Roychansyah, kepada kumparan, Senin (22/1).
Bus dan Gerbong Khusus Perempuan
Gerbong Wanita KRL (Foto: Intan Alfitry Novian/kumparan)
Upaya preventif pemerintah untuk mengurangi risiko pelecehan seksual terhadap perempuan memang sudah tampak, misalnya, yang paling menonjol dengan adanya bus TransJakarta dan gerbong KRL khusus perempuan. Namun, menurut Irianto, pengadaan armada itu belum cukup mengakomodasi jumlah pengguna.
ADVERTISEMENT
Selain itu, pengelola transportasi publik pun belum tentu memahami pelecehan/kekerasan berbasis gender, sehingga sangat mungkin pencegahan dan penanganan yang dilakukan kurang tepat ketika terjadi pelecehan/kekerasan seksual.
“Terutama yang bertugas di ruang publik, mereka juga seharusnya aktif mencegah sebelum kekerasan terjadi, dan merespons ketika kekerasan sudah terjadi. Mereka punya kemampuan itu dan punya keberpihakan terhadap korban,” kata Irianto.
Lagi pula, pengadaan armada khusus perempuan dipandang hanya solusi jangka pendek. Sebab, yang lebih penting adalah perubahan pola pikir masyarakat. Untuk saat ini, kata Jackie, ruang khusus perempuan tampak membantu, mungkin meminimalkan, walaupun masih dibutuhkan studi lebih lanjut untuk membuktikan simpulan tersebut.
ADVERTISEMENT
Pengawasan CCTV
Kasus AM mengajarkan nilai penting keberadaan CCTV di ruang-ruang publik, terutama di lokasi-lokasi rawan seperti tempat sepi. Sering kali laporan kasus pelecehan seksual tidak dapat diselesaikan karena tidak ada saksi mata. Rekaman dari CCTV pun akan membantu.
Sayangnya, selama ini pemanfaatan CCTV cenderung untuk pemantauan lalu lintas, kecuali di tempat-tempat perbelanjaan yang biasanya digunakan untuk memantau perilaku pengunjung dan aksi kriminalitas.
Menurut Sani, pengadaan CCTV di ruang-ruang publik sudah semestinya dimanfaatkan sebagai cara mencegah terjadinya pelecehan/kekerasan seksual maupun untuk kepentingan penyelidikan jika hal tersebut sudah terjadi. Pemerintah pun sebaiknya memberi tahu letak-letak CCTV yang ada di ruang publik.
ADVERTISEMENT
Hasil penelitian UN Women dan Yayasan Pulih juga menelurkan rekomendasi kepada pemerintah untuk menempatkan banyak CCTV di ruang publik, selain juga untuk membangun pos-pos polisi di lokasi rawan.
Pada akhirnya, memperbaiki infrastruktur publik untuk menciptakan rasa aman dan nyaman bagi perempuan, merupakan suatu kewajaran sebagai upaya memberikan keadilan. Tetapi, jangan sampai hal itu justru menghambat aktivitas perempuan di ruang publik.
------------------------
Apakah kamu pernah mengalami pelecehan seksual? Atau menjadi saksi mata peristiwa tersebut? Mari berbagi kisah di kumparan. Kamu juga bisa mengikuti isu mendalam lain dengan mem-follow topik Liputan Khusus di kumparan.