Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Pesan WhatsApp dari Kantor Staf Presiden sempat membuat Bivitri Susanti bingung. Dosen Hukum Tata Negara Jentera School of Law itu diminta bertemu Presiden Jokowi, Kamis (26/9)—sehari sesudah ia menerima pesan itu. Bivitri akhirnya menghubungi beberapa nama yang turut diundang. Di antaranya mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD dan eks pimpinan KPK periode pertama Erry Riyana Hardjapamekas.
Mereka semua memutuskan untuk menghadap Jokowi dan membawa satu suara padu: bahwa besarnya gelombang demonstrasi mahasiswa di akhir September tak bisa diabaikan. Oleh sebab itu, pertemuan dengan Presiden dalam situasi panas seperti itu diharapkan dapat menjadi titik terang.
“Kita datang sajalah, mumpung banyak isu juga,” kata Bivitri dalam obrolannya dengan para seniornya per telepon, seperti ia ceritakan kepada kumparan di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Setiabudi, Jakarta Selatan, Rabu (2/9).
Alhasil, puluhan tokoh lintas sektor pun bertemu Jokowi di Istana Negara, Jakarta. Pertemuan itu membuat Jokowi mempertimbangkan opsi untuk mengeluarkan Perppu KPK guna mengembalikan kewenangan KPK seperti pada UU sebelum direvisi.
Erry Riyana sebetulnya sudah bertemu Jokowi sebelum pertemuan para tokoh dengan presiden itu. Dua hari lebih awal, Selasa (24/9), ia dan beberapa mantan pimpinan KPK menerima undangan Menteri Sekretaris Negara Pratikno untuk bertemu Jokowi.
Pratikno menelepon para eks komisioner KPK itu hanya dua jam sebelum pertemuan digelar. Mereka yang hadir ialah Ketua KPK 2003-2007 Taufiequrachman Ruki, pimpinan KPK periode 2003-2007-2010 Tumpak Hatorangan Panggabean, Wakil Ketua KPK 2003-2007 Erry Riyana Hardjapamekas, Wakil Ketua KPK 2003-2007 Amien Sunaryadi, serta Wakil Ketua KPK 2007-2009 dan 2009-2011 Chandra Hamzah.
“Pak Pratik menghendaki kepada kita, ‘Tolong sampaikan langsung kepada Presiden (tentang) masalah praktik hukum yang Anda alami,’” kata Ruki kepada kumparan di Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (4/9).
Menurut Erry, Jokowi tampak memperhatikan pemaparan para eks komisioner KPK yang hadir. “Pokoknya ujungnya Perppu. Pak Ruki menyebutkan Perppu pilihan baik,” ujarnya.
Berikut Erry Riyana menceritakan kepada kumparan tentang pertemuan 1,5 jam antara lima mantan pimpinan KPK dengan Presiden Jokowi:
Menurut Anda dan rekan-rekan eks komisioner KPK, apakah revisi UU KPK yang telah disahkan itu berbahaya?
Satu, memang setelah 17 tahun, (UU KPK) perlu dievaluasi. Sekarang, evaluasinya sudah dilaksanakan apa belum, dan hasilnya bagaimana?
Dua, bidang apa saja yang direvisi (dalam UU KPK itu)? Revisi itu semangatnya harus memperkuat supaya pemberantasan korupsi makin efektif, sehingga bermanfaat bagi kesejahteraan bangsa.
Tiga, bagaimana caranya memberikan pemahaman kepada para anggota DPR bahwa pemberantasan korupsi itu pekerjaan dan perjalanan jangka panjang, bukan jangka pendek. Ini bukan pil ajaib yang bisa mengubah sesuatu dalam waktu singkat. Di Hong Kong dan Singapura—negara kota yang segede Jakarta itu—pun perlu 30-40 tahun (untuk efektif memberantas korupsi), apalagi di Indonesia.
Tujuh belas tahun (pemberantasan korupsi) itu belum apa-apa. Kita baru mulai, tapi hasilnya sudah jelas. Baik (di tingkat) lokal maupun internasional, dari sisi indeks persepsi korupsi (yang dikeluarkan Transparansi Internasional), Indonesia naik. Nah ini kita yang harus jaga.
KPK berdiri pada 2002, dan dengan demikian kini berusia 17 tahun.
Saya tidak membela orang atau kelompok, tapi membela gerakan pemberantasan korupsi yang memang harus kita jaga. Lembaga KPK harus tetap kita jaga, kita kawal.
Bahwa ada permasalahan internal, ya. Bahwa ada yang harus dibenahi di dalam, ya. Bahwa KPK harus diawasi lebih dari apa yang disebutkan UU sebelumnya, enggak ada masalah. Tapi pengawasannya jangan kemudian menghambat operasional KPK.
Terkait kegamangan Jokowi soal Perppu KPK , kalau Perppu enggak diterima (DPR), kami bilang “Tidak apa-apa. Paling tidak Bapak sudah menunjukkan kepada rakyat ketegasan Bapak. Sehingga rakyat bisa menilai, siapa yang pro-KPK dan siapa yang tidak.”
Bagaimana peluang legislative review sebagai opsi selain Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang KPK?
Legislative review adalah upaya lembaga legislatif atau lembaga lain yang punya kewenangan legislasi untuk mengubah suatu undang-undang.
Legislative review mestinya dilakukan kemarin, sebelum DPR mengesahkan UU KPK dan menyampaikannya ke Presiden. Sekarang kan Presiden dalam posisi (akan) menandatangani atau membiarkan. Jadi, (apa pun pilihan Presiden), UU KPK otomatis berlaku setelah 30 hari. Baru kemudian dilakukan legislative review—pemerintah berinisiatif membuat revisi terhadap UU ini. Tapi UU ini harus disahkan dulu dan berlaku, baru bisa direvisi dengan UU lain. Itu kalau bukan (lewat cara mengeluarkan) Perppu.
Di situlah pentingnya Perppu. Pada saat ditandatangani atau pada saat revisi UU KPK berlaku, pada hari yang sama Perppu bisa keluar. Katakanlah, misalnya, (di Perppu diatur) revisi UU KPK ditunda berapa lama. Pada saat yang sama, dibentuk tim untuk me-review, merevisi UU KPK hasil revisi dengan mendengarkan dan melibatkan berbagai pihak—DPR, pemerintah, dan masyarakat.
Saya yakin Pak Jokowi akan mempertimbangkan usulan para senior. Yang ingin saya tekankan adalah pada para wakil rakyat yang secara tergesa-gesa menyusun revisi UU KPK ini sehingga terjadi kesalahan-kesalahan yang tidak perlu. Menurut saya ini harus menjadi pelajaran penting. Betapa ketergesaan menyusun sesuatu bisa menimbulkan ketidakcermatan. Dan ketidakcermatan itu berbahaya karena UU itu kan berlaku bagi seluruh rakyat Indonesia. Bahwa ingin melakukan sesuatu karena kepentingan, OK, tapi jangan tergesa-gesa.
Apa latar belakang pertemuan 40 tokoh dengan Jokowi pada akhir September?
Sebetulnya petisinya RKUHP. Waktu diterima oleh Presiden, memang awalnya menyinggung RKUHP. Tapi karena Presiden sudah memutuskan ditunda (revisi KUHP), kemudian pesan-pesannya saja yang kami sampaikan 5-10 menit, seperti mohon jangan terlalu mencampuri urusan pribadi warga negara. Lalu langsung pindah bahasan ke revisi UU KPK.
Di situlah semua orang bicara sampai akhirnya (membicarakan) Perppu. Tampaknya Presiden menerima saran-saran itu. Tapi tekanan-tekanan, desakan-desakan, pertimbangan-pertimbangan untuk kepentingan yang lebih luas menyebabkan Presiden belum memutuskan.
Dari dua kali pertemuan Anda dengan Presiden (24 dan 26 September), kesan apa yang Anda tangkap?
Antara kebingungan dan menerima saran (soal Perppu), kami enggak bisa nebak. Tapi kami sih berkesimpulan beliau bermaksud mengeluarkan (Perppu). Tinggal mempertimbangkan hal-hal lain. Beliau mengatakan begitu. Sepuluh fraksi di DPR itu, semuanya menjadi pertimbangan penting.
Jokowi Gamang
Ahli hukum tata negara Bivitri Susanti yang ikut diundang Jokowi ke Istana untuk bertukar pikiran, menganalisis faktor-faktor yang menghambat keluarnya Perppu oleh Presiden. Berikut perbincangan Bivitri dengan kumparan:
Apa yang Anda sampaikan kepada Jokowi di Istana Negara?
Saya klarifikasi beberapa hal. Misalnya, dua atau sehari sebelumnya Pak Presiden sempat bilang enggak akan mengeluarkan Perppu karena revisi UU KPK diusulkan oleh DPR. Jadi saya bilang, “Saya mohon izin untuk mengklarifikasi Pak Presiden, sebenarnya menurut Pasal 22 konstitusi kita, Perppu sepenuhnya wewenang Presiden. Enggak ada aturan di bawahnya yang membatasi apa pun bahwa kalau UU-nya usul inisiatif DPR, maka Presiden enggak bisa mengeluarkan Perppu. Itu enggak ada.”
Sebenarnya memang Perppu itu hak atau pertimbangan subjektif Presiden, enggak objektif. Tapi kemudian akan menjadi objektif ketika Perppu itu kemudian diterima oleh DPR sebagai UU.
Apa saja syarat untuk menerbitkan Perppu?
Pertama adalah adanya kebutuhan mendesak yang harus diselesaikan dengan UU, tidak bisa dengan peraturan lain. Kedua, tidak ada UU yang mengatur sehingga ada kekosongan hukum, atau ada UU-nya tapi tidak memadai. Ketiga, kalau menggunakan prosedur legislasi biasa, terlalu lama, padahal kekosongan hukum atau ketidakpastian hukum ini harus segera diatasi.
(Ketiga syarat) itu semua kumulatif, tidak salah satu, tapi tiga-tiganya harus terpenuhi.
Apakah Perppu KPK sudah memenuhi syarat untuk diterbitkan Presiden?
Sudah terpenuhi ketiganya, sudah saya sampaikan itu (ke Presiden). Sehingga sebenarnya Pak Presiden bisa mengeluarkan Perppu, dan itu konstitusional. Jadi jangan khawatir.
Bagaimana respons Presiden atas usul Perppu itu?
Beliau tanya, “Kalau ditolak oleh DPR gimana?”
Memang Perppu itu kan kemudian harus dibahas oleh DPR dalam masa sidang berikutnya. Itu bunyi Pasal 22 konstitusi.
Nah, waktu itu (dalam pertemuan dengan Jokowi), semua—orang-orang yang kita hormati seperti (ahli hukum) Pak Albert Hasibuan, (peneliti dan penulis) Pak Mochtar Pabottingi, (ahli ekonomi) Pak Emil Salim—langsung bilang, “Enggak apa-apa (kalau Perppu ditolak DPR) Pak Presiden. Kita jadi tahu siapa yang sebenarnya mendukung KPK, dan siapa yang tidak.”
Dengan kata lain, berarti (kalau menolak Perppu), DPR enggak mendukung (KPK) dong. Nah, Presiden kelihatannya mulai menerima (saran) itu ya.
Intinya, kalau bisa saya simpulkan, para pendukung Bapak (Jokowi) ini—antara lain kami yang waktu itu hadir di situ—sebenarnya menginginkan Pak Jokowi yang dulu, yang berjanji untuk memperkuat KPK.
Jadi kalau Bapak Jokowi mengeluarkan Perppu, itu tindakan yang tepat sekali. Intinya semuanya mendukung. Dan kalau misalnya DPR tidak mendukung, enggak apa-apa. Kami ini fraksi ke-11, jadi kami ada di belakang Bapak.
Setelah itu, dengan suasana yang hangat itu, Pak Presiden kemudian mengadakan konferensi pers, mengubah pandangannya. Dia bilang mempertimbangkan (Perppu) dan akan mengkalkulasi.
Seberapa penting Perppu KPK untuk disegerakan?
Sangat penting karena kalau kita lihat, pasal-pasal dalam revisi UU KPK memang mengerikan. Yang dinarasikan bahwa “Ini kami sebenarnya memperkuat KPK kok” itu bohong. Karena kalau dilihat betul pasal-pasalnya dan disimulasikan dampaknya pada kerja KPK, penindakan KPK itu tidak akan bisa efektif.
Jadi kala saya berdebat sama anggota DPR, mereka kan selalu bilang “Tetap ada kok ada penindakan dan pencegahan, sama aja kayak dulu,” iya. Kata-katanya ada (dalam UU), tapi kalau dilihat detailnya itu parah sekali.
Dewan Pengawas KPK, misalnya, dia memberikan izin untuk penggeledahan dan penyitaan. Dua-duanya itu sebenarnya wewenang yang istilahnya pro justitia (demi keadilan) untuk penegakan hukum. Jadi, tidak bisa diberikan oleh sebuah lembaga yang bukan lembaga penegak hukum.
Penyadapan juga harus izin dari Dewan Pengawas. Dalam UU revisi KPK dikatakan bahwa penyadapan, sebelum mendapat izin Dewan Pengawas, harus ada gelar perkara dulu. Itu saja sudah tidak masuk akal. Selama ini penyadapan menjadi salah satu metode KPK mencari bukti dalam kasus suap di tahap penyelidikan, bukan penyidikan.
Beberapa teman juga membandingkan ada pasal yang hilang, yang berbunyi bahwa komisioner adalah penyidik dan penuntut umum. Itu kan status yang diberikan oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Artinya, penyidik bisa tanda tangan Surat Perintah Penyidikan (sprindik). Jadi kalau sudah ada calon tersangka, tanda tangan sprindik, mulailah proses penyidikan berjalan.
Kalau status penyidik itu dihilangkan, dalam artian status tidak ada lagi di tangan komisioner, maka mereka enggak bisa lagi menandatangani sprindik itu. Jadi komisioner KPK bisa dibilang enggak bisa apa-apa. Sudah dilucuti wewenangnya.
Apa yang terjadi bila Perppu KPK ditolak DPR?
Balik lagi ke UU KPK hasil revisi. Kalau menurut saya sih enggak apa-apa. Rakyat jadi bisa lihat, siapa nih yang sebenarnya mau bikin KPK mati.
Adakah jalan lain bila Perppu ditolak?
Tinggal judicial review (ke Mahkamah Konstitusi), tapi itu bukan di tangan Presiden lagi.
Bukankah judicial review juga belum tentu dikabulkan?
Iya.
Idealnya Perppu mengatur apa saja?
Yang ideal banget sih (wewenang KPK) kembali ke awal. Tapi saya kira nanti negosiasinya berat buat Pak Jokowi. Jadi mungkin saja kalau dia benar-benar mau lebih aman, enggak sepenuhnya balik ke awal.
Misalnya, Dewan Pengawas (tetap) ada (seperti di UU KPK hasil revisi), karena Pak Jokowi memang ingin ada Dewan Pengawas, dan dia yang milih. Tapi nanti Dewan Pengawas enggak menjalankan izin atau wewenang pro justitia. Misalnya, dia kayak komisaris. Jadi post-factum (ketika) sudah terjadi penyitaan dan penggeledahan, lalu dilaporkan.
Lalu, di UU KPK yang sekarang kan semua staf KPK jadi ASN (aparatur sipil negara), nah bisa saja dikatakan (di Perppu) ASN itu hanya untuk staf administrasi, misal.
Kemungkinan yang ketiga ialah penundaan pemberlakuan UU KPK hasil revisi. Pak Mahfud MD ngomong ini waktu konferensi pers sama Pak Jokowi setelah pertemuan. Penundaan keberlakuan itu artinya Perppu memasukan aturan bahwa pemberlakuan revisi UU KPK baru berlaku dua tahun setelah diundangkan.
Bagaimana Anda melihat kemungkinan-kemungkinan ke depan?
Enggak tahu. Susah banget diprediksi karena parpol-parpol kan menolak (Perppu). Wakil Presiden juga menolak.
Sampai sekarang saya masih berharap untuk diupayakan betul (Perppu KPK ). Tapi memang berat banget karena semua partai menolaknya keras, termasuk PDIP.