Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Eskalasi demonstrasi menolak sejumlah undang-undang kontroversial direspons aparat dengan penggunaan kekuatan berlebihan. Ribuan orang ditangkap, dan itu baru di wilayah hukum Polda Metro Jaya. Sebagian dari mereka yang ditangkap mengalami tindak kekerasan. Mereka diciduk tanpa bukti pelanggaran hukum memadai. Cerita-cerita kekerasan aparat ini terang menunjukkan watak Polri yang masih represif dalam menangani aksi unjuk rasa.
***
Sambil sesekali memegang bagian belakang kepalanya yang masih terasa sakit, Azis (bukan nama sebenarnya) berusaha mengingat peristiwa nahas yang menimpanya pada Rabu, 25 September lalu. Sore itu, mahasiswa sebuah perguruan tinggi di Jakarta ini berusaha menolong seseorang yang dipukuli polisi. Saat itulah satu pukulan dari arah samping menghantam wajahnya.
Azis mundur ke dalam kompleks Stadion Gelora Bung Karno dengan terhuyung-huyung. Tapi empat anggota polisi berpelindung tubuh lengkap mengejar dan menangkapnya. Ia kembali dipukuli sebelum para penangkap menyeretnya ke dalam mobil barracuda.
“Gua kira ketika masuk barracuda itu sudah aman, ternyata di dalam barracuda ada dua orang, kalau enggak salah Brimob. Mereka sudah siap sudah dengan pentungan. Jadi baru naik ke barracuda, gue langsung disikat,” ujar Azis kepada kumparan, Selasa (15/10).
Ia tak menyadari keberadaan dua polisi berseragam hitam itu karena suasana di dalam barracuda gelap. Selama setengah jam berikutnya, Azis bersama beberapa orang lain yang ditangkap hanya bisa berlutut sambil melindungi kepala dari pukulan tongkat dan tendangan sepatu lars.
Hari itu, demonstrasi menolak sejumlah rancangan undang-undang kontroversial kembali berlangsung. Aksi ini merupakan lanjutan dari unjuk rasa di hari sebelumnya, Selasa (24/9). Suasana titik utama demonstrasi di depan Gedung MPR/DPR di Jalan Gatot Subroto, Jakarta Pusat, sudah kacau sejak sore. Polisi memukul mundur massa yang merupakan campuran pelajar, mahasiswa dan masyarakat umum ke arah Stasiun Palmerah.
Tembakan gas air mata membuat jalanan penuh dengan asap putih. Sementara kendaraan taktis barracuda terus merangsek dari arah Jalan Gatot Subroto ke Jalan Pemuda untuk mendorong massa. Tak jauh dari lokasi penangkapan Azis, Toni (juga bukan nama sebenarnya) bernasib sama.
Mahasiswa perguruan tinggi swasta di Jakarta itu ditangkap karena merekam aksi kekerasan aparat lewat kamera telepon pintar. Semula seorang polisi menghampiri untuk memintanya menghapus rekaman itu. Tiba-tiba polisi yang lain memukulnya hingga terjerembab. Selanjutnya, belasan polisi memukulnya dengan membabi buta.
"Pokoknya saya hitung itu ada sekitar 17 polisi yang mukulin saya," kata Toni, mengingat jumlah polisi yang memukulnya.
Seorang polisi lalu menggiring Toni ke arah Lapangan Tembak Perbakin di belakang Gedung DPR. Sepanjang perjalanan, leher Toni dijepit lengan si polisi. Sementara tangannya berada di belakang punggung.
Bagi Toni perjalanan beberapa ratus meter itu seperti mimpi buruk. Wajahnya dihantam pukulan dan tendangan tiap kali bertemu polisi lain.
Semua orang yang ditangkap hari itu dikumpulkan di parkiran Lapangan Tembak Senayan. Menurut Azis, tak semuanya merupakan pendemo. Beberapa di antaranya hanya warga yang kebetulan berada di tempat yang salah di waktu yang salah. Alhasil, mereka ikut ditangkap polisi.
Saat hari mulai gelap, seorang petugas polisi berteriak, "Siapa yang di sini anak polisi atau pejabat?" Satu orang mahasiswa mengangkat tangan. Ayah anak itu, kata Azis, anggota Polri. Petugas tadi mendata mahasiswa itu. Tak berselang lama, mahasiswa itu dijemput orang tuanya pulang.
Semakin malam jumlah orang yang ditangkap dan dibawa ke parkiran Lapangan Tembak Senayan terus bertambah. "Yang ditangkap malam kondisinya pasti lebih parah," tutur Azis. Ia menghitung ada lebih dari 50 orang yang ditangkap dan dibawa ke parkiran Lapangan Tembak Senayan. Jam setengah satu pagi keesokan harinya mereka semua dibawa dua tronton ke Polda Metro Jaya dengan dikawal dua polisi bersepeda motor.
Setiap truk dijaga seorang petugas. "Kalau ada yang berani kabur, kita tembak," kata Toni menirukan ucapan si penjaga.
Rombongan tiba di Polda Metro Jaya pukul satu dini hari, Kamis (26/10). Orang-orang yang ditangkap di bawa ke lantai basement Gedung Direktorat Kriminal Umum. Sekitar pukul empat subuh mereka mulai didata satu per satu. Polisi meminta kartu identitas dan memotret wajah mereka.
Toni menyaksikan seorang polisi merekam pernyataan seorang anak STM yang ditangkap dalam video. "Bahasanya dia (polisi) itu kalau memang mau ditolong ya udahlah bantu kita," katanya menirukan kata-kata si polisi. "Jadi pokoknya, anak STM itu disuruh ngaku, kalau dia itu diajak sama teman dan dia nggak tau apa-apa."
Sesudah pendataan itulah mereka baru diizinkan tidur. Pukul sembilan pagi, puluhan orang itu dibangunkan untuk menjalani pemeriksaan di ruangan-ruangan yang terpisah. Pengakuan dari sejumlah orang yang kumparan wawancarai, pemeriksaan penuh dengan intimidasi verbal.
Salah satu yang diperiksa terkait aksi demonstrasi menceritakan, polisi memaksanya mengakui salah satu dari beberapa kesalahan: merusak fasilitas umum, menyerang polisi, atau jenis pelanggaran lain.
Seorang saksi menyaksikan ada terperiksa yang disuruh menyanyikan lagu Garuda Pancasila. Sebagian lain ada yang harus mengepel lantai di ruang pemeriksaan. Beberapa orang yang kumparan wawancara diminta membuat surat pernyataan yang isinya didiktekan polisi sebelum dilepas.
Isinya menyatakan bahwa luka-luka yang mereka terima disebabkan oleh kekerasan massa aksi, bukan polisi. Sebagian terperiksa lain mengatakan, diminta membuat pernyataan bahwa kekerasan yang mereka terima sudah diselesaikan secara kekeluargaan dan tidak akan melakukan penuntutan hukum.
"Waktu sudah tanda tangan segala macam, polisinya bilang, 'Nanti kalau ditanya kenapa luka kayak gitu, bilangnya kena massa aksi, ya'," kata salah satu terperiksa.
Setelah menandatangani berita acara klarifikasi dan surat pernyataan, polisi baru meminta orang tua para terperiksa datang untuk menjemput. Penanganan represif polisi terhadap pendemo sudah ditunjukan pada Selasa (24/10), saat demonstrasi besar mahasiswa mengepung Kompleks DPR/MPR.
Tindak kekerasan aparat dialami Yoverly dan Gusti. Keduanya merupakan mahasiswa Universitas Krisnadwipayana, Bekasi, Jawa Barat. Selasa sore itu, keduanya baru tiba di Kawasan Gelora Bung Karno pukul 17.00. Mereka datang bersama seribuan mahasiswa Unkris.
Awalnya mereka berniat long march ke depan gedung DPR. Tiba di samping Jakarta Convention Center, kondisi di depan Gedung DPR/MPR sudah ricuh. Polisi menembak gas air mata ke arah massa mahasiswa.
Gusti dan Verly menjauh dengan memanjat pagar JCC setinggi tiga meter. Di dalam kompleks JCC, mereka beristirahat untuk minum dan menghilangkan perih akibat gas air mata. Tapi seorang polisi memergoki mereka.
Tidak lama kemudian beberapa polisi menghampiri keduanya. Seorang aparat menodongkan senapan gas air mata ke arah mereka. Polisi itu memerintahkan mereka berjalan jongkok menuju area samping JCC.
"Dia ancam kalau kita lari ditembak kaki kita," kata Gusti.
Di tempat itu, belasan polisi sudah menunggu. Keduanya lantas dipukuli tanpa ampun. Gusti ingat, ia dihujani pukulan tongkat maupun tendangan sepatu lars.
"Belasan orang yang mukulin saya. Pertama saya jongkok di depan dia langsung ditendang itu muka saya, langsung jatuh. Tiba-tiba langsung banyak yang datang, banyak banget, kayak mukulin maling," ujar Gusti.
Akibatnya, darah mengucur dari kepalanya. Sementara Verly pingsan karena pukulan dan tendangan bertubi-tubi. Keduanya, kemudian diangkut ambulans menuju unit Dokter dan Kesehatan Polda Metro Jaya.
Belakangan, Gusti, dirujuk ke RS Mintoharjo lantaran kepalanya mengalami pendarahan hebat. Di sana, kepala dan pelipis kirinya mendapat dua jahitan, sedangkan kepala bagian kanan empat jahitan.
"Saya sama seorang warga sipil dirujuk ke RS Mintoharjo. Mungkin karena kami berdua yang paling parah lukanya," kata Gusti.
Sementara Verly mendapat perawatan di unit Kedokteran Kesehatan Polda Metro Jaya. Di tempat itu ia tidak sendirian, ada dua mahasiswa asal Serang yang juga terluka. Saat berada di ruangan perawatan, mereka bertemu sejumlah anggota polisi yang juga terluka.
Salah satu polisi itu tiba-tiba menghampirinya dan memberikan bogem mentah ke tiap mahasiswa. Verly dan dua mahasiswa lain hanya bisa pasrah sambil menunggu perawatan.
Usai dirawat seorang anggota provos menghampirinya dan memintanya segera pulang. Tanpa pikir panjang Verly bersama dua mahasiswa lain keluar dari Polda dan langsung memesan taksi online.
"Setelah saya dipukul polisi, saya diamanin sama provost. Dia bilang, sudah kamu pulang aja, kalau di sini malah dipukulin kamu," terang Verly.
Kini Verly dan Gusti sedang menempuh proses hukum terkait kekerasan yang mereka terima. Kasus penganiayaan yang mereka alami tengah ditindaklanjuti bagian Profesi dan Pengamanan Polda Metro Jaya. Verly dan Gusti menuntut aparat yang menganiaya mereka mendapat sanksi etik.
Menurut Rivanlee Anandar, berdasarkan data Polda Metro Jaya, 1400-an orang ditangkap sejak demonstrasi pecah tanggal 24 September. Kepala Bagian Riset Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan itu mengatakan, angka tersebut belum tentu valid. Sebab, ada beberapa terperiksa yang namanya tidak masuk dalam daftar tersebut.
Sejumlah lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang bantuan hukum dan HAM menerima 390 laporan dari masyarakat terkait insiden demonstrasi sejak tanggal 24 September dari seluruh Indonesia.
Menurut Direktur LBH Jakarta Arif Maulana, penganiayaan yang menimpa mahasiswa dalam penanganan aksi demonstrasi menunjukkan pelanggaran hak asasi manusia oleh aparat kepolisian. Padahal Peraturan Kapolri Nomor 7 Tahun 2012 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pelayanan, Pengamanan, dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum melarang aksi semacam itu.
"Pasal 28 menyebut polisi harus menghindari tindakan yang kontraproduktif. Misalkan tindakan aparat yang spontanitas dan emosional, mengejar pelaku, membalas, melempar pelaku, menangkap dengan tindakan kekerasan, dan menghujat. Itu tidak boleh," jelas Arif.
Cara polisi menangani demonstran juga melanggar Perkap Polri nomor 8 tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaran Tugas Polri. Arif menyoroti, penangkapan sewenang-wenang yang dilakukan aparat kepolisian.
Belum lagi, banyak terperiksa baru dilepaskan lebih dari satu hari setelah penangkapan. Arif mengutip Kitab Hukum Acara Pidana yang mengatur masa pemeriksaan seseorang yang berstatus saksi hanya bisa dilakukan paling lama 1x 24 jam. Bila tidak terbukti bersalah dalam rentang waktu itu, kata dia, polisi wajib membebaskan terperiksa.
"Temuan kami ini yang pada ditangkap nggak jelas statusnya semua, dan baru dibebasin lebih dari 24 jam, ada yang 2 hari, ada yang 3 hari. Tapi itu pelanggaran HAM," tegas Arif.
LBH Jakarta menemukan indikasi banyak orang yang ditangkap sebenarnya tidak terlibat aksi demonstrasi . Polisi melakukan penangkapan secara serampangan pada orang-orang yang berada di lokasi. Selain itu, Polri melakukan pembatasan akses informasi terhadap para terperiksa.
Hal ini menghambat upaya advokasi dan pendampingan hukum kepada para demonstran atau warga sipil yang ditangkap. Padahal, menurut dia, pendampingan hukum merupakan hak bagi warga negara.
Itu pula sebabnya, koalisi masyarakat sipil tidak memiliki data valid berapa orang yang telah ditangkap, dilepaskan, atau kemudian ditahan untuk menjalani proses hukum selanjutnya.
Sementara itu, Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Argo Yuwono, menyatakan seluruh pelajar dan mahasiswa yang ditangkap telah dipulangkan. Namun, polisi masih memeriksa beberapa orang di luar pelajar dan mahasiswa yang diduga melakukan perusakan fasilitas umum.
"Untuk yang di luar pelajar dan mahasiswa ada beberapa yang sedang diperiksa. Dia melakukan pengerusakan, melawan petugas, merusak pos, merusak tameng, merusak mobil petugas di situ," ujarnya, Kamis (3/10).
Terkait dugaan penganiayaan terhadap mahasiswa, Argo mempersilakan korban untuk melapor ke Propam. Ia mengklaim Propam akan menindaklanjuti laporan tersebut sesuai prosedur.
"Silakan saja membuat laporan, itu hak masyarakat jika merasa dirugikan. Untuk tindak lanjutnya (penyelidikan laporan) merupakan kewenangan Provos, kita tunggu saja," ujar Argo.