Di Balik Nasib Nahas Jumiati Diterkam Harimau

9 Januari 2018 13:19 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Harimau (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Harimau (Foto: Pixabay)
ADVERTISEMENT
Tragedi Jumiati, karyawati Eboni Estate PT THIP yang tewas diterkam harimau, Rabu (3/1), menyisakan pilu sekaligus masalah lain di balik itu.
ADVERTISEMENT
Nasib nahas itu bermula sekitar pukul 10.00 WIB, ketika Jumiati (33) bersama dua rekannya--Yusmawati (33) dan Fitryanti (40)--sedang bekerja. Mereka tengah mendata pohon sawit yang terserang hama ganoderma di kawasan kebun sawit KCB 76 Blok 10 Afdeling IV di Indragiri Hilir, Riau.
Saat itulah seekor harimau datang mendekat, mengejutkan ketiga perempuan itu.
“Terkejut dengan kehadiran binatang buas itu, ketiga karyawati tersebut berusaha menghindar dan meninggalkan lokasi,” ujar Iptu Muhammad Rafi, Kapolsek Pelangiran, seperti dilansir Media Center Pemerintah Riau.
Namun malang tak bisa ditolak. Meski ketiganya telah berlari sejauh 200 meter menjauhi lokasi tersebut hingga memanjat ke atas pohon sawit, harimau menemukan mereka.
Jumiati, Yusmawati, dan Fitryanti dilanda panik. Fitriyanti sempat jatuh dari pohon sawit. Namun, harimau tak mendekatinya. Binatang buas itu malah memilih mencengkeram kaki Jumiati hingga ia terjatuh dari pohon.
ADVERTISEMENT
Selang 15 menit, Jumiati tewas dengan luka serius di bagian leher.
Harimau (Foto: Unsplash)
zoom-in-whitePerbesar
Harimau (Foto: Unsplash)
Selanjutnya, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau bersama Tim Gabungan menelusuri keberadaan harimau pemangsa Jumiati. Tapi, sampai dua hari, tim belum berhasil menemukan hewan yang memiliki daya jelajah 300 kilometer itu.
Selain mencari harimau itu, tim juga terjun ke warga sekitar untuk mencegah konflik lanjutan antara satwa dengan masyarakat.
“Supaya masyarakat di sana tidak melakukan tindakan represif (terhadap berbagai hewan) usai kejadian,” kata Haryono, Pelaksana Tugas Kepala BBKSDA Riau.
Harimau yang menerkam Jumiati diduga kuat berasal dari kawasan konservasi Suaka Margasatwa Kerumutan, 40 km dari lokasi kejadian. Pernyataan itu disampaikan oleh Kepala Bidang Wilayah I BBKSDA Riau, Mulyo Hutomo.
ADVERTISEMENT
Hingga kini, pencarian dan identifikasi harimau penyerang Jumiati masih terus dilakukan. Tim hendak menangkap dan menguji DNA harimau tersebut untuk mengetahui benarkah ia si pemangsa atau tidak.
Pusat Rehabilitasi Harimau di Sumbar. (Foto: ANTARA/Rosa Panggabean)
zoom-in-whitePerbesar
Pusat Rehabilitasi Harimau di Sumbar. (Foto: ANTARA/Rosa Panggabean)
Apapun, harimau yang berkeliaran ke area perkebunan atau permukiman warga Indragiri bukan kali itu saja terjadi. Sebelumnya, Mei 2017 di tempat yang sama, terjadi kasus serupa.
“Menurut saksi, sudah tiga hari ini harimau itu berada di seputaran kediamannya. Bahkan harimau itu mengejar anaknya,” kata Kapolres Indragiri Hilir AKBP Dolifar Manurung, Selasa (23/05/2017), seperti dikutip dari Riau Online .
Sebelumnya, warga sekitar mengatakan sempat melihat harimau--yang diduga kelaparan--berkeliaran. Beruntung, tak jatuh korban jiwa.
“Kalau kita lihat, kondisi alam di Suaka Margasatwa Kerumutan masih memungkinkan bagi harimau untuk mencari makan di sana. Hanya memang, kawasan desa tersebut bagian dari wilayah jelajah (harimau). Sebelum menuju desa, ada kawasan hutan tanaman industri yang harus dilalui,” kata Kepala Bidang Wilayah I BBKSDA Riau, Hutomo, kepada Harian Riau, Kamis (25/5/2017).
ADVERTISEMENT
Jumiati adalah ironi. Ia tewas diterkam harimau lapar yang habitatnya kian sempit akibat digunakan manusia. Tapi, masalahnya tentu tak sesederhana itu.
Konservasi Suaka Kerumutan
Kebakaran Hutan di Riau  (Foto: FB Anggoro/Antara)
zoom-in-whitePerbesar
Kebakaran Hutan di Riau (Foto: FB Anggoro/Antara)
Pemerintah Indonesia menetapkan Kerumutan sebagai kawasan konservasi suaka sejak 1979 dengan luas sekitar 120 ribu hektare.
Pada kawasan konservasi itu, menurut Data Titik Api Aktif NASA di Sumatera pada 20 Februari-11 Maret 2013, terdeteksi 3.101 titik api. Bahkan Kabupaten Pelalawan yang menjadi lokasi Suaka Margasatwa Kerumutan, menjadi salah satu titik kebakaran terparah di Riau.
Fatilda Hasibuan, Manajer Kampanye Hutan dan Perkebunan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), mengatakan banyak kasus harimau menyerang manusia di Sumatera terjadi di kawasan perkebunan sawit.
“Artinya, dulu mungkin itu habitat harimau, kemudian hadir manusia. Besar kemungkinan hutan yang jadi tempat harimau, lalu hilang. Habitat harimau hilang, hutan enggak ada lagi,” kata Fatilda kepada kumparan, Sabtu (6/1).
ADVERTISEMENT
Ancaman serius hilangnya hutan itu diperkuat data World Resource institute yang menyebutkan, kebakaran hutan di Indonesia mencapai tingkat tertinggi sejak kondisi darurat kabut asap pada Juni 2013.
Awal Oktober 2015, 200 hektare area konservasi di Suaka Margasatwa Kerumutan juga terbakar.
Kebakaran Hutan Riau 2015 (Foto: ANTARA)
zoom-in-whitePerbesar
Kebakaran Hutan Riau 2015 (Foto: ANTARA)
Global Forest Watch melaporkan, pembukaan lahan menjadi pendorong utama masifnya kebakaran hutan. Mirisnya, sekitar setengah lahan yang terbakar berlangsung di lahan yang hendak dialihfungsikan oleh perusahaan tanaman industri, kelapa sawit, serta kayu.
Padahal, Indonesia memiliki aturan untuk perlindungan hutan, terutama terkait tindakan pembakaran. Pasal 50 ayat (3) UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menyatakan, setiap orang dilarang membakar hutan.
Pelanggar aturan tersebut terancam hukuman pidana paling lama 15 tahun penjara dan denda paling banyak Rp 5 miliar.
ADVERTISEMENT
Perlindungan Hutan
Kebakaran Hutan Riau 2015 (Foto: ANTARA)
zoom-in-whitePerbesar
Kebakaran Hutan Riau 2015 (Foto: ANTARA)
Perlindungan hutan Riau tidaklah berjalan mulus. Masih segar di ingatan ketika pada 2014 Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan mantan gubernur Riau Annas Maamun dan Gulat Manurung sebagai tersangka kasus suap alih fungsi lahan di hutan Riau.
Dalam operasi tangkap tangan terhadap Annas Maamun dan Gulat Manurung di Perumahan Citra Grand Cibubur, Jakarta Timur, Jumat (25/9/2014), KPK menemukan barang bukti uang senilai SGD 156 ribu dan Rp 500 juta yang diduga pemberian Gulat guna pengurusan izin alih fungsi lahan hutan untuk kebun kelapa sawit di Riau.
Terkait hal itu, perkumpulan pengusaha sawit Indonesia yang tergabung dalam Indonesian Palm Oil Association (IPOA) melalui tulisan “Proses Reforestasi dan Perbaikan Ekologi melalui Perkebunan Sawit di Provinsi Riau” pada situs Gapki mengatakan, ekspansi kebun sawit merupakan land use change yang meningkatkan karbon stok lahan/reforestasi.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut secara ekologis diklaim dikehendaki untuk mewujudkan pembangunan ekonomi, pembangunan daerah, dan penurunan kemiskinan di Riau.
Kebakaran Hutan Riau 2015 (Foto: ANTARA)
zoom-in-whitePerbesar
Kebakaran Hutan Riau 2015 (Foto: ANTARA)
Menurut IPOA, deforestasi di Riau pada periode 1950-2014 mencapai 6,24 juta hektare. Dari luasan tersebut, yang dimanfaatkan secara langsung atau tidak langsung oleh perkebunan sawit hanya sekitar 2,29 juta hektare atau sekitar 36 persen.
Terlepas dari itu semua, berbagai pihak perlu segera berbenah dan mengambil langkah untuk upaya perlindungan hutan.
“Pertama, pemerintah jangan korupsi, jangan mau disuap izin keluar (pembukaan lahan),” kata Fatilda.
Menurutnya, WALHI saat ini juga terus mendorong kebijakan yang berpihak kepada lingkungan dan manusia.
“Menggiatkan advokasi dan pendidikan kritis kepada masyarakat, bukan hanya bagi mereka yang di hutan, tapi juga bagi para pejuang lingkungan,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Perjuangan itu antara lain upaya mendesak moratorium izin pembukaan lahan. Hasilnya salah satunya terlihat dengan keputusan Presiden Jokowi pada 17 Juli 2017 untuk menandatangani Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2017 soal penundaan dan penyempurnaan tata kelola pemberian izin baru hutan alam primer dan lahan gambut.
Meski demikian, Inpres tersebut masih sebatas persoalan administrasi perizinan, bukan terkait semangat menyelamatkan hutan.
“Basisnya masih administrasi perizinan, bukan menghentikan kayu tumbang,” kata Zenzi Suhadi dari WALHI kepada Mongabay, Senin (24/7/2017).
Apapun, Syahrul Fitra, peneliti Yayasan Auriga--organisasi nonpemerintah di bidang pelestarian alam, mengapresiasi Inpres itu.
”Setidaknya pemerintah memiliki itikad baik menunda pemberian izin. Meski, sepertinya tak ada dampak signifikan, masih sama seperti tahun sebelumnya.”
Pada intinya, kisah harimau yang menerkam Jumiati adalah tentang keseimbangan alam yang terganggu oleh industri. Gangguan itu membuka ruang bagi jatuhnya korban--alam, binatang, dan manusia.
ADVERTISEMENT