LIPSUS, Perppu KPK

Uji Nyali Jokowi di Perppu KPK

7 Oktober 2019 11:24 WIB
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Uji Nyali Jokowi di Perppu KPK. Desainer: Indra Fauzi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Uji Nyali Jokowi di Perppu KPK. Desainer: Indra Fauzi/kumparan
Presiden Jokowi sudah memiliki rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang KPK di meja kerjanya. Namun, hingga kini draf yang akan menyelamatkan eksistensi esensial KPK itu tak kunjung diteken. Sikap Jokowi kembali berubah setelah pertemuannya dengan sejumlah elite partai politik. Ia diintai ancaman pemakzulan.
Siang itu, Kamis (26/9), Jokowi mengubah posisi duduknya setelah mendengar penjelasan pakar hukum tata negara Bivitri Susanti. Ia mencondongkan tubuh ke depan sambil melirik Bivitri, lalu pertanyaan yang ada di benaknya meluncur, “Bu Bivitri, Perppu KPK ini kan harus disetujui oleh DPR. Kalau nanti ditolak bagaimana?”
Bivitri, yang menghadiri pertemuan puluhan tokoh dengan Jokowi di Istana Negara, sebelumnya memaparkan panjang lebar tentang problem kelembagaan yang dihadapi KPK dengan munculnya UU baru yang disahkan DPR pada 17 September—di pengujung masa jabatan anggota Dewan periode 2014-2019.
Beleid itu, berdasarkan hasil kajiannya, justru memperlemah KPK. Norma yang termuat dalam UU KPK bertolak belakang dengan keinginan Jokowi untuk memperkuat KPK.
Bivitri kemudian menjawab singkat pertanyaan Jokowi. “Enggak apa-apa (kalau ditolak DPR), Pak.”
Sejumlah tokoh senior yang hadir lantas bersahutan menimpali. Di antaranya cendekiawan dan ekonom Emil Salim, peneliti dan penulis Mochtar Pabotinggi, serta advokat sekaligus dosen Albert Hasibuan.
Para tokoh lintas sektor itu mendukung Jokowi segera menerbitkan Perppu UU KPK karena masyarakat tengah menunggu realisasi komitmennya dalam memberantas korupsi.
“Jadi biar klir mana yang sebenarnya mendukung KPK dan mana yang tidak. Dan kita menjadi klir bahwa Pak Jokowi sebenarnya mendukung KPK,” kata Bivitri menirukan ucapan salah seorang tokoh senior.
Jokowi bertemu tokoh lintas sektor di Istana Merdeka, Kamis (26/9). Foto: ANTARA/Akbar Nugroho Gumay
Dalam pertemuan itu, Jokowi sempat pula menyinggung situasi yang ia hadapi. Menurut Jokowi, ia tak punya fraksi yang bisa mendukungnya di DPR bila Perppu diteken. DPR, sesuai aturan, berwenang menerima atau menolak Perppu yang dikeluarkan presiden.
Mendengar penjelasan Jokowi, para tamu yang hadir setengah berseloroh akan menjadi fraksi kesebelas yang berada di belakang Jokowi. Mahfud MD, pakar hukum tata negara dan mantan ketua MK yang juga hadir dalam pertemuan, kemudian mengutarakan tiga prosedur konstitusional untuk memperbaiki UU KPK.
Pertama, DPR dan pemerintah kembali membahas UU KPK yang berlaku melalui legislative review. Kedua, menggugat UU KPK yang baru ke Mahkamah Konstitusi melalui uji materi (judicial review).
Ketiga, penerbitan Perppu oleh Jokowi. Perppu tersebut, menurut Mahfud, bisa saja tidak membatalkan undang-undang, melainkan berisi penundaan pemberlakuan UU KPK yang baru selama dua tahun. Rentang waktu tersebut dapat digunakan pemerintah dan DPR untuk memperbaiki substansi UU KPK yang menjadi polemik.
“Perppu adalah hak konstitusional presiden. Itu hak subjektif presiden menurut hukum tata negara,” kata Mahfud.
Jokowi banyak bercatat dan bertanya dalam pertemuan dua jam dengan para tokoh lintas sektor. Setelah mendengar semua masukan terkait Perppu, Jokowi berucap, “Kalau begitu saya pertimbangkan (penerbitan Perppu).”
Di sela acara, saat sesi jamuan makan sore, Jokowi terlibat pembicaraan serius dengan Bivitri, Mahfud MD, dan mantan pimpinan KPK Erry Riyana Hardjapamekas. Pada kesempatan itu, Jokowi kembali meminta saran terkait UU KPK.
Hingga akhirnya dalam konferensi pers usai pertemuan, Jokowi untuk kali pertama menyatakan ke publik akan mempertimbangkan penerbitan Perppu UU KPK. Padahal, opsi itu sebelumnya ia sebut tak bakal dilakukan.
“Berkaitan dengan UU KPK yang sudah disahkan oleh DPR, banyak sekali masukan yang diberikan kepada kita, utamanya masukan itu berupa Perppu,” kata Jokowi di Istana Merdeka. Ia melanjutkan, “Tentu saja ini kami hitung, dan nanti setelah itu akan kami putuskan dan sampaikan kepada senior-senior yang hadir pada sore hari ini."
Jokowi berbincang dengan para tokoh dan budayawan di Istana Merdeka. Foto: ANTARA/Akbar Nugroho Gumay
Sehari setelah bertemu dengan para tokoh, Jumat (27/9), Jokowi mengundang kelompok relawan—Projo, GoJo, Seknas Jokowi—ke Istana Negara. Dalam pertemuan 3,5 jam itu, Jokowi menceritakan perbincangannya dengan tokoh-tokoh nasional.
Ia juga menyebut enam substansi pokok yang diusulkan masuk dalam Perppu KPK. Tapi Jokowi baru menyepakati empat poin, yakni soal posisi dewan pengawas, izin penyadapan, penghentian penyidikan, dan status aparatur sipil negara (ASN) bagi pegawai KPK.
Jokowi meminta para relawan untuk terus mendukungnya. Ketua Umum Projo, Budi Arie Setiadi, lantas mengatakan, “Projo akan tetap di belakang Jokowi apa pun keputusan soal Perppu.” Ia berucap serupa ketika dihubungi kumparan.
Gelagat Jokowi mempertimbangkan penerbitan Perppu mulai tampak saat gelombang demonstrasi mahasiswa dan masyarakat sipil membesar, Selasa (24/9).
Pada hari yang sama dengan aksi unjuk rasa itu, Jokowi memanggil lima mantan pimpinan KPK. Mereka adalah Erry Riyana Hardjapamekas, Taufiequrachman Ruki, Tumpak Hatorangan Panggabean, Amien Sunaryadi, dan Chandra Hamzah.
Sebelum bertemu Jokowi, para eks komisioner KPK itu lebih dulu bersua Mensesneg Pratikno, Deputi I KSP Teten Masduki, dan Staf Khusus Mensesneg Alexander Lay. Kepada ketiganya, mereka menjelaskan pasal-pasal kontroversial di UU KPK yang mendapat penolakan keras dari masyarakat.
Berikutnya, Pratikno meminta kelima mantan pimpinan KPK itu untuk menyampaikannya langsung kepada Jokowi. Saat menghadap Jokowi, Ruki menyarankan agar Perppu dapat memperbaiki kelemahan yang ada dalam UU KPK baru.
“Itu lebih akomodatif dan jalan tengah. Menurut saya, Perppu (bisa) memperbaiki UU yang sudah direvisi,” kata Ruki kepada kumparan di Menteng, Jakarta Pusat.
Jokowi sebenarnya ditengarai tak puas pula dengan hasil revisi UU KPK. Ia kecewa karena UU KPK yang diketok DPR tak sesuai harapannya. Yasonna Laoly, yang saat pembahasan RUU KPK di DPR menjabat Menteri Hukum dan HAM, dinilai tidak bisa mengawal sejumlah pasal yang diinginkan Jokowi, semisal soal kewenangan dewan pengawas dan surat perintah penghentian penyidikan (SP3).
Dalam konferensi pers di Istana Negara, Jumat (13/9), Jokowi mengungkapkan keinginannya agar KPK punya rentang waktu dua tahun menyidik suatu kasus sebelum SP3 terbit. Tapi dalam revisi UU KPK yang telah disahkan, batas waktu penyidikan perkara ternyata hanya satu tahun.
Yasonna yang kini tak lagi menjabat Menkumham karena menjadi anggota DPR RI dari Fraksi PDIP, menolak berkomentar. “No comment-lah,” katanya di Gedung Nusantara II DPR, Kamis (3/10).
Jokowi dan JK menghadiri pelantikan anggota DPR RI, Selasa (1/10). Foto: ANTARA/Galih Pradipta
Setelah rangkaian pertemuan untuk menjaring masukan, Mensesneg Pratikno menyatakan draf Perppu telah disiapkan. "Pokoknya kita antisipasilah apa keputusan Pak Presiden beberapa waktu ke depan,” kata Pratikno di Kompleks Istana Negara, Jumat (27/9).
Dalam dokumen yang diperoleh kumparan, Perppu KPK berisi pernyataan mencabut UU KPK yang baru. Isi draf Perppu juga mengembalikan beleid tentang KPK ke UU yang lama dengan sejumlah revisi.
Salah satu poin revisi yang tercantum dalam draf itu adalah memberikan kewenangan KPK untuk menuntut bebas tersangka di pengadilan. Penuntutan bebas dapat dilakukan bila penyidikan tidak menemukan cukup bukti atau kasus bukan merupakan pidana korupsi.
Selain itu, status aparatur sipil negara dipersempit hanya dalam lingkup pegawai KPK yang bertugas di bidang administrasi. Hal tersebut berbeda dengan aturan pada UU KPK yang baru, bahwa semua pegawai KPK—termasuk penyelidik, penyidik, dan penuntut umum—dialihstatuskan menjadi ASN.
Masalahnya, meski draf sudah ada di mejanya, Jokowi tak kunjung menerbitkan Perppu.
Menanti Jokowi Berani. Desainer: Indra Fauzi/kumparan
Senin malam (30/9), Jokowi menjamu lima ketua umum beserta sekretaris jenderal partai koalisi pemerintah di Istana Bogor. Pada pertemuan tiga jam itu, Perppu KPK menjadi topik pembicaraan utama.
Para elite partai bergantian menyampaikan pandangan atas niat Jokowi meneken Perppu KPK. Tidak ada satu pun yang mendukung rencana itu. Jokowi diminta untuk mengimplementasikan lebih dulu UU KPK hasil revisi.
Perppu KPK harus menjadi pilihan terakhir,” kata Sekretaris Jenderal PPP Arsul Sani.
Menurut Arsul, DPR kemungkinan besar akan menolak bila presiden tetap menerbitkan Perppu. Tak hanya itu, partai politik juga menebar ancaman pemakzulan terhadap Jokowi. Salah satunya berasal dari Surya Paloh, Ketua Umum NasDem.
“Salah-salah presiden bisa di-impeach karena itu. Salah-salah, loh. Ini harus ditanya ke ahli hukum tata negara,” ujar Paloh di Gedung DPR, Rabu (2/10).
Meski demikian, pakar hukum tata negara Feri Amsari menampik kemungkinan pemakzulan itu. Menurutnya, ancaman impeachment sekadar gertak sambal. Sejak amandemen UUD 1945 tahun 2002, presiden tidak bisa lagi dimakzulkan karena alasan politik.
“Hanya dalam kondisi luar biasa presiden bisa dimakzulkan. Itu kalau presiden melakukan korupsi, suap, pengkhianatan terhadap negara, dan pidana berat lainnya,” jelas Feri.
Jumat (4/10), sejumlah tokoh nasional yang sempat bertemu Jokowi menggelar konferensi pers di Galeri Cemara, Jakarta Pusat. Mereka kembali menegaskan dukungan kepada Jokowi agar segera mengesahkan Perppu KPK.
Pada kesempatan tersebut, tampak tokoh seperti Goenawan Mohamad, Emil Salim, Mochtar Pabottingi, Albert Hasibuan, Bivitri Susanti, Toety Herawati, dan Erry Riyana Hardjapamekas. Mereka meminta Jokowi untuk tidak takut pada tekanan partai politik. Bagi mereka, ancaman pemakzulan terhadap presiden sangat menyesatkan.
“Kami mengingatkan elite politik untuk tidak membawa logika yang menyesatkan dan meresahkan publik, serta mengancam Presiden,” ujar mereka.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten