Dirut PT WKE, Budi Suharto, Didakwa Suap 4 Pejabat PUPR Rp 4,91 M

20 Maret 2019 13:23 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sidang dakwaan Direktur Utama PT Wijaya Kusuma Emindo, Budi Suharto di Pengadilan Tipikor Jakarta. Foto: Adhim Mugni Mubarak/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Sidang dakwaan Direktur Utama PT Wijaya Kusuma Emindo, Budi Suharto di Pengadilan Tipikor Jakarta. Foto: Adhim Mugni Mubarak/kumparan
ADVERTISEMENT
Direktur Utama PT Wijaya Kusuma Emindo (PT WKE), Budi Suharto, didakwa menyuap 4 pejabat pada Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian PUPR.
ADVERTISEMENT
Suap yang diberikan senilai Rp 4,13 miliar, USD 38.000 atau Rp 539.980.000 (kurs Rp 14.210), dan SGD 23.000 atau Rp 241.479.290 (kurs Rp 10.499). Sehingga total suap yang diberikan Rp 4,91 miliar.
Empat orang itu ialah Anggiat Simaremare selaku Kepala Satuan Kerja SPAM Strategis Lampung; Meina Woro Kustinah selaku PPK SPAM Katulampa; Teuku Moch Naza selaku Kepala Satuan Kerja SPAM Darurat; dan Donny Sofyan Arifin selaku PPK SPAM Toba 1. Empat orang itu juga menjabat sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK).
Budi didakwa menyuap 4 pejabat PUPR itu bersama-sama dengan Direktur PT Wijaya Kusuma Emindo, Lily Sundarsih Wahyudi; Direktur PT Tashida Perkasa Sejahtera, Irene Irma; Direktur PT Tashida Perkasa Sejahtera, Yuliana Enganita Dibyo.
Direktur Utama (Dirut) PT Wijaya Kusuma Emindo (PT WKE), Budi Suharto tiba di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (26/2). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
"Telah melakukan atau turut serta melakukan beberapa perbuatan yang mempunyai sedemikian rupa sehingga harus dipandang sedemikian rupa sebagai perbuatan berlanjut," kata jaksa saat membacakan surat dakwaan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (20/3).
ADVERTISEMENT
"(Para terdakwa) memberi uang keseluruhan berjumlah Rp 4.131.605.000, USD 38,000 dan SGD 23,000," lanjut jaksa.
Menurut jaksa, Anggiat telah menerima suap sebesar Rp 1,35 miliar dan USD 5.000, Meina disebut menerima Rp 1,42 miliar dan SGD 23.000, Naza disebut menerima Rp 1,21 miliar dan USD 33.000, sementara Donny disebut menerima Rp 150 juta.
Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) SPAM Lampung Anggiat Partunggal Nahot usai diperiksa KPK. Foto: ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto
Menurut jaksa, suap diberikan agar keempatnya tidak mempersulit pengawasan proyek yang dikerjakan PT WKE dan PT Tashida Perkasa Sejahtera (TSP) di lingkungan Satuan Kerja PSPAM Strategis dan Satuan Kerja Tanggap Darurat Permukiman Pusat Direktorat Cipta Karya Kementerian PUPR.
"Sehingga dapat memperlancar pencairan anggaran kegiatan proyek," kata jaksa.
Jaksa menjelaskan, kasus ini bermula saat PT WKE dan PT TSP mengikuti lelang proyek di Satuan Kerja PSPAM Strategis dan Satker Tanggap Darurat Permukiman Pusat Ditjen Cipta Karya Kementerian PUPR pada tahun 2017-2018.
ADVERTISEMENT
Pada kurun waktu itu, PT WKE bersama PT Nindya Karya mengerjakan proyek pekerjaan Konstruksi Pembangunan SPAM Kota Bandar Lampung Provinsi Lampung dengan nilai kontrak Rp 210.023.000.000.
Sedangkan PT WKE sendiri menggarap proyek:
Dalam kurun waktu yang sama, PT TSP mengerjakan proyek yaitu:
ADVERTISEMENT
Menurut jaksa, setelah PT WKE dan PT TSP mengerjakan proyek-proyek tersebut, Budi melalui Irene dan Yuliana serta atas persetujuan Lily, memberikan fee secara bertahap kepada PPK di lingkungan Satker PSPAM Strategis dan Satker Tanggap Darurat Permukiman Pusat Ditjen Cipta Karya Kementerian PUPR.
PPK pada saat proyek yang dikerjakan PT WKE adalah Anggiat dan Meina. Sedangkan pada saat proyek dikerjakan oleh PT TSP, yang menjadi PPK di antaranya Nazar dan Donny.
Pejabat Pengambil Komitmen (PPK ) SPAM Katulampa, Meina Woro Kustinah tiba di Gedung KPK, Jakarta, Senin (25/2). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
"Beberapa kali memberikan sejumlah fee kepada PPK kegiatan proyek di lingkungan Satker PSPAM Strategis dan Satker Tanggap Darurat Permukiman Pusat Direktorat Cipta Karya, Kementerian PUPR yang dikerjakan oleh PT WKE dan PT TSP pada tahun 2017-2018 diantaranya kepada Anggiat, Meina, Donny dan Teuku M Nazar," kata jaksa.
ADVERTISEMENT
Perbuatan Budi bersama dengan Lily, Irene, dan Yuliana dianggap telah melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.