LIPSUS SETAN GUNDUL, Prabowo Subianto, Kertanegara

Demokrat: Kami Kurang Respek dengan Pola Kerja Koalisi Prabowo

13 Mei 2019 13:14 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Calon Presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto menyapa para pendukungnya saat meninggalkan kediaman Kertanegara di Jakarta Selatan, Rabu (17/4/2019). Foto: ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan
zoom-in-whitePerbesar
Calon Presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto menyapa para pendukungnya saat meninggalkan kediaman Kertanegara di Jakarta Selatan, Rabu (17/4/2019). Foto: ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan
ADVERTISEMENT
Kicau Andi Arief soal “setan gundul” kian memperlihatkan riak antara Partai Demokrat dengan Badan Pemenangan Nasional Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno. Andi menyebut ada ‘setan gundul’ yang memasok informasi kepada Prabowo soal angka kemenangan 62 persen. Informasi ini lantas mendorong Prabowo mendeklarasikan kemenangannya pada hari pencoblosan Rabu (17/4).
ADVERTISEMENT
Wakil Sekjen Partai Demokrat Ferdinand Hutahaean mengaku meski kicauan itu merupakan sikap pribadi Andi tetapi partainya menghendaki keterbukaan yang sama soal angka 62 persen ini. Hingga sekarang partainya mempertanyakan muasal data kemenangan 62 persen itu.
“Kita ingin menang terhormat, dengan cara yang benar, dengan data yang baik dan benar. Kalau kita sudah mengklaim kemenangan sekian persen maka itu akan dan harus kita pertahankan, tidak boleh meragukan,” ujarnya.
Ia menceritakan bagaimana keputusan deklarasi usai pencoblosan itu dilakukan di Kantor BPN Prabowo-Sandi, Jalan Kertanegara, Jakarta Selatan. Ia mengaku ada disana dan keberatan dengan keputusan deklarasi karena data tak akurat.Tapi keberatannya dibungkam kelompok ijtima ulama dan PKS.
“Dan saya pun tidak turut serta dalam deklarasi,” ucapnya ketika dihubungi melalui telepon pada Rabu (8/5).
ADVERTISEMENT
Setan Gundul ini hanya satu dari sekian riak antara Partai Demokrat dan BPN Prabowo-Sandi. Riak lainnya sudah terjadi pada saat Kampanye Akbar Prabowo-Sandi di Gelora Bung Karno, Jakarta pada Minggu (7/4).
SBY melayangkan surat kepada petingginya agar memberi pesan kepada Prabowo untuk menggelar kampanye yang mencerminkan kemajemukan. Surat itu ditujukan untuk Sekretaris Majelis Tinggi Amir Syamsuddin, Wakil Ketua Umum Syarief Hasan, dan Sekjen Hinca Panjaitan.
Capres Prabowo Subianto berpelukan dengan Andi Arif usai bertemu dengan Ketum Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono, di kediaman SBY, Mega Kuningan, Rabu (12/9). Foto: RIcad Saka/kumparan
“Cegah demonstrasi apalagi "show of force" identitas, baik yang berbasiskan agama, etnis serta kedaerahan, maupun yang bernuasa ideologi, paham dan polarisasi politik yang ekstrim,” ujar SBY dalam penggalan suratnya.
Selain itu ada juga pertemuan putra sulung SBY, Agus Harimurti Yudhoyono dengan Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, Kamis (2/5). Pertemuannya itu membahas soal mewujudkan Indonesia yang lebih baik. Tidak ada pembahasan soal koalisi.
ADVERTISEMENT
Ferdinand secara terang-terangan mengakui partainya tak nyaman dengan pola kerja BPN Prabowo-Sandiaga. Parpol peserta koalisi justru mendapat ruang yang terbatas.
“Kalau dibilang tidak nyaman ya mungkin juga ya. Tetapi jelas bahwa kita agak kurang respect dengan pola kerjanya,” ucap dia..
Namun Sekjen Partai Demokrat, Didi Irawadi, tak mau gegabah soal sikap partainya. Ia menyebutkan sampai saat ini loyalitas PArtai Demokrat tetap berada di koalisi Prabowo-Sandi. Cuitan Andi Arief, surat SBY saat Kampanye Akbar Prabowo-Sandi, dan pertemuan AHY-Presiden Jokowi, menurutnya sebuah peristiwa politik yang normal dan tak perlu dibesar-besarkan.
“Sebagaimana yang sudah disampaikan Sekjen kami, Bung Hinca Panjaitan, jelas Partai Demokrat dalam koalisi 02 hingga hari ini,” jelasnya
Lalu bagaimana sebenarnya sikap Partai Demokrat pada Koalisi Prabowo-Sandi? Berikut wawancara kumparan dengan Wasekjen Demokrat Ferdinand Hutahaean dan Wasekjen Didi Irawadi Syamsuddin.
Ferdinand Hutahaen, politisi Partai Demokrat yang ditemui awak media pada Kamis (9/8). Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Wasekjen Demokrat Ferdinand Hutahaean
ADVERTISEMENT
Kicauan Andi Arief soal Setan Gundul seolah-olah menunjukkan Demokrat sudah tak nyaman di koalisi Prabowo-Sandi?
Ini kan koalisi partai politik, maka seharusnya rancangan, langkah-langkah strategis maupun taktis dalam koalisi ini harus diputuskan oleh pimpinan partai dalam koalisi. Kemenangan Pak Prabowo terakhir dengan angka 62 persen, semestinya ini harus dimusyawarahkan bersama-sama dengan basis data yang kuat.
Tapi kalau terkait dengan pernyataan angka 62 persen itu tidak rasional itu sebetulnya pendapat pribadinya Andi Arief, berdasarkan analisis. Jadi bukan sikap resminya partai. Apa yang disampaikan Andi Arief itu dasarnya adalah membandingkan kemenangan presiden SBY pemilu 2009 dengan pemilu 2019.
Kalau berkaca kepada pemilu 2009, SBY itu menang 60,2 persen dengan kondisi SBY memenangkan lebih dari setengah provinsi di Indonesia, terutama di Pulau Jawa. Yang di mana Jawa ini adalah pusat dari penduduk Indonesia, di mana penduduk Indonesia lebih dari setengahnya ada di Jawa. Dan itu dimenangkan SBY seluruhnya tanpa kecuali. Namun SBY secara nasional dalam persentase hanya menang 60 persen.
ADVERTISEMENT
Nah kalau kita melihat dan membandingkan dengan Pilpres 2019 sekarang, Prabowo itu kalah di Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur, memang menang banyak di beberapa daerah.
Dari sini analisisnya timbul kalau kalah di provinsi terbesar, Jawa Tengah dan Jawa Timur, maka menurut analisisnya Andi Arief tidak mungkin Prabowo menang di angka 62 persen. Kalaupun misalnya menang berada di kisaran 54-56 persen, itulah yang dipikirkan Andi Arief makanya dia men-Tweet.
Di tweet itulah berdasarkan pemikirannya. Jadi dia bilang ini pasti ada memasok data yang salah, tidak akurat kepada Prabowo. Sehingga Prabowo tanda kutip disesatkan oleh informasi. Maka Andi Arief kemudian menggelari, menjuluki, pemasok informasi yang menyesatkan Prabowo dengan informasi yang salah itu sebagai setan gundul.
ADVERTISEMENT
Kritik Andi Arief soal klaim kemenangan 62 persen itu sejalan dengan sikap Demokrat?
Kita ingin menang terhormat, dengan cara yang benar, dengan data yang baik dan benar. Kalau kita sudah mengklaim kemenangan sekian persen maka itu akan dan harus kita pertahankan, tidak boleh meragukan. Nah sekarang timbul polemik di tengah publik.
Apakah Prabowo menang 62 persen? Bolak-balik TKN menantang untuk menunjukkan dimana data dikumpulkan, real count-nya, dimana C1, dan segala macam. Karena ini basisnya C1.
Nah inilah yang kemudian di kita, internal Partai Demokrat mempertanyakan ini sebetulnya basis angka ini dari mana? Sebenarnya memang kita mau menyampaikan ini secara tertutup. Namun sahabat kami Andi Arief sudah mencuit lebih dulu jadi bikin ramai. Jadi sebetulnya yang disampaikan Andi Arief itu walaupun pernyataan pribadi tapi itu juga yang berkembang di internal partai.
Paslon nomor urut 02, Prabowo-Sandi mengangkat tangan saat mendeklarasikan kemenangannya di kediaman Kertanegara. Foto: Antara/Indrianto Eko Suwarso
Apakah Demokrat menilai keputusan strategis di koalisi seharusnya dibahas terlebih dahulu oleh partai pendukung, termasuk soal 62 persen?
ADVERTISEMENT
Jadi keputusan klaim pertama 62 persen itu kan diputuskan pada hari H pemilihan, tanggal 17 sekitar jam 19.00 WIB. Saya ada di sana, saya orang yang salah satunya keberatan dengan deklarasi 62 persen itu. Karena apa? bagi saya datanya belum akurat.
Maka pada saat itu saya meminta untuk tidak usah bolak-balik kita deklarasi karena sekitar jam 5 sore kita sudah deklarasi dan mengklaim menang berbasis exit poll. Saya bilang ini saja kita pertahankan. Bahwa kita menang berdasarkan data yang ada.
Namun kawan-kawan kami terutama dari kelompok ulama saya sebut dan kawan-kawan PKS sangat ingin mengklaim kemenangan. Maka terjadilah pada malam itu deklarasi 62 persen sekitar jam 7 malam. Dan saya pun tidak turut serta dalam deklarasi.
ADVERTISEMENT
Klaim sebelumnya saya masih berdiri bersama mendampingi Pak Prabowo. Jadi itu yang kita pegang dan itulan analisisnya. Karena bagi Partai Demokrat, data itu sangat kuat, sangat penting sekali, tidak boleh kita asal-asalan mengklaim. Itulah roh marwah partai demokrat.
Berarti ini menyangkut kredibilitas Partai Demokrat?
Oh iya. Semua tahu Pak SBY adalah orang yang sangat perfectionist untuk masalah data dan informasi dan penyampaian-penyampaian ke publik. Dan kami selalu dididik oleh beliau untuk selalu seperti itu.
Kalau kita mau diakui publik, mau dipercaya publik, maka kita harus kuat dengan data dan informasi. Jadi tidak asal mengklaim, tetapi kemudian tidak mampu kita pertahankan karena kita tidak memiliki data.
Itu selalu ditekankan oleh Pak SBY dalam setiap pertemuan bahwa data harus kuat dan tidak boleh asal-asalan.
ADVERTISEMENT
Deklarasi menang 62 persen didorong kelompok ulama?
Saat itu saya protes, tetapi kawan-kawan yang lain, terutama PKS dan kelompok ulama ingin segera mengklaim kemenangan. Itulah yang terjadi malam itu. Maka, ketika ada deklarasi berikutnya, itu keluar perintah dari Pak SBY kepada kami untuk menarik diri dari deklarasi itu.
Itulah yang berkembang salah di tengah publik bahwa seolah-olah Partai Demokrat diperintahkan menarik diri dari BPN. Padahal tidak. Perintahnya adalah menarik diri dari deklarasi kemenangan 62 persen yang katanya dengan data 610 ribu C1.
Itu bagi Demokrat memang agak meragukan, maka keluarlah perintah Pak SBY untuk menarik kadernya dari deklarasi itu. Partai Demokrat menarik diri dari deklarasi karena kami anggap datanya tidak kuat.
ADVERTISEMENT
Demokrat tidak nyaman dengan sikap Prabowo yang lebih mendengarkan ulama?
Koalisi ini kan koalisi partai politik, maka kita ingin partai politik yang mendominasi segala langkah strategis maupun taktis dalam operasional koalisi ini. Jadi kalau sahabat saya Andi Arief melihat Prabowo jadi terlalu menempatkan ulama sebagai motor dari koalisi ini ya itu pandangan dari Andi Arief. Tetapi Pak SBY selalu menekankan untuk tetap membantu BPN.
Memang selalu menjadi pertanyaan, mengapa partai koalisi tidak menjadi motor. Termasuk ketika kampanye akbar di GBK, yang dilihat bahwa pada saat itu alumni 212 yang berperan tapi bukan partai koalisi.
Nah, hal-hal seperti itu yang kita ingin bahwa motornya harusnya parpol karena kita yang berkoalisi. Kalau dibilang tidak nyaman ya mungkin juga ya. Tetapi jelas bahwa kita agak kurang respek dengan pola kerjanya.
ADVERTISEMENT
Apakah ketidaknyamanan ini memicu Demokrat untuk menyeberang ke Jokowi?
Belum tentu juga. Belum tentu kita berkoalisi dengan 01. Mungkin juga pilihan kita menjadi partai penyeimbang. Kalau melihat situasi sekarang, kemungkinan besar KPU ini kan akan menetapkan Jokowi sebagai pemenang pemilu. Dan saat ini, opsi terdepan bagi Demokrat adalah kembali menjadi partai penyeimbang. Itu artinya tidak berada di dalam pemerintah tapi juga tidak menjadi oposisi.
Tapi segala kemungkinan bisa saja terjadi di dalam politik. Tidak tahu kalau Pak Jokowi ditetapkan menjadi presiden kemudian meminta Partai Demokrat untuk berkontribusi di dalam pemerintahan tentu kamu akan mempertimbangkannya dan akan membahasnya di majelis tinggi partai yang dipimpin SBY.
Jadi belum tentu kita koalisi dengan 01, tapi belum tentu juga dengan 02. Kemungkinan besar opsinya itu tadi kita menjadi partai penyeimbang.
Presiden Joko Widodo berbincang dengan Agus Harimurti Yudhoyono. Foto: Biro Pers Sekretariat Presiden - Rusman
Pertemuan Jokowi dengan AHY memperkuat sinyal koalisi?
ADVERTISEMENT
Hubungan Pak Jokowi dan Partai Demokrat kan baik-baik saja sebetulnya. Dengan SBY silaturahminya baik, dengan AHY juga demikian. Tetapi pertemuan kemarin tidak membicarakan tentang koalisi. Pak Jokowi ingin mendengar pandangan politik dari Demokrat terhadap situasi terkini, saat penetapan KPU, dan pasca penetapan KPU, AHY menyampaikan.
Jadi itu yang dibahas, ditambah sedikit silaturahmi kesehatan Bu Ani. Jadi tidak berbicara mengajak Partai Demokrat untuk bergabung.
Demokrat menolak wacana people power?
Tentu. Partai Demokrat tidak mendukung opsi people power. Saya menerima perintah ketum untuk menolak dan tidak bergabung di dalam semua kegiatan yang inkonstitusional. Jadi kalau ada hal-hal di luar konstitusi Partai Demokrat tidak terlibat.
Pak SBY memerintahkan saya untuk membantu BPN sepanjang itu di koridor hukum. Kalau masuk ke MK kami diperintahkan membantu. Atau kalau ada tim pencari fakta, Pak SBY memerintahkan kami untuk membantu.
Wasekjen Demokrat, Didi Irawadi Syamsuddin. Foto: Instagram/@didi_irawadi
Wasekjen Partai Demokrat Didi Irawadi Syamsudin
ADVERTISEMENT
Demokrat masih konsisten dengan koalisi Prabowo-Sandi?
Demokrat adalah partai pengusung dan pendukung pasangan Prabowo - Sandi. Tentu kita konsisten dengan sikap kita. Sebagaimana yang sudah disampaikan Sekjen kami, Bung Hinca Panjaitan, jelas Partai Demokrat dalam koalisi 02 hingga hari ini.
Dan kami pada hari ini sedang menunggu perhitungan suara sampai final tanggal 22 Mei dan kami semua mengawal perhitungan suara ini bersama-sama dengan koalisi kami.
Menyikapi dinamika di internal koalisi Prabowo belakangan, Partai Demokrat tampak gusar?
Kalau Partai Demokrat enggak gusar, sampai hari ini konsisten. Mungkin ada rekan dari Demokrat yang melemparkan tweet ya. Saya kira itu hal-hal yang biasa saja di social media pada hari ini.
Kebetulan Bung Andi Arief ini salah seorang influencer dengan follower yang banyak dan digemari tweetnya. Bukan Bung Andi Arief saja yang sering bikin tweet yang bikin ramai. Banyak tuh kalau kita lihat politisi-politisi. Ada Bung Fadli Zon, Fahri Hamzah, Budiman Sudjatmiko.
ADVERTISEMENT
Siapa yang dimaksud Andi Arief dengan Setan Gundul?
Yang bisa menjawab ya Andi Arief sendiri. Apalagi menyangkut setan gundul. Tetapi kalau saya mencoba positif saja ya. Mungkin maksudnya Bung Andi Arief ini mengingatkan kita semua agar dalam pemilu ini kita konsisten pada konstitusi. Jadi kalau ada masukan-masukan yang mengarah penyelesaian di luar itu sebaiknya jangan.
Kicauan Andi Arief secara tidak langsung menyerang Prabowo?
Kalau cuitan dibalas saja sama cuitan. Kata Gus Dur "kok gitu aja repot." Balas aja sama cuitan, argumentasi, kenapa terlalu sensitif? Semua berpedoman pada perhitungan yang resmi kok. Nggak akan berpengaruh, namanya social media dan sebagainya, ujung-ujungnya kita buka dokumen resmi kok.
Presiden Joko Widodo (kanan) berjabat tangan dengan Ketua Kogasma Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono saat membuka Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Partai Demokrat 2018. Foto: ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya/aww
Di tengah keriuhan ini, AHY justru bertemu Presiden Jokowi. Ini sinyal Demokrat menyeberang?
ADVERTISEMENT
Jadi saya kira undangan ini datang dari Presiden Jokowi. Saya kira ini undangan yang bagus pada saat bangsa ini nyaris terbelah karena situasi yang panas oleh Pilpres. Suatu niat baik, tujuan baik untuk Indonesia ke depan.
Lalu diundang kader terbaik kami, Mas AHY. Dan Mas AHY menghormati undangan tersebut datang ke sana, saya kira hal yang bagus. (AHY) Berkesempatan memberikan masukan-masukan, sumbang saran, pemikiran bagaimana menjaga Pemilu yang damai ini. Lalu juga nanti pasca Pemilu dan selanjutnya bagaimana Indonesia yang baik, kan bagus.
Silaturahmi macam ini harus terus dibuka, saya kira, dengan berbagai tokoh-tokoh yang kompeten saya pikir sangat bagus. Apalagi suasananya masih panas ini.
Apakah hanya silaturahmi, tak ada pembahasan soal koalisi?
ADVERTISEMENT
Silaturahmi kebangsaan. Jelas yang dilakukan dan Partai Demokrat menyambut baik.
Apa Mau Demokrat? Foto: Basith Subastian/kumparan
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten